Bantuan Pemerintah di Masa Pendemi, Itu Data Siapa?

Konten dari Pengguna
28 April 2020 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo. Sumber Foto: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo. Sumber Foto: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masalah krusial soal pendistribusian bantuan pemerintah dalam menangani dampak pandemi COVID-19 adalah validitas data.
ADVERTISEMENT
Persoalan itu digugat banyak orang. Kala ragam bantuan sosial (bansos) mulai dari kartu sembako, Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi listrik, program padat karya tunai, hingga program kartu pra kerja mulai kalap disalurkan pemerintah pusat.
Tidak hanya itu, pemerintah daerah baik itu provinsi dan kota/kabupaten pun sudah melakukan realokasi APBD dalam bentuk bantuan untuk menangani dampak penyebaran virus mematikan ini.
Kecurigaan terhadap akurasi data penerima bantuan khususnya penduduk miskin berpotensi menjadi masalah baru. Selain bantuan yang disalurkan tidak tepat sasaran, penerima bantuan yang double (ganda), pemerataan bantuan hingga data yang tidak akurat membuka potensi penyelewengan dana bansos.
Artinya potensi korupsi dana bansos penanganan dampak COVID-19 sangat berpeluang terjadi. Modus operandi berupa penyajian data penerima yang sifatnya fiktif hingga potongan bantuan yang harus melewati berbagai tingkatan birokrasi.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan utama soal data penerima bansos penangan COVID-19, data siapa yang digunakan pemerintah? Apakah penduduk miskin yang baru saja pindah pada suatu daerah terkandung di dalamnya?
Ada banyak sumber data, seperti; data BPS, data Kemensos, data BI, data Kemenkes, data Dinas Provinsi, Kota/Kabupaten, data Kecamatan atau data Desa. Data yang mana digunakan pemerintah?
Apakah data penerima bantuan sudah terintegrasi? Siapa yang berkuasa atas data? Bagaimana kejelasan masyarakat miskin layak menerima bansos yang hingga hari belum memiliki KTP?
Sering kali data yang disajikan pemerintah tidak relevan dengan situasi di lapangan. Persoalan ini termasuk klasik tapi masih berlaku hingga era modern seperti sekarang ini.
Tumpang tindih data masih terjadi di lingkungan birokrasi. Seolah beban kerja sistem pendataan sengaja dipelihara sebuah institusi kelembagaan yang sifatnya sektoral.
ADVERTISEMENT
Apakah ada kepentingan oknum pejabat pemerintah soal banyaknya versi data yang beredar? Tentu saja.
Sebab setiap institusi pemerintah pusat/daerah dari tingkatan kementerian, badan, dinas hingga desa memiliki anggaran sendiri-sendiri untuk dikelola.
Pun perbedaan data masing-masing institusi ini sengaja tetap dipelihara oknum pejabat publik sebagai pintu masuk untuk melakukan penyelewengan dana atau korupsi. Artinya validitas sebuah data penerima bansos pandemi COVID-19 menentukan efektivitas program.
Fakta bahwa data dan skema penerima bansos sengaja tidak dibuka pemerintah ke publik menjadi satu persoalan.
Tapi persoalan lainnya terkait metode penyalurannya ke masyarakat miskin paling terdampak COVID-19 juga layak dipertanyakan.
Belum lagi ihwal pemerataan bansos serta tanggap tujuan bantuan. Yang mana masyarakat yang harus didahulukan untuk dibantu, yang mana menyusul segera dikirimkan bantuan.
ADVERTISEMENT
Data sejatinya bekerja dengan tujuan bahwa bantuan yang diberikan pemerintah tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna di tengah situasi yang sulit ini.
Pekan lalu (20/4/2020) Seorang perempuan bernama Yuli Nur Amelia (43) di Serang, Provinsi Banten, meninggal dunia setelah menahan lapar, akibat tak ada pemasukan di masa pandemi virus corona ini.
Suaminya hanya bekerja sebagai pencari barang rongsokan dan pemulung. Pada posisi ini jelas pemerintah pusat/daerah sebagai penyelenggara negara telah lalai melindungi rakyatnya tepat waktu dalam memberikan bantuan. Sekali lagi ini persoalan data.
Kasus lain soal data yang paling tidak masuk akal terjadi di DKI Jakarta (22/4/2020) yaitu nama anggota DPRD DKI Jakarta Jhonny Simanjuntak masuk dalam daftar penerima bantuan sosial (bansos) Pemprov DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Fakta lainnya terdapat saling klaim bantuan diantara pejabat publik demi sebuah popularitas dan kepentingan politik jangka pendek juga terjadi. Kemarin (28/4/2020) Bupati Klaten Sri Mulyani yang juga calon petahana pilkada Kabupaten Klaten bahkan berani menempelkan foto pribadinya dalam bantuan hand sanitizer Kemensos. Seolah-olah itu bantuan dari dirinya padahal dari bantuan pemerintah pusat.
Persoalan lainnya berkaitan dengan penghimpunan data yang sifatnya bottom up dari desa/kelurahan yang direkomendasikan ke pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Pada bagian ini, sebenarnya secara terbuka pemerintah mengakui bahwa mereka tidak memiliki data yang valid soal penerima bansos.
Apalagi sistem pendataan dilakukan selama pandemi dikejar waktu secepat-cepatnya dan sesingkat-singkatnya. Ditambah lagi pemerintah desa/kelurahan dituntut harus bisa mengklasifikasikan bantuan; yang mana dari pemerintah pusat, yang mana dari pemerintah daerah atau yang mana alokasi dari dana kelurahan atau dana desa.
ADVERTISEMENT
Dengan asumsi banyaknya kasus penyalahgunaan dana desa dan, atau kesalahan administrasi penggunaan dana desa dalam beberapa waktu terakhir.
Kita bisa bayangkan bagaimana rumitnya kepala-kepala desa menyalurkan bantuan ini dengan konsep pendataan yang tidak disosialisasikan masiv sebelumnya.
Pada saat yang bersamaan dengan aktivitas pendataan yang tidak kunjung usai di tingkatan desa. Disitu pula pemenuhan kebutuhan masyarakat miskin terkait kebutuhan pokok dituntut untuk dilaksanakan.
Situasi ini jelas dilema, utamanya terkait pemutakhiran data penerima bansos:Yang jika skemanya tidak diatur menimbulkan masalah baru lagi terkait penyebaran Covid-19.
Alasannya bagi masyarakat miskin yang merasa dirinya pantas mendapatkan bantuan namun tidak tercatat dalam daftar penerima bansos akan beramai-ramai berangkat ke kantor kepala desa/kelurahan atau RW/RT yang secara otomatis akan menciptakan kerumunan massa yang berpotensi dapat menularkan virus ini.
ADVERTISEMENT
Sejak awal pemerintah pusat harusnya mengambil alih penyaluran bansos dengan sistem penyaluran satu atap. Tidak dengan klasifikasi-klasifikasi banyaknya bansos yang berpotensi mendatangkan masalah baru. Apalagi ditengah ketidaksiapan kita soal data penerima bansos yang layak atau belum layak.
Terciptanya data yang terintegrasi adalah impian kita semua. Karena data adalah informasi yang maha penting dalam mengatasi banyak persoalan termasuk pandemi COVID-19 ini.
Sekali lagi. Berusaha melakukan pemutakhiran data di masa sekarang ini juga bukan pilihan bijak jika dibenturkan dengan banyaknya program bansos yang ada.
Soal data dan segala persoalannya mungkin masih bisa kita perbaiki di masa mendatang sebagai pembelajaran berharga dalam menggunakan big data.
Apalagi di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, penggunaan big data yang dikawinkan dengan kecepatan internet (internet things) hingga penyimpanan data di awan (cloud computing) adalah sebuah keniscayaan yang menjadi agenda besar bangsa Indonesia di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Tapi dengan membiarkan banyaknya pintu bansos di masyarakat dengan kebijakan penggunaan data masing-masing kelembagaan juga tentu bukan pilihan yang bijak.
Solusinya tentu pemerintah pusat mengambil alih semua program yang sedang dan, atau akan berjalan. Kemudian menjadikannya menjadi bantuan satu pintu atau satu atap kebijakan.
Meski demikian, pemerintah tentu tidak begitu saja bisa lepas dari pertanyaan: “Itu data siapa yang digunakan pemerintah ?”
Itu pertanyaan yang lumrah dan harus dijawab pula oleh pemerintah demi keterbukaan dan transparansi kebijakan publik.
Mengingat sejak awal kita memang sengaja abai terhadap akurasi sebuah data. Maka tidak ada salahnya pula pemerintah membuka utuh soal data penerima dan skema penyaluran bansos yang dijalankannya.
ADVERTISEMENT