Basa-basi Wacana Teori Konspirasi COVID-19 di Indonesia

Konten dari Pengguna
5 Mei 2020 12:25 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Penulis Buku Berselancar Bersama Jokowi, Anwar Saragih. Sumber Foto : Dok Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Penulis Buku Berselancar Bersama Jokowi, Anwar Saragih. Sumber Foto : Dok Pribadi.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan pada sains kini berada di titik nadir. Kala para penganut teori konspirasi sedang mengambil posisi dalam wacana COVID-19.
ADVERTISEMENT
Memang belum sampai dominan. Tapi tokoh publik Indonesia macam Young Lex dan Jerinx SID mulai rutin menawarkan alternatif informasi dengan mengatakan COVID-19 adalah bagian dari konspirasi global. Pun itu, mulai dipercayai oleh masing-masing pengikutnya.
Pada penganut teori konspirasi saat ini sengaja mengkampanyekan narasi bahwa pandemi COVID-19 tidak terjadi secara alamiah. Tapi sengaja diciptakan oleh oknum untuk kepentingan kapitalisme global.
Adalah lembaga macam WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) yang disangkakan pertama kali, kemudian menyerempet ke Amerika Serikat dan China yang disangkakan. Tak hanya kolektif, individu Pendiri Microsoft Bill Gate ikut mendapat serangan bertubi-tubi ihwal tuduhan serius penyebaran virus corona adalah konspirasi global.
Sebelum melanjutkan analisisnya, saya akan menjawab satu pertanyaan kepada diri saya sendiri.
ADVERTISEMENT
Pertama, saya penganut sains murni, tidak percaya pada teori konspirasi. Alasannya teori konspirasi itu lemah secara argumentasi, fakta dan pengetahuan.
Kedua, meski tidak meyakini teori konspirasi, pada konteks kampanye: Young Lex dan Jerinx SID, saya akan paparkan secara sederhana bagaimana proses opini teori konspirasi terbangun di Indonesia.
Jika anda suka membaca ihwal teori-teori kapitalisme dan kritiknya. Tentu nama Naomi Klein tidak asing di telinga. Seorang aktivis perempuan Kanada yang dikenal karena kritik kerasnya pada globalisasi dan perusahaan multinasional.
Naomi Klien yang kita baca, selama ini banyak mengkritik brand-brand ternama macam Nike, Adidas, Coca-Cola, hingga Microsoft. Ia kemudian mengkampanyekan "No Logo" untuk mendukung argumennya menolak perusahan-perusahaan global yang melakukan eksploitasi merek dalam merangsang budaya konsumtif pada masyarakat dunia.
ADVERTISEMENT
Pada satu karyanya di tahun 2007, Naomi Klien menulis buku berjudul : "Disaster Capitalism" (kapitalisme bencana) yang menjelaskan bagaimana kapitalisme global memanfaatkan bencana besar dalam menjalankan misinya.
Merujuk sedikit uraian dari Naomi Klien ini, pada konteks Indonesia, saya mencoba mengajukan pertanyaan ilustrasi:
"Apa yang bisa dilakukan masyarakat Indonesia di masa pandemi, ketika ragam RUU akan dibahas DPR dan pemerintah?"
Demonstrasi? Jelas dilarang karena ini masa pandemi. Diskusi publik membahas banyaknya rancangan undang-undang? Juga melanggar kebijakan physical distance (menjaga jarak).
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kecuali menunggu pandemi di level nol (0) kasus di Indonesia atau minimal negara-negara yang adidaya di bidang ilmu pengetahuan, macam: Amerika Serikat, China hingga Israel resmi merilis dan mencetak miliaran vaksin COVID-19 untuk umat manusia.
ADVERTISEMENT
Sembari berharap tidak lahir regulasi dan kebijakan pemerintah Indonesia di luar komitmennya untuk fokus dalam penanganan COVID-19. Ini hal sederhana yang bisa kita lakukan sekarang. Setidaknya menunggu sampai situasi normal kembali.
Pun berharap DPR dan Pemerintah memberi kepastian bahwa ragam rancangan undang-undang, misalnya: RUU Omnibus Law, RUU Pertanahan atau RUU Permasyarakatan dibahas kembali pasca pandemi.
Ilustrasi Corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
Masyarakat skeptis pada pemerintah itu wajar, setiap masyarakat dunia menaruh nilai itu pada pemimpin negaranya. Alasannya ketidakpastian berakhirnya pandemi serta waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi.
Pada ketidakpastian ini, para penganut teori konspirasi mulai membangun narasi. Mengabaikan informasi dan fakta. Percaya akan hanya pada apa yang diyakini. Menukar logika sains dengan retorika emosional. Post Truth.
ADVERTISEMENT
Jika boleh jujur mereka tidak sepenuhnya salah. Alasannya pemerintah juga sejak awal tidak terbuka soal penyebaran Covid-19. Ragam lelucon soal Covid-19 rutin diucapkan pemerintah tanpa basis ilmiah.
Mulai dari ucapan Menko Perekonomian yang bilang virus corona tidak akan masuk ke Indonesia karena izin sulit (15 Februari 2020), Menteri Kesehatan menantang Peneliti Harvard datang ke Indonesia untuk membuktikan keberadaan COVID-19 (11 Februari 2020).
Pun Menteri Kesehatan yang bilang kasus COVID-19 di Indonesia belum ada karena doa (17 Februari 2020) adalah beberapa narasi yang sebenarnya mengabaikan fakta ilmiah.
Kemudian para penganut teori konspirasi hanya mencoba memberikan informasi alternatif soal penanganan COVID-19 karena keterbatasan akses data dan informasi yang valid.
ADVERTISEMENT
Misalnya: kapan pemerintah pertama kali membuka data soal COVID-19 di Indonesia? 14 April 2020, kira-kira 41 hari setelah kasus pertama diumumkan. Di situ kita baru diberitahu berapa jumlah OPD dan PDP secara nasional.
Serta penanganan awal virus corona di Indonesia, dilakukan pemerintah dengan pendekatan intelijen. Pada pendekatan intelijen terkait informasi tentu dipegang oleh Presiden Jokowi. Sekali lagi, hanya presiden yang memiliki seluruh akses informasi COVID-19 di Indonesia ketika pendekatan yang digunakan adalah intelijen.
Dalam negara demokrasi, berusaha mengendalikan informasi membutuhkan kesiapan infrastruktur, alat dan sumber daya manusia yang mumpuni. Jika tidak kuat, maka akan muncul fakta alternatif yang berdampak orang mulai menjadi tidak percaya pada ucapan pemerintah.
Setidaknya ini argumen awal, George Orwell kala menulis novel politik berjudul: "Nineteen Eighty-Four (1984)" menjelaskan ihwal totalitarianisme bahasa untuk menundukkan seluruh pikiran masyarakat pada semiotik pragmatisme, simbol-simbol dan neuro-linguistik.
ADVERTISEMENT
Percuma menggelontorkan informasi jika pesan propaganda tidak diterima masyarakat dan tidak ditangkap sebagai proses kognitif subjek karena saat ini orang mulai jenuh dengan hanya dipaksa tetap dirumah sementara kehidupan ekonomi mereka jatuh.
Jika sudah demikian hanya akan melahirkan medan perlawanan informasi. Menumbuhkan pelarian informasi terkait COVID-19 melalui jalan nalar konspirasi. Lebih lagi, pemerintah tidak mampu menjadi operator yang baik dalam konsolidasi kekuasaan dalam mengendalikan informasi Covid-19. Alasannya sejak awal pandemi di Indonesia, pemerintah seolah menutup data.
Narasi-narasi pada penganut teori George Orwell atau kerap dikenal Orwellian inilah yang justru dibenturkan dengan teori konspirasi global dengan menautkan teori anti-globalisasinya Naomi Klien dengan rujukan kinerja pemerintah Indonesia di masa pandemi.
Ukurannya adalah standard ganda pemerintah dalam memutuskan kebijakan, yang kita baca akhir-akhir ini: misalnya soal narasi mudik atau pulang kampung yang tidak substansi dibahas, 500 TKA China yang dibiarkan masuk di masa pandemi, hingga kartu pra kerja yang meninggalkan jejak kontroversi hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Belum lagi soal diberhentikan Komisioner KPAI Sitti Hikmawatty sebagai konsekuensi polemik ucapannya soal kehamilan di kolam berenang yang mengundang banyak reaksi.
Khusus pemecatan Siti Hikmawati tentu sudah tepat. Tapi masyarakat akan melihat konsistensi kebijakan sebagai konsekuensi moral kekuasaan.
Lalu muncul pertanyaan lanjutan: Apa kabar ucapan menteri yang menjadikan COVID-19 sebagai lelucon? Bukankah ucapan tersebut sama tidak ilmiahnya dengan ucapan hamil di kolam berenang-nya Siti Hikmawati?
Kekuasaan menuntut agar teori konspirasi jangan ada dalam wacana publik di masa pandemi. Tapi pemerintah tidak konsisten tentang kebijakannya. Bahkan terkait data korban infeksi dan data bansos yang sedang dijalankan tidak juga akurat.
Apakah sekarang waktunya membendung mereka yang menggaungkan teori konspirasi? Sudah terlambat. Alasannya sejak awal sesungguhnya pemerintah sendiri yang membuka ruang masuknya teori konspirasi COVID-19 dalam wacana publik di Indonesia, dengan harapan informasi bisa dikendalikan penuh dengan pendekatan intelijen.
ADVERTISEMENT
Pengetahuan dan ketidaktahuan informasi saat ini bahkan sama menakutkan bagi kita.
Contoh saja, mana yang lebih mengerikan: "Melihat banyaknya korban yang terinfeksi COVID-19 atau melihat banyak orang berkeliaran penuh sesak di masa pandemi padahal mereka tahu virus ini mematikan?"