Jangan Beristirahat Kata-Kata

Konten dari Pengguna
18 Juni 2020 9:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wiji Tukul. Sumber Foto : www.liputan6.com
zoom-in-whitePerbesar
Wiji Tukul. Sumber Foto : www.liputan6.com
ADVERTISEMENT
Pada sebuah malam di bulan september 2014, di acara yang diselenggarakan penggiat HAM dan Seniman Kota Semarang bertajuk “Tribute to Munir”. Saya berkesempatan bertemu dengan Fajar Merah dan Sipon, anak dan istri Wiji Tukul di depan Gedung Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro.
ADVERTISEMENT
Wajah Fajar Merah terlihat sangat emosional malam itu. Duduk pada sebuah sudut beranda ruang kelas dengan tatapan liar penuh keraguan. Mimik wajahnya penuh tanya, seolah memendam rahasia yang amat serius.
Dihisapnya rokok kretek dalam-dalam, dikeluarkan asap mengepul dari hidungnya. Tak ada seorangpun yang dekat apalagi bersentuhan dengannya. Kecuali sebuah gitar yang setia dipelukannya.
Di sudut yang berbeda, terlihat Sipon sedang berbincang serius dengan Sejarawan Bonnie Triana dan penulis buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965” (Alm) Wijaya Herlambang di depan puluhan lukisan Munir.
Saya tak tahu persis apa yang mereka bicarakan. Pada bacaan saya malam itu, Bonnie dan Herlambang sedang menambah literasi atau mengkonfirmasi pengetahuan sejarah mereka tentang Wiji Tukul pada Sipon.
ADVERTISEMENT
Beberapa menit setelah pemandangan itu, Tepat jam 8 malam, panitia memanggil para peserta diskusi yang bertema “Kekerasan HAM oleh Negara” masuk ke dalam Aula Pertemuan.
Bonnie, Herlambang, Sipon dan seorang moderator duduk di depan bersilah dekat panggung. Puluhan peserta diskusi lalu mengambil posisi setengah lingkaran berhadap-hadapan dengan pemateri.
Tak kalah, saya yang sangat antusias dengan tema diskusi tersebut pun mengambil posisi duduk di barisan paling depan. Diskusi itu terbuka untuk umum, gratis tanpa tiket.
“Saya sempat dinyatakan gila, dan dua anak saya Wani dan Fajar yang masih kecil pernah diminta menandatangani ijin bahwa ibunya bersedia direhabilitasi. Saya disuntik, ingatan saya dicoba dihilangkan. Itu saat saja meminta keadilan akan nasib suami saya (wiji tukul) ” kata Sipon pada peserta diskusi.
ADVERTISEMENT
Mata ibu Sipon yang berkaca-kaca menarasikan kepedihan amat dalam tentang ketidakadilan yang diterimanya selama ini. Sesekali matanya memandang wajah Fajar. Isak tangis Ibu Sipon pun tak tertahan saat Fajar yang terlihat menunduk tersendu mendengar cerita Sipon. Tentu bagi Fajar, ini bukan pertama kalinya ia mendengar narasi itu. Pasti sudah berkali-kali ditengah intensitas pertemuan mereka. Berjarak 10 meter dari Sipon, Fajar terlihat salting mendengar ibunya bercerita. Sesekali ia memain-mainkan melodi gitarnya.
“Saya di fitnah selingkuh, mereka (penguasa) menuduh saya selingkuh dengan banyak laki-laki, saat Wiji Tukul dipelariannya. Tak jarang cemoohan kata “pelacur” saya dapatkan dari orang-orang. Kata mereka, Fajar bukan anak kandung Wiji Tukul. Apa anda yang datang keruangan ini tidak percaya? Lihat saja sekarang, wajah Fajar hampir tak ada beda dengan bapaknya” Lanjut Ibu Sipon.
ADVERTISEMENT
Suasana sangat hening malam itu. Cerita-cerita yang keluar dari mulut Sipon tentang tekanan-tekanan yang dihadapinya dan anak-anaknya di penghujung orde baru sangat mengugah nurani sekaligus menggeramkan pikiran.
Menanti kepastian akan letak keadilan di negeri ini. Tanpa jawaban hingga rezim silih berganti. Mulai dari Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga Jokowi sama saja. Semua masih diam. Negara masih bungkam.
Selepas Sipon bercerita, kini giliran Fajar Merah yang bercerita lewat petikan gitarnya. Dibawakannya lagu yang berjudul “Lagu Anak” ciptaan Danto Sisir Tanah yang diliriknya dituliskan menarasikan kerinduan seorang anak pejuang pada sosok ayah yang hampir tak pernah dikenalnya.
Penggalan lirik yang sangat mengena bagi seisi ruangan diskusi. Fajar juga menangis malam itu. Tak mampu dia berkata-kata apalagi berpidato untuk menceritakan apa yang dia rasakan, yang terlihat malam itu, dia hanya bercerita lewat lagu. Merah bercerita.
ADVERTISEMENT
Ucapan ini adalah salah satu kalimat terkenal dari Wiji Tukul kala dalam persembunyiannya di Kalimantan dan pulau Jawa saat Rezim Orde Baru mengejar-ngejarnya. Memahami Wiji Tukul syarat kerinduan. Kerinduan akan keluarga, kerinduan akan demokrasi, kerinduan kebebasan akan belenggu kediktatoran dan kerinduan akan datangnya keadilan.
Narasi tentang Wiji yang menjadi pejuang demokrasi jelang Reformasi 1998, tak ubahnya seperti kisah Tan Malaka di Proklamasi 1945 dan Soe Hok Gie di Pergerakan 1966. Saya membaca kisah perjuangan Tan Malaka dari buku “Dari Penjara ke Penjara 1-3”. Mirip Tan yang punya delapan nama samaran, Wiji juga beberapa kali mengganti namanya saat berada di Pontianak, Mulai dari nama; Wanto hingga Paul.
Sebaliknya, Soe Hok Gie dalam kisahnya di “Catatan Seorang Demonstran” juga pernah ditawarkan berganti nama seperti kakaknya Arif Budiman. Namun, Gie menolak mentah mentah permintaan saran kakaknya.
ADVERTISEMENT
Namun, titik temu yang paling nyata antara Wiji, Gie dan Tan adalah tentang ketulusan perjuangan mereka. Ketiganya berjuang tanpa kompromi, konsisten melawan ketidakadilan, tidak terobsesi jabatan, dan dilenyapkan.
Sebagai pejuang lintas generasi, mereka tak pernah berharap bonus perjuangan itu adalah karir politik. Apalagi berjuang untuk mendapatkan akses kuasa dan sumber daya. Walau konsekuensi terhadap perjuangan mereka yang tidak kenal kompromi itu menyebabkan nyawa mereka akan dihilangkan. Tak jadi soal bagi mereka.
Tan Malaka menulis, Soe Hok Gie menulis dan Wiji Tukul menulis. Tulisan pulalah yang menjadi warisan paling berharga mereka hingga hari ini. Kata-kata yang lebih menakutkan daripada senjata.
Lewat kata-kata, Tan tentang melawan kolonialisme dan ketidakadilan sempat beristirahat ketika nyawanya dilenyapkan rezim sampai Gie hadir menggandakan lewat puisi-puisi dan esai-esai yang dia tulis. Gie tanpa komprominya membuat gerah rezim yang kemudian melenyapkannya, hingga di sambung kembali oleh Wiji.
ADVERTISEMENT
Kini nafas perjuangan melawan ketidakadilan itu ada pada kata-kata di puisi-puisi Wiji Tukul. Percayalah kata-kata itu masih menagih, Ia masih hidup dan belum mati. Ia akan terus ada dan berlipat ganda. Jangan beristirahat kata-kata.