Kartini, Burung Pantai Lincah Yang Ingin Terbang Bebas

Konten dari Pengguna
21 April 2020 10:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Raden Ajeng Kartini. Sumber Foto : Tribunnews.com
zoom-in-whitePerbesar
Raden Ajeng Kartini. Sumber Foto : Tribunnews.com
ADVERTISEMENT
Catatan saya di hari ke-50 pandemi Covid-19 di Indonesia adalah tentang Hari Kartini yang rutin kita peringati setiap tanggal 21 April. Perayaan tahun ini menjadi tak biasa ditegah virus corona yang semakin mengkhawatirkan; tidak ada upacara, tidak ada selebrasi dan tidak ada pula acara seminar seperti yang biasa banyak orang lakukan kala memperingati Hari Kartini.
ADVERTISEMENT
“Raga bisa terpasung tapi jiwa harus terbebaskan” kata Raden Mas Panji Sosrokartono sembari memberikan kunci lemari yang berisikan buku-buku pada adiknya Trinil, nama kecil Raden Adjeng Kartini.
Begitulah Trinil, seorang perempuan cerdas penyayang yang banyak menunggu waktu menunggu pingitan untuk dinikahkan keluarga. Sebuah tradisi masyarakat jawa bagi perempuan yang dianggap sudah menginjak dewasa untuk menunggu lamaran seorang laki-laki untuk dijadikan istri.
Tidak peduli soal umur, masa itu di sekitaran tahun 1800-1900, kala seorang perempuan sudah mengalami masa menstruasi pertama. Saat itu pula perempuan tersebut bisa dinikahkan. Pun soal akan dijadikan istri keberapa.
Asal derajat dan martabat calon laki-laki yang akan melamar perempuan masuk dalam kategori standard keluarga apalagi datang dari keluarga ningrat atau bangsawan. Saat itu pula, perempuan tersebut dipersilahkan keluarga untuk segera dikawinkan. Posisi perempuan masa itu hanya bisa tabah dan iklas, jika sewaktu-waktu dilamar lalu dipersunting oleh seorang laki-laki.
ADVERTISEMENT
Ayah Trinil adalah seorang bupati Kabupaten Jepara bernama RMAA Singgih Djojo Adhiningrat. Trinil berarti pula; “burung pantai yang lincah”.
Konon menurut banyak litrasi alasan ayahnya memanggilnya dengan sebutan Trinil, karena kecerdasan, keaktifan dan kecantikan Kartini di masa anak-anak.
Pada kesehariannya menghadapi “belenggu pingitan”, Trinil satu kamar dengan adiknya Roekmini dan Kartinah. Dua orang tempat curahan hati pemikiran Kartini tentang kebebasan, kesetaraan dan keadilan yang harus diperjuangkan perempuan.
Pada kedua adiknya itu pula, Kartini memotivasi agar perempuan itu harus cerdas, mandiri dan tidak hanya sibuk mempercantik diri. Caranya tidak lain adalah dengan bersekolah, membaca dan menulis untuk memperluas cakrawala berfikir.
Perkenalan Kartini dengan tokoh feminis Belanda Rosa Abendanon dan Estelle "Stella" Zeehandelaar turut pula mempengaruhi pemikirannya tentang kebebasan dan kesetaraan.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya Kartini selalu menulis dan mengirimkan naskah-naskah tulisannya ke berbagai media di Belanda. Termasuk majalah De Hollandsche Lelie, sebuah jurnal terkemuka wanita Belanda saat itu.
Kondisi ini pula yang membuat jengkel ibu tirinya Raden Adjeng Moeriam yang menganggap jika pemikiran Kartini terus berkembang bisa merusak tradisi keluarga. Tak hanya ibu tirinya, kakak tertuanya Slamet juga mengekang pemikiran Kartini.
Alasannya adalah nama baik keluarga di mata bupati-bupati sekawasan yang menjadi pertaruhan. Jika sampai mengetahui putri seorang bupati Jepara tidak menjalankan penuh nilai-nilai adat istiadat.
Dikisahkan pula, surat-surat Kartini yang akan dikirim ke media Belanda langsung dirobek oleh Slamet karena bertolak belakang dengan tradisi Jawa
Begitulah cara Kartini melawan ditengah budaya feodal. Membaca dan menulis adalah kegiatan dijalankan rutin oleh Kartini. Tidak hanya itu, sebagai anak bupati, Kartini juga kerap turun langsung menyapa rakyat Jepara.
ADVERTISEMENT
Memotifasi warga, mempromosikan ukiran-ukiran kayu khas Jepara hingga mengembangkan usaha rakyat Jepara. Dampak nyatanya, di masa itu perekonomian rakyat Jepara sangat sejahtera karena pesanan ekspor ukiran kayu ke luar negeri meningkat pesat.
Feminisme dan Bakti
Kebanyakan orang berpendapat, pembahasan mengenai isu-situ feminisme kerap berkonotasi dengan hal negatif. Karena selalu bicara kebebasan perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan.
Padahal secara substansi apa yang diperjuangkan oleh Kartini terkait feminisme adalah upaya perlawanan kaum perempuan terhadap kekerasan, penindasan dan diskriminasi yang marak kita saksikan hari-hari ini, baik itu di rumah tangga, tempat bekerja dan pada kehidupan masyarakat.
Setidaknya ada empat pembelajaran yang bisa kita ambil dari sosok Kartini . Pertama, Kartini sangat mendambakan sosok perempuan yang independen, dan mampu bekerja untuk kebaikan dalam kehidupan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, Kartini sangat yang dipengaruhi pemikiran politik barat yang menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, Kartini sangat menentang diskriminasi terhadap perempuan. Kemudian yang terakhir keempat, Kartini menyatakan “perang” terhadap poligami.
Saya sangat terkesan dengan pemikiran Kartini. Pelajaran akan kekuatan perempuan, pemahaman akan pentingnya kepekaan terhadap lingkungan sekitar ditengah kehidupan Kartini sebagai anak bangsawan.
Tentu yang paling penting adalah kesadaran akan bakti kepada orang tua. Sebab, se-pintar apapun, se-populer apapun dan se-terkenal apapun seorang anak hingga mendapatkan pujian dari seluruh dunia, posisinya di keluarga tidak akan pernah bisa melebihi orang tua. Di rumah tempat kita lahir dan dibesarkan, melawan orang tua adalah tindakan yang harus dijauhkan dari pikiran.
Pesan ini yang kerap diucapkan oleh ibu tirinya Moeriam yang berucap;
ADVERTISEMENT
“Setinggi-tingginya Londo-londo itu memujamu, kedudukanku di rumah ini lebih tinggi dari kamu (Kartini)”
Itu pulalah yang menjadi alasan Kartini, tidak menolak permintaan ayahnya RAA Singgih Djojo Adhiningrat saat menerima lamaran untuk segera dinikahi bupati kabupaten Rembang yang telah beristri bernama Raden Adipati Joyodiningrat.
Padahal pada saat itu, Kartini sedang menunggu jawaban permintaannya pada pemerintah Belanda terkait beasiswa.
Kartini tidak sedikitpun menolak permintaan keluarga, meski dengan tiga syarat yang diajukannya; pertama, Kartini menolak menjalankan ritual mencuci kaki suaminya. Kedua, Kartini menolak sistem sopan santun yang rumit masyarakat Jawa dan ketiga, mengharuskan siapapun suaminya kelak harus membantunya mendirikan sekolah untuk perempuan dan orang-orang miskin. Tanpa ragu dan sungkan, bupati Raden Adipati Joyodiningrat pun menyanggupi permintaan Kartini.
ADVERTISEMENT
Kartini adalah sosok yang iklas dan berjiwa besar. Sebab, pemikirannya telah melampaui jamannya. Bakti yang ia tunjukan tidak hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga, tapi juga untuk perjuangan kaum perempuan Indonesia terbebas dari rasa takut, diskriminasi hingga terciptanya kesetaraan.