Kekalahan di PTUN dan Pentingnya Mengevaluasi Kewenangan DKPP

Konten dari Pengguna
24 Juli 2020 13:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para Aanggota DKPP. Sumber Foto : Website DKPP
zoom-in-whitePerbesar
Para Aanggota DKPP. Sumber Foto : Website DKPP
ADVERTISEMENT
Gugatan Evi Novida Ginting di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) telah diterima, bukan tiga perempat, setengah atau seperempatnya, tapi seluruhnya.
ADVERTISEMENT
Tanpa tedeng aling-aling semua pokok gugatannya dimenangkan oleh penggugat yang dalam hal ini adalah Evi Novida Ginting.
Jika demikian, layaklah kita menggugat kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hingga berani mengeluarkan putusan perkara Nomor 317/2019 tanggal 18 Maret 2020 yang menjadi dasar lahirnya Keputusan Presiden Republik Indonesia No 34/P/2020 tentang Pemberhentian Tidak Hormat Anggota KPU masa jabatan tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020 yang menjadi subjek perkara, yang akhirnya dibatalkan PTUN.
Selama ini, kekuasaan DKPP sebagai lembaga peradilan etik hampir tidak ada batasan dalam mengadili penyelenggara pemilu, baik itu KPU pusat hingga daerah dan Bawaslu pusat hingga daerah.
ADVERTISEMENT
Adapun konsekuensi dalam menilai etika secara filosofis haruslah didukung oleh standard penilaian terhadap moral. Moral harus pula konsisten menilai tentang baik atau buruknya sesuatu perkara.
Jika ditarik kesimpulan, terdapat benang merah antara etika terhadap baik dan buruknya objek persoalan. Melalui jalan utama moral. Jika urusannya adalah DKPP, maka ini bertautan dengan moral penyelenggara pemilu yang tidak boleh mencederai aspek kepercayaan masyarakat.
Kembali ke pra-kondisi terhadap kasus Evi Novida Ginting. Rujukan putusan terhadap kasus Calon Legislatif Partai Gerindra Kalimantan Barat adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun MK merupakan lembaga paling akhir dan pemutus tertinggi setiap sengketa pemilihan umum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sekarang pertanyaannya, pada proses sengketa pemilu yang telah diputuskan oleh MK. Apakah DKPP berhak mengadili hasil putusan MK?
Tentu saja tidak berhak, DKPP terlalu jauh melangkah hingga mengurusi perkara yang telah diputuskan MK.
Sangat jelas fakta bahwa DKPP sebenarnya melewati batas kewenangan terhadap putusan yang telah diputuskan MK.
Singkatnya, arogannya proses persidangan yang dilakukan DKPP waktu itu, terus dilanjutkan bahkan dengan jumlah anggota DKPP yang tidak kuorum dalam persidangan.
Puncaknya lahirlah putusan pemecatan terhadap Evi Novida Ginting dan menghukum berat komisioner KPU lainnya.
Argumen DKPP sederhana dengan bahasa bahwa putusannya adalah final dan mengikat. Pada bahasa "final dan mengikat" inilah yang membuat Presiden Jokowi tak kuasa menandatangani Kepres tentang pemberhentian Evi Novida Ginting.
ADVERTISEMENT
Yang kemudian digugat ke PTUN dan dimenangkan oleh Evi Novida Ginting setelah melalui pembacaan dan kesaksian para ahli di beberapa bulan masa persidangan.
Berdasarkan runtutan persoalan yang dilakukan oleh DKPP diatas. Rasanya perlu sebuah terobosan baru untuk mengevaluasi kewenangan lembaga peradilan etik pemilu ini.
Pasalnya selama ini, tidak ada lembaga yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk mengawasi DKPP hingga melakukan penyalahgunaan kekuasaannya.
Karena itu pula banyak akademisi dan praktisi pemilu yang ikut bersuara atas kewenangan yang amat luas dan terkesan sangat arogan dari DKPP.
Belum lagi antara antara Bawaslu, KPU dan DKPP memiliki kewenangan masing-masing. Dimana KPU dan Bawaslu kebanyakan bekerja secara teknis sebaliknya DKPP pada landasan etika.
ADVERTISEMENT
Agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasan dan tumpang tindih wewenang, posisi DKPP secara kelembagaan perlu dipertegas atau dibatasi.
Tentu dengan memperhatikan secara objektif setiap anggota DKPP yang dipilih oleh DPR dan pemerintah. Pilih jalannya dibuka melalui pintu undang-undang pemilihan umum yang sedang dibahas oleh DPR.
Sebagai contoh rekomendasi perbaikan kedepan, anggota DKPP Ida Budhiati adalah Komisioner KPU periode 2012-2017 yang kalah pada pencalonannya kembali untuk KPU 2017-2022.
Sebagai anggota DKPP yang ditahun yang sama kalah menjadi anggota KPU, tentu saja pertimbangan psikologis penting untuk dilihat.
Mengingat yang dibutuhkan oleh DKPP adalah hikmat kebijaksanaan dalam mengadili persoalan moral penyelenggara KPU terpilih, yang ia sendiri diperiode yang sama kalah dalam pemilihan menjadi komisoner KPU.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari fakta bahwa Ida Budhiati merupakan satu dari empat anggota DKPP yang tetap memaksakan sidang dengan jumlah kurang dari lima anggota. Dan pada akhirnya kalah di PTUN pula.
Rasanya penting membuat regulasi terhadap metode pemilihan anggota DKPP haruslah berjarak dengan periodesasi waktu ketika orang tersebut ikut dalam pertarungan menjadi anggota KPU.
Rekomendasi pilihan yang bisa diambil. Misalnya : Anggota DKPP yang mewakili unsur KPU untuk periode 2022-2027 nanti tidak boleh ikut atau pernah terlibat dalam pencalonannya di periode tersebut. Atau minimal Anggota DKPP 2022-2027 nanti adalah mantan komisioner KPU periode 2012-2017. Hitungan jarak 5 tahun saat terakhir kali menjabat amatlah penting.
Alasannya sederhana, karena sekali lagi, ini soal putusan etik yang dasarnya adalah Hikmat Kebijaksanaan.
ADVERTISEMENT
Kenapa demikian? tujuannya agar DKPP lebih bijaksana. Dan kekalahan DKPP sebagai lembaga etik peradilan pemilu di PTUN tidak boleh terjadi lagi.
Karena ini soal marwah dan cita-cita luhur para konseptor dan inisiator terhadap dibentuk dan dirikannya DKPP. Sangat cacat ketika putusan DKPP bisa sampai kalah di pengadilan, hanya karena lembaga ini salah dalam memutuskan perkara.
Pada posisi kekalahan yang mentautkan nama Presiden Jokowi di PTUN kemarin, tentu saja pemerintah penting mengevaluasi seluruh anggota DKPP.
Karena ini soal marwah Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Republik Indonesia yang mendapatkan rekomendasi putusan kemudian digugat dan kalah di PTUN. Artinya, kita layak pula berasumsi bahwa ada yang salah di DKPP.
ADVERTISEMENT
Entah itu anggota DKPP sendiri atau kewenangan kelembagaan yang terlalu luas. Pada posisi ini penting bagi DPR dan Pemerintah untuk mengevaluasi anggota DKPP. Apalagi bola panas putusan PTUN, seolah dilempar oleh DKPP ke presiden. Membuat situasi semakin membingungkan.
Mengevaluasi DKPP secara institusi kelembagaan dan wewenang adalah pilihan terbaik saat ini. Tujuannya tentu sangat sederhana yaitu demi perbaikan demokrasi di Indonesia untuk lebih baik lagi.
Pun alasan yang lebih masuk akal. Karena sejatinya, lembaga peradilan etik harus memahami etika.