news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ketika DKPP Mempermalukan Presiden Jokowi

Konten dari Pengguna
23 Juli 2020 16:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Evi Novida Ginting. Sumber Foto : Detiknews
zoom-in-whitePerbesar
Evi Novida Ginting. Sumber Foto : Detiknews
ADVERTISEMENT
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) akhirnya membatalkan keputusan Presiden Joko Widodo yang memecat Evi Novida Ginting dari jabatannya sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI).
ADVERTISEMENT
Bukan sepenuhnya kesalahan Jokowi hingga untuk kesekian kalinya ia harus kalah di PTUN.
Hanya saja, sebagai presiden, ia harus pula menjalankan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memecat Evi Novida Ginting dengan amat arogan beberapa waktu yang lalu.
Pasalnya, sejak Evi Novida Ginting dipecat oleh DKPP pada 18 Maret 2020 lalu. Sesungguhnya lembaga pengadilan etik penyelenggara, DKPP seolah tidak memperhitungkan risiko martabat presiden yang secara konstitusi tempat terakhir putusan itu akan disahkan.
DKPP waktu itu terus berjalan dalam kesalahan. Proses persidangan yang cacat hukum, penuh gimik dan inkonstitusional adalah bukti terdapatnya potensi konflik kepentingan di internal Anggota DKPP.
Misalnya : DKPP mengambil putusan sidang dengan 4 (empat) orang anggota, sementara dalam Pasal 36 Ayat 2 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019 dijelaskan :
ADVERTISEMENT
Sidang tetap dilanjut, bahkan dengan kurang dari 5 (lima) orang. Lebih sedikit lagi, 4 (empat) bahkan.
Tentu saja, DKPP adalah lembaga peradilan etik tapi tidak taat pada konstitusi tertulis di Indonesia.
Berangkat dari kondisi ini, kita melihat DKPP seolah ingin melampaui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi tempat penafsiran konstitusi.
Bahkan dengan proses putusan yang diambil oleh DKPP telah membuat hukum tertulis seolah terlihat mati. DKPP mengabaikan wibawa negara.
Evi Novida Ginting akhirnya dipecat. Pada pra-kondisi yang semua keputusan di internal KPU diambil secara bersama-sama atau kolektif kolegial untuk putusan sengketa pemilu calon legislatif Partai Gerindra untuk DPRD Provinsi Kalimantan Barat. Evi Novida Ginting dipecat sendirian.
ADVERTISEMENT
Pemberitaan menyebar melalui media dengan menyudutkan Evi Novida Ginting. Dipersalahkan seolah dia adalah penjahat demokrasi padahal sepanjang 15 tahun karirnya di Lembaga Penyelenggara KPU, sejak di KPU Kota Medan, KPU Sumatera Utara dan KPU RI, sosoknya dikenal sebagai seorang perempuan yang berintegritas, punya pendirian yang kuat dan independen.
DKPP benar-benar coba "membunuh" karakternya. Semua yang dibangunnya hancur seketika, kala pemberitaan media terus menerus setiap hari menekan dan menyudutkan dirinya.
Dalam posisi citra yang jatuh di jurang yang amat dalam itu, Evi Novida Ginting menggunakan haknya sebagai warga negara untuk menggugat ke PTUN. Tentu saja, upaya hukum itu dijalankannya dengan sendiri, melalui jalan sunyi tanpa loby sana-sini ke DPR.
ADVERTISEMENT
Evi Novida Ginting benar-benar menguasai dirinya. Menjaga mental dan kebugarannya tetap terjaga di saat yang sama dengan Pandemi Covid-19. Ia hanya memintai pandangan para akademisi dan pakar pemilu terkait putusan DKPP itu.
Banyak dukungan mengalir padanya untuk tetap berdiri meski seorang diri.
Meski begitu, dalam kesendiriannya, ia banyak mendapat perhatian dan dukungan argumentasi akademik dari pejuang demokrasi di Indonesia. Utamanya pada setiap persidangan yang dilaksanakan PTUN yang memakan waktu berbulan-bulan.
PTUN akhirnya mengabulkan seluruh gugatan Evi Novida Ginting. Ia berhasil memenangkan putusan yang menyesatkan yang dilakukan DKPP.
Pun Evi Novida Ginting dipulihkan dari Keputusan Presiden Republik Indonesia No 34/P 2020 tentang Pemberhentian Tidak Hormat Anggota KPU masa Jabatan tahun 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020 akhirnya dibatalkan.
ADVERTISEMENT
Dimana PTUN memerintahkan Presiden Jokowi memulihkan nama baik evi Novida Ginting sebelum sengketa terjadi dan Jokowi wajib mengembalikan jabatan Evi Novida ke jabatan semula yaitu Komisioner KPU RI.
Pada kondisi serupa sangat jelas bahwa DKPP mempermalukan Presiden Jokowi dengan pra-kondisi keputusan gegabah dan sesatnya.
Tidak seharusnya, Presiden Jokowi mendapatkan dampak buruk seperti ini, andai saja sejak awal DKPP tidak memecat Evi Novida Ginting, yang memutusnya tanpa argumen hukum yang tidak jelas.
Pada kasus ini, Joko Widodo dan Evi Novida Ginting adalah korban ketidakprofesionalan DKPP dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga etik penyelenggara pemilu.
Memang benar, Jokowi masih punya upaya banding di PTUN untuk kasus Evi Novida Ginting ini. Tapi saya yakin dan percaya, Jokowi tidak akan melakukan banding dan akan segera menjalankan putusan PTUN.
ADVERTISEMENT
Alasannya seserhana, Presiden Jokowi adalah orang yang taat hukum. Pun tidak mungkin, Jokowi melakukan banding terhadap putusan PTUN yang melibatkan lembaga penyelenggara pemilu yaitu Komisioner KPU.
Dimana disaat yang sama anak dan menantu Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution merupakan Bakal Calon Walikota untuk Pilkada Serentak 2020.
Pada kondisi ini, jika Presiden Jokowi mengambil putusan banding, ia berpotensi dicap "ngotot" dalam melaksanakan putusan DKPP tersebut. Pun situasi ini bisa menggiring namanya sebagai seorang yang tidak demokratis.
Untuk itu, saya berkeyakinan penuh Jokowi akan melaksanakan putusan PTUN demi sebuah kepastian hukum. Karena Jokowi yang kita kenal adalah Jokowi yang demokratis dan taat hukum.