Penyalahgunaan Kekuasaan DKPP : Gimik, Tafsir Tunggal UU dan Arogansi Putusan

Konten dari Pengguna
23 Maret 2020 19:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonessia (KPU RI) Evi Novida Ginting. Sumber Foto : Facebook
zoom-in-whitePerbesar
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonessia (KPU RI) Evi Novida Ginting. Sumber Foto : Facebook
ADVERTISEMENT
Konstruksi utama dibentuknya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah sebagai pengadilan etik bagi penyelenggara pemilu.
ADVERTISEMENT
Artinya segala tindakan yang diambil harus lepas dari gimik atau tipu muslihat pemegang amanah anggota DKPP itu sendiri, agar marwah kelembagaan tetap terjaga dengan baik.
Persoalannya sebagai lembaga etik pemilu, DKPP justru memainkan gimik dalam proses pengambilan putusan terhadap pemberhentian Evi Novida Ginting dan hukuman berat bagi Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) lainnya.
Melampaui segala kewenangannya sebagai peradilan etik dengan mengambil putusan hanya dengan 4 (empat) orang anggota DKPP, kemudian menafsirkan tunggal pasal 36 Ayat 2 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2019, yang berbunyi :
ADVERTISEMENT
Memang benar, sejak Harjono tak lagi menjabat sebagai Ketua DKPP karena ditunjuk presiden sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga kini anggota DKPP masih berjumlah 6 (enam) orang.
Namun, bukan berarti DKPP bisa mengambil kesimpulan bahwa jumlah kuorum pengambilan putusan bisa diturunkan menjadi 4 (empat), 3 (tiga), 2 (dua) atau 1 (satu) anggota DKPP. Alasannya dengan landasan etika, bukan tugas dan kewenangan DKPP pula bisa menafsirkan undang-undang dengan Interpretasi yang sewenang-wenang.
Apalagi interpretasi tersebut mengabaikan hal yang wajib dilakukan (obligattere) dengan putusan yang dihadiri minimal 5 (lima) anggota DKPP sesuai ketentuan undang-undang.
Pun membuat putusan dengan hanya diambil 4 (empat) anggota DKPP tentu sesuatu dilarang dilakukan (prohibere), alasannya saat ini masih ada 6 (enam) anggota aktif di DKPP.
ADVERTISEMENT
Membuat argumen soal kepastian hukum, yang diucapkan Plt Ketua DKPP Muhammad, sebagai legitimasi putusan yang diambil DKPP pada 18 Maret 2018 yang lalu, susungguhnya telah mengangkangi wibawa negara dan kekuasan negara yang berlandaskan hukum perundang-undangan.
Pada bagian ini, secara faktual bisa dikatakan bahwa apapun putusan DKPP dengan pengambilan tidak kuorum putusan harus batal pula demi hukum.
Sebab, penafsiran tunggal oleh DKPP terhadap putusan hukuman pada kominsioner KPU sesungguhnya telah menghasilkan putusan yang sifatnya sewenang-wenang dan arogan.
Serta telah melampaui pula segala ketentuan terkait tugas dan wewenang DKPP sebagaimana diatur dalam hukum perundang-undangan.
Dampaknya, dengan proses putusan sesat yang diambil oleh DKPP dengan segala kreativitasnya, justru membuat hukum tertulis perundang-undangan di Indonesia terlihat mati karena mengabaikan wibawa negara.
ADVERTISEMENT
Padahal sejatinya, interpretasi terhadap penafsiran yang dilakukan oleh DKPP harus melalui metodologi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Justru dengan proses putusan yang kacau ini konsep menjadikan undang-undang sebagai the living law ---hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat justru mematikan hukum itu sendiri. Karena interpretasinya dimaknai dengan bahasa sendiri dan mencerminkan gimik para pengambil keputusan, yang dalam hal ini adalah anggota DKPP itu sendiri.
Arogansi Putusan
Sejak saya mengikuti proses putusan DKPP terhadap Evi Novida Ginting dan Komisioner KPU RI lainnya, saya sudah melihat ada kejanggalan dalam seluruh proses persidangan yang dilakukan DKPP.
Alasannya pada fakta persidangan 13 November Tahun 2019 dan 17 Januari 2020, Majelis Sidang DKPP tidak pernah melakukan pemeriksaan keterangan terhadap pengadu.
ADVERTISEMENT
Misalnya ; pada persidangan 13 November 2019 lalu, pengadu Hendri Makaluasc mengambil kesempatan membacakan surat pencabutan pengaduannya, yang secara otomatis dan konsisiten pula pada sidang lanjutan 17 Januari 2020. Hendri Makaluasc dan pengacaranya absen menghadiri sidang DKPP karena merasa sudah menerima putusan dan tidak ada lagi persoalan terhadap haknya sebagai peserta pemilu yang dalam hal ini sebagai Calon Legislatif Provinsi Kalimantan Barat.
Bisa kita tarik pula kesimpulan bahwa putusan Majelis DKPP yang dijadikan dasar putusan dalam perkara 317-PKE-DKPP/2019 tidak beralasan hukum. Justru proses dilanjutkan tanpa pengadu, yang secara otomatis menghasilkan putusan yang arogan.
Pun saat Evi Novida Ginting yang merupakan Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Logistik Pemilu diputus oleh DKPP diberhentikan secara tetap dengan alasan : memiliki tanggungjawab etik lebih besar atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan akibat penetapan hasil Pemilu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitas dan kredibilitasnya.
Sumber Foto : Liputan.com
ADVERTISEMENT
Pun pada mekanisme pengambilan keputusan di KPU, DKPP harusnya menyadari bahwa tidak tersedia ruang bagi koordinator divisi untuk mengambil keputusan sendiri.
Yang artinya tugas koordinator divisi Evi Novida Ginting dibatasi dengan fungsi mengkoordinasikan, mengendalikan, membina, melaksanakan, gugus tugas divisi yang juga harus dipertangungjawabkan dalam rapat pleno di KPU.
Justru proses putusan yang diambil oleh DKPP memunculkan pertanyaan lanjutan;
Pada bagian ini harus dilihat secara serius. Alasannya, adalah fakta faktual bahwa KPU lebih memilih melaksanakan putusan MK daripada Bawaslu RI.
Kita tahu bahwa Plt Ketua DKPP Muhammad merupakan mantan Ketua Bawaslu RI 2012-2017.
Plt Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) Muhammad. Sumber Foto: dkpp.go.id
Dengan KPU mengabaikan putusan Bawaslu dan lebih memilih MK, potensi ego individu Muhammad sebagai orang yang pernah berkiprah sebagai Mantan Ketua Bawaslu RI merasa marwah lembaga yang pernah dipimpinnya itu diabaikan?
ADVERTISEMENT
Jika hal ini sampai terjadi tentu salah besar.
Sebab, pada kapasitasnya sebagai Ketua DKPP, segala ego kelembagaan yang dirinya pernah menjadi Ketua Bawaslu RI harus dikesampingkan dengan rujukan utama undang-undang dalam kapasitasnya sebagai anggota sekaligus Plt Ketua DKPP.
Tuduhan ini bukan tanpa alasan, sebab dengan segala proses putusan dengan anggota yang tidak kuorum dan melanggar undang-undang memunculkan asumsi negatif di kalangan masyarakat, akademisi dan pengamat.
Pun hal ini harus pula dipertanyakan oleh pemangku kepentingan (stakeholders) utama dalam menyikapi putusan ini yang dalam hal ini adalah Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.
Atas dasar itu, agar supaya marwah negara dan perundang-undangan Indonesia tetap terjaga dan asumsi liar tidak semakin berkembang karena arogansi anggota DKPP. Maka pembatalan putusan DKPP Nomor 317-PKE- DKPP/2019 harus segera dilakukan.
ADVERTISEMENT
Apalagi ditengah situasi pendemi corona yang semakin meninggi, hal-hal yang memicu kegaduhan hukum di Indonesia harus pula diminimalisir.
Pun saat ini pemerintah sedang fokus dalam suasana preventif pencegahan dan penanggulangan virus corona.
Tentu saja penundaan pelaksanaan putusan DKPP oleh Presiden Joko Widodo adalah langkah paling tepat yang diambil saat ini.
Sembari kita berdoa pandemi ini cepat berakir, menguatkan kita sebagai manusia, menegukan kita sebagai bangsa yang matang sebagai negara hukum.