news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Trump vs Biden

Konten dari Pengguna
20 Agustus 2020 14:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anwar Saragih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Donald Trump dan Joe Biden. Sumber Foto https://www.dailychela.com/
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump dan Joe Biden. Sumber Foto https://www.dailychela.com/
ADVERTISEMENT
Joe Biden, Wakil Presiden yang mendampingi Barrack Obama (2008-2016) akan jadi penantang serius bagi Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS 2020 ini.
ADVERTISEMENT
Sejak awal, sebelum memasuki kampanye resmi Pilpres AS, Biden telah menarik garis demarkasi yang tegas antara dirinya dengan Trump. Membangun tembok tinggi dan tebal terkait citra bahwa Biden adalah antitesa dari Trump.
Jika Trump memilih hitam, sudah pasti Biden akan putih. Jika Trump sangat rasis, Biden memilih jalan toleransi. Jika Trump sangat ekstrem, Biden memilih opsi seorang moderat.
Garis perbedaan yang diambil sangat tegas. Apalagi Biden memilih Kamala Harris jadi pendampingnya, perempuan berkulit hitam keturunan Afrika-India yang sekarang merupakan senator AS dari California.
Donald Trump dan Joe Biden. Foto: Reuters dan AFP/Jeff Kowalsky
Menegaskan bahwa Biden menekankan isu kesetaraan gender dan anti-rasisme di AS. Apalagi isu kematian George Floyd, masih hangat-hangatnya, setelah sempat memicu protes global beberapa waktu yang lalu.
ADVERTISEMENT
Mungkin pada tataran internasional, pemilihan Kamala Harris sangat populis. Karena tautan isunya erat dengan HAM, toleransi hingga kesetaraan gender dalam kerangka demokrasi modern. Tapi sebaliknya, dengan asumsi persoalan penyebaran covid-19 yang memukul ekonomi banyak negara termasuk AS.
Trump lebih diuntungkan. Setidaknya dengan konsep-konsep ultra-nasionalisme "Make Amerika Great Again" yang dikampanyekannya selama ini.
Belum lagi, masa lalu Kamala Harris saat menjadi Jaksa Agung yang menjadi isu hangat, saat perempuan ini kerap melakukan penyalagunaan jabatannya.
Pun menyaksikan Kamala Harris saat ini, mengingatkan saya pada sosok Sarah Palin, calon wakil presiden perempuan yang mendampingi John McCain saat kalah melawan Obama pada Pilpres AS 2008 lalu. Sama-sama populer diawal dan diserang soal penyalahgunaan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Saat itu, dokumen Sarah Palin tentang penyalagunaan jabatan saat menjadi Gubernur Alaska terbongkar, saat berurusan dengan pemindahan seorang perwira polisi yang bermasalah dengan salah satu anggota keluarganya. Dokumen itu terbongkar saat email Sarah Palin diretas oleh hacker dan menyebar ke media-media di AS.
Persoalannya bagi Biden di banyak analisis internasional tetap pada posisi bagaimana menertibkan Kamala Harris, agar tidak terlalu banyak berkomentar di media.
Semakin sering bicara ke media maka akan semakin tinggi intensitas serangan yang diterima. Tentu Kamala Harris sangat berbeda pula dengan Mike Pence, wakil Donald Trump yang lebih banyak menahan ucapan di hadapan wartawan.
Tentu saja jualan Biden tetap pada isu toleransi dari kebijakan pendahulunya Presiden Lyndon Baines Johnson (LBJ) yang di tahun 1964 meloloskan undang-undang hak sipil untuk warga kulit hitam AS. LBJ sama dengan Biden, sama-sama dari Partai Demokrat.
ADVERTISEMENT
Tapi, orang-orang Trump juga saat ini, mulai menjual kembali isu bahwa Partai Republik adalah Partainya Lincoln yang menegaskan Trump lebih lunak terkait toleransi.
Serta mulai bicara tentang bagaimana kehidupan manusia tidak hanya dalam tataran bernegara tapi juga dalam kerangka global. Meski itu masih belum keluar dari mulut Trump sendiri.
Jika Biden terlihat konsisten, Trump lebih anomali. Trump bisa bicara kebijakan yang berbeda bahkan berlawanan di setiap negara bagian yang dikunjunginya: Misalnya di Negara Bagian Georgia dan Missouri, Trump menegaskan warga AS boleh melakukan aborsi. Sementara di Washington, Trump mengkampanyekan menolak aborsi.
Perbedaan ucapan di setiap negara bagian sudah menjadi ciri khas Trump sejak 2016 lalu, utamanya untuk isu-isu yang mendikotomikan perbedaan pendapat pro dan kontra. Seperti : isu penduduk imigran, hukuman mati dan terkait agama minoritas di AS yaitu Muslim.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Biden yang berapa waktu yang lalu mulai mengutip Hadis dan ayat di Al-Quran dalam pidato politiknya dan menjanjikan jika Biden terpilih maka ia akan mengangkat staf seorang muslim. Tujuannya adalah kehidupan yang lebih baik untuk masyarakat muslim AS.
Biden jelas membidik suara muslim AS. Alasannya di kawasan masjid terbesar di AS yaitu Islamic Center of America di Negara bagian Michigan yang punya 16 electoral college, pendahulunya Capres Partai Demokrat Hillary Clinton kalah dari Donald Trump. Artinya Biden perlu mengkristalkan suara Muslim Amerika dalam pemilihan Presiden tahun ini.
Soal peluang meraup suara Biden layaknya Hillary pada 2016 lalu. Secara mayoritas suara Biden mungkin unggul dari Trump, tapi sistem perhitungan dan penetapan presiden terpilih di AS tidak cukup soal suara mayoritas tapi juga ditentukan suara elektoral pemilih (electoral college) untuk memilih presiden.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Presiden AS pada hakikatnya, adalah pemilihan terpisah masing-masing dari 50 negara bagian dan ibu kota, Washington DC dengan pemenang di setiap negara bagian meraup suara dalam electoral college.
Maka daripada itu dalam proses kemenangan seorang calon presiden minimal meraih 270 dari 538 suara elektoral dengan negara bagian paling berpengaruh hasilnya.
Lebih lanjut, pada Pilpres 2016, Hillary unggul 2 juta suara namun kalah dalam electoral college dari Trump yang saat itu meraih 304 dari 538 electoral college.
Artinya saat ini, Biden sedang membidik electoral college, sesuatu yang pernah diabaikan oleh Hillary di pemilu sebelumnya.
Terakhir, Barrack Obama sudah bergabung dalam kampanye Biden-Kamara, jauh daripada itu Politisi Republik yang pernah jadi Cawapres AS, Sarah Palin tetap menuntun jalan Trump di Pilpres AS 2020.
ADVERTISEMENT