Hikmah Terpapar COVID-19 dan Melakukan Isolasi Mandiri

Apria W Alfisa
Berusaha untuk Berguna untuk orang lain
Konten dari Pengguna
2 Maret 2021 5:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Apria W Alfisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Isolasi di Rumah. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Isolasi di Rumah. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Termasuk jika ditakdirkan terpapar COVID-19. Tugas manusia adalah untuk bersabar menjalaninya.
ADVERTISEMENT
Awal menjalani sebagai orang dengan positif COVID-19 bagi saya tidak terlalu berat dari sisi fisik, apalagi saya hanya mengalami gejala ringan. Demam ringan, batuk dan susah nelan, pusing hebat, dan ruam merah di betis dan paha. Rasanya hanya kayak terkena flu biasa. Saya masih bisa mencium bau dan merasakan makanan. Hasil pemeriksaan laboratorium juga bagus.
Psikis dan emosi saya nampaknya yang 'diserang'. Hampir selama seminggu awal melakukan isolasi mandiri, setiap tidur otak berputar dan selalu me-review pekerjaan kantor. Berapa banyak pekerjaan kantor yang belum diselesaikan dan harus segera dilaporkan. Tidak peduli tidur siang ataupun malam. Untuk tidur malam, hampir selalu terbangun di sekitar jam 2 dini hari. Mungkin ini yang menyebabkan pusing saya paling susah hilang.
ADVERTISEMENT
Kemarin, hari pertama masuk kerja setelah 33 hari kalender tidak ke kantor. Setelah 20 tahun lebih kerja baru sekali ini bisa 'libur' sebulan lebih. Minimal itu hikmah yang pertama. Bisa libur tidak kerja tanpa ada yang bisa melarang. Meskipun aplikasi WhatsApp tidak boleh mati karena masih diperlukan untuk komunikasi berkaitan dengan pekerjaan kantor yang tidak bisa diwakilkan, paling tidak, tidak ada kewajiban saya menjawab di grup WhatsApp tertentu yang kadang isinya bikin pusing kepala.
Nampaknya Allah SWT mempunyai maksud me-refresh otak saya karena beban pekerjaan yang mungkin kalau tetap dibiarkan bisa membikin saya jadi depresi. Ada rumor satu rekan kabarnya depresi karena beban pekerjaan yang di luar kewajaran.
Ungkapan "Tidak ada teman sejati, yang ada adalah kepentingan abadi" nampak ada benarnya. Siapa yang menghubungi untuk memberikan dukungan, siapa yang menghubungi hanya karena ada kepentingan yang ditanyakan, atau yang sama sekali tidak pernah menyapa dan saat hari pertama kemarin saya masuk kerja langsung bertanya masalah kerjaan. Dan semakin menyadari juga bahwa keluarga adalah harta yang paling berharga. Yang tidak pernah melupakan kita apa pun keadaan kita. Teman sebatas kepentingan dan kedudukan.
ADVERTISEMENT
Menyadari juga bahwa kita, manusia, diciptakan untuk saling berkomunikasi dan bertatap muka langsung, bertemu fisik bukan sekadar menyapa di WhatsApp, bahkan video call pun tidak bisa menggantikan kerinduan bertemu fisik. Jadi muncul keberanian menyapa duluan sesama rekan di safe house dan ngobrol ke sana-kemari meskipun topiknya tidak pernah jauh dari COVID-19.
Terbangun jam 2 dini hari bisa dimanfaatakan untuk beribadah atau paling tidak merenung diri sendiri. Muhasabah kalau istilah syar'i-nya. Kalau jadi rutin tentu semakin baik. Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan mengingatkan diri bahwa manusia makhluk yang sangat lemah. Diingatkan dengan makhluk yang sangat kecil yang bisa menghentikan pergerakan ekonomi dunia.
Wallöhu a'lam bishowab.