Roh Pesantren yang Hilang karena Terpaksa Melakukan Pembelajaran Jarak Jauh

Apria W Alfisa
Berusaha untuk Berguna untuk orang lain
Konten dari Pengguna
6 Maret 2021 10:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Apria W Alfisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bangunan pesantren. Foto Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bangunan pesantren. Foto Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari belakangan ini membaca di salah satu koran lokal di Bandung, diberitakan adanya klaster COVID-19 di Jawa Barat. Yang saat ini lagi rame klaster pesantren di Priangan Timur, meliputi wilayah antara lain Tasikmalaya, Banjar, Ciamis, dan sekitarnya. Sebelumnya di tahun kemarin yang sempat dibicarakan adalah klaster pesantren di sekitar Majalengka dan Kuningan. Pada awal pandemi, pesantren di sekitar Priangan Barat, Sukabumi, Cianjur, dan sekitarnya yang terberitakan adanya klaster pesantren.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, ribuan santri harus dipulangkan. Termasuk anak saya yang sedang nyantri di salah satu pesantren di Subang. Sudah sepekan ini di rumah. Meskipun awalnya nggak habis pikir dan akhirnya menyadari bahwa kekuasaan manusia sangat terbatas. Januari awal tahun ini semua insan di pesantren ini sudah melakukan tes swab PCR dan sudah dipisahkan mana yang negatif dan yang positif. Semua sudah dinyatakan clean. Negatif. Pendidikan di pesantren berjalan normal. Pesantren modern biasanya berada di lokasi yang tertutup dengan satu akses pintu masuk. Tertutup dari dunia luar. Namun tidak perlu waktu lama, 2 bulan kemudian sudah menjadi klaster COVID-19.
Pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan berbeda dengan institusi pendidikan pada umumnya, bahkan tidak bisa dibandingkan langsung dengan boarding school non pesantren, meskipun di beberapa hal ada kemiripan. Tidak boleh ada akses internet ataupun media offline lainnya langsung ke santri. Kalaupun harus ada karena kaitan pembelajaran, pasti ada pengawasan yang ketat dari tenaga pendidik di pesantren (baca: ustaz dan ustazah).
Ilustrasi santri pesantren. Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Ada kekhasan pesantren yang tidak ditemukan di institusi pendidikan lain. Ada figur kiai yang punya otoritas mutlak, meskipun di pesantren modern perannya sudah mulai digantikan dengan keputusan rapat pengurus yayasan. Tapi dalam rapat tersebut tetap proses pengambilan keputusan harus mendengarkan wejangan kiai. Biasanya kiai juga jadi ketua yayasan.
ADVERTISEMENT
Di pesantren, interaksi antar santri maupun santri dengan ustaz selalu intens dilakukan. Sulit menerapkan physical distancing. Bukan semata karena keterbatasan tempat, tempat yang relatif sempit sengaja diciptakan untuk memberikan ruang yang terbatas. Belajar beradaptasi, belajar menghargai, saling mengawasi, dan saling bekerja sama dalam kehidupan. Sebagai laboratorium yang diciptakan untuk bisa berinteraksi antar individu yang sangat berbeda karakter dan latar belakang.
Kemandirian dibentuk di pesantren. kedisiplinan juga dibentuk di sana. Mulai bangun pagi, salat, mandi, makan, pembelajaran di sekolah, olahraga, belajar malam, mengaji, sampai tidur diatur waktunya. Ada pembelajaran untuk antre dan empati di banyak hal. Ada keterbatasan kamar mandi, belajar antre dan belajar menghargai bahwa ada yang sudah antre di belakang. Hal-hal yang nampaknya sepele harus dilakukan di sana untuk menjadi pelajaran. Pembiasaan yang harapannya akan menjadi habit.
ADVERTISEMENT
Diajarkan juga adanya tidak keadilan. Santri yang pintar 'boleh' tidak belajar malam meskipun harus hadir ke kelas. Bawa bantal dan tidur di kelas saat teman-temannya harus belajar dan tidak boleh tertidur. Belajar bahwa nantinya pasti akan banyak menemukan ketidakadilan di dunia nyata.
Pesantren yang dilakukan pembelajaran jarak jauh (baca: online), jadi tak jauh beda dengan institusi pendidikan lainnya. Ada 'sentuhan' yang hilang. Ada roh pesantren yang hilang. Penanaman nilai tidak bisa dilakukan karena terganggu oleh gadget dan tayangan televisi maupun tv kabel.
Walloohu a'lam.