Pajak Antisipasi Utang yang Membengkak Pasca Pandemi COVID-19

Aqilla Fadia Haya
Mahasiswi yang sedang belajar membuat artikel menarik.
Konten dari Pengguna
29 Juni 2020 14:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aqilla Fadia Haya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
COVID-19 merupakan bencana nasional, sampai dinyatakan menjadi pandemi oleh WHO pada hari Rabu, 11 Maret 2020 lalu, sudah tiga bulan pandemi ini masih hinggap di paru-paru negeri. Mempertahankan perekonomian dilakukan banyak negara demi kehidupan bernegara, termasuk Republik Indonesia yang berusaha bertahan dari terpaan badai COVID-19 dengan berbagai cara. Salah satunya dengan meminjam atau berhutang kepada lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, sampai negara-negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Republika, berbekal Perppu No. 1/2020, pemerintah merombak postur dan alokasi APBN 2020 secara signifikan hanya dengan perpres. Untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan dari dampak COVID-19, melalui Perpres No 54/2020, defisit anggaran melonjak drastis dari Rp 307 triliun (1,76 persen dari PDB) menjadi Rp 853 triliun (5,07 persen dari PDB), dengan pembiayaan utang menembus Rp 1.000 triliun. Dengan disahkannya Perppu No 1/2020 yang merelaksasi batas defisit tiga persen dari PDB selama tiga tahun ini menjadi UU, pola stimulus dan defisit signifikan yang dibiayai utang secara masif, diduga kuat akan berulang hingga 2022.
Total utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir April 2020 tercatat US$ 400,2 miliar atau setara Rp 5.694 triliun (kurs tengah BI per 15 Juni 2020 Rp 14.228/US$). Angka ini meningkat 2,9% dari April 2019 yang sebesar US$ 389 miliar. Sementara dibandingkan dengan bulan sebelumnya, naik 2,7% dari US$ 389,7 miliar. Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia juga menyetujui pendanaan sebesar 250 juta dollar AS atau Rp 3,6 triliun (kurs Rp 14.500) untuk program Indonesia COVID-19 Emergency Response. Pendanaan ini dalam rangka mendukung Indonesia mengurangi risiko penyebaran, meningkatkan kemampuan mendeteksi, serta meningkatkan tanggapan terhadap pandemi COVID-19. Utang ini merupakan beban bagi generasi selanjutnya, jika tidak dikelola dengan baik akan bisa menciptakan sebuah krisis utang pada masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Konsumsi negara yang tinggi, namun penerimaan negara yang berkurang membalikkan ekonomi Indonesia sehingga pemerintah (invisible hand) berusaha mempertahankannya agar tetap stabil salah satunya dengan berhutang. Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan perpajakan hingga Mei 2020 mencapai Rp. 526,2 triliun atau turun 7,9 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp. 571,2 triliun. Keadaan normal target penerimaan pajak belum optimal apalagi saat pandemi, keadaan pemungutan pajak banyak hambatan baik secara pasif maupun aktif dari subjek pajak itu sendiri. Selain itu, banyaknya bantuan yang dikerahkan pemerintah baik berupa hibah sosial maupun subsidi pada bahan pangan dan pokok, menjadikan sumber pendapatan negara tidak bisa menutupi pembiayaan belanja negara untuk keseluruhan, maka dari itu utang merupakan salah satu jalan dalam memecahkan masalah tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam slide yang dipaparkan Sri Mulyani dalam Musrenbangnas 2020, tercatat pembiayaan utang yang harus dilakukan pada 2020 mencapai Rp 1.439,8 triliun. Angka fantastis ini diperlukan untuk menutup pembiayaan defisit APBN yang mencapai Rp 852,9 triliun hingga utang jatuh tempo yang mencapai Rp 433 triliun di 2020. Antisipasi utang yang membengkak, maka pemerintah mencari celah dengan mengenakan pajak yang berpotensi pada pandemi COVID-19 ini, seperti mengenakannya pajak di sektor sektor industri teknologi dan inovasi, contohnya aplikasi Netflix dan Spotify. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% akan dikenakan atas pembelian produk dan jasa digital dari pedagang atau penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) berlaku mulai tanggal 1 Juli 2020. Pengenaan pajak itu baik perdagangan dari luar maupun dalam negeri, yang mencapai nilai transaksi atau jumlah traffic dan pengakses tertentu dalam kurun waktu 12 bulan. Melalui aturan ini, produk digital seperti layanan aliran (streaming) musik dan film, aplikasi dan permainan (games) digital, serta jasa daring lainnya dari luar negeri yang memiliki kehadiran ekonomi signifikan dan telah mengambil manfaat ekonomi dari Indonesia melalui transaksi perdagangannya akan diperlakukan sama seperti produk konvensional atau produk digital sejenis dari dalam negeri. Eksternalitas utang kemungkinan akan terjadi pasca pandemi COVID-19 nanti, maka dari itu pemerintah mencegah bencana tersebut terjadi mengakalinya dengan kenaikan pajak, untuk mengurangi dampak tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita sudah diselamatkan lewat subsidi dan bantuan sosial juga tenaga kesehatan yang sudah bekerja keras selama krisis pandemi, oleh karena itu, pajak adalah senjata penolong untuk menghindari krisis ekonomi pasca pandemi. Maka dari itu, yuk bayar pajak untuk menolong pemerintah dari inflasi dan krisis di masa mendatang. Menyelamatkan krisis dari krisis.
Oleh : Aqilla Fadia Haya/Mahasiswi S1 Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta