Memaknai Ulang Unsur Kerugian Negara

Aradila Caesar Ifmaini Idris
Peneliti Hukum di Indonesia Corruption Watch (ICW)
Konten dari Pengguna
23 Maret 2017 16:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aradila Caesar Ifmaini Idris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi ....... bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat”.
ADVERTISEMENT
Demikian merupakan penggalan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017. Putusan ini merupakan penafsiran terhadap pengujian kata “dapat” dalam frasa merugikan keuangan negara yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Pemohon beranggapan frasa “dapat” menimbulkan ketidakpastian dalam penegakan hukum dan seringkali memunculkan penegakan hukum yang tidak adil. Dalam praktiknya penegak hukum dapat menjerat siapa saja dengan UU Tipikor tanpa adanya perhitungan kerugian negara yang nyata. Hal ini lah yang didalilkan pemohon sebagai ketidakpastian, ketidakadilan dan pelanggaran atas Pasal 28G Undang-Undang Dasar.
Secara yuridis, implikasi dari putusan MK tersebut adalah setiap upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi, khususnya yang menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 (Korupsi Kerugian Negara) sudah harus memiliki perhitungan kerugian negara oleh BPK sebelum dilakukan penetapan tersangka. Karena tanpa perhitungan yang real dari auditor negara perbuatan yang disangkakan belum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Putusan ini menunjukkan inkonsistensi Makhamah Konstitusi karena bertentangan dengan putusan terdahulu Nomor 03/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Saat itu Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara” menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut merupakan delik formil. Adanya tindak pidana korupsi dipandang cukup terbukti dengan terpenuhinya unsur perbuatan yang dirumuskan dan tidak bergantung pada timbulnya akibat.
Putusan tersebut meletakan penafsiran yang jelas bagi penegak hukum dalam implementasi pengunaan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Dimana penegak hukum cukup membuktikan bestanddeel delict atau inti delik dari pasal tersebut. Penegak hukum cukup membuktikan terpenuhinya unsur melawan hukum dan unsur menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Sedangkan unsur dapat merugikan keuangan negara sebagai akibat hanya merupakan elemen delik.
ADVERTISEMENT
Konstruksi yang demikian menempatkan pembuktian kerugian keuangan negara dalam proses ajudikasi di pengadilan. Penegak hukum tidak perlu harus menunggu keluarnya hasil perhitungan kerugian negara yang riil oleh auditor negara sebelum penetapan tersangka dan cukup mendalilkan keyakinan yang kuat adanya potensi kerugian negara. Pada akhirnya dapat mendorong penegak hukum untuk dapat menyelesaikan perkara korupsi dengan lebih cepat dan efektif.
Interpretasi demikian sejalan dengan konstruksi perbuatan korupsi yang dipahami sebagai definisi umum dari korupsi, Abuse of entrusted power for private gain atau penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi. Pada intinya, perbuatan pidana dalam perkara korupsi berfokus pada dua hal, yaitu sifat melawan hukum atau penyalahgunaan jabatan dan dilakukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
ADVERTISEMENT
Meskipun harus diakui bahwa interpretasi dan praktik penegakan hukum selama ini telah mengaburkan arti dan pemahaman yang sebenarnya dari pembentuk undang-undang terdahulu terhadap Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Dan justru menempatkan unsur kerugian negara sebagai suatu keharusan agar terpenuhinya delik, sehingga seringkali bergantung pada hasil audit kerugian negara.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan frasa “dapat” inkonstitusional menempatkan timbulnya akibat sebagai inti delik. Penyidik dalam hal ini harus membuktikan terlebih dahulu adanya kerugian negara dalam audit BPK dibanding membuktikan perbuatan pidananya. Hal ini menyebabkan proses penegakan hukum menjadi lamban karena penyidik harus menunggu keluarnya hasil audit kerugian negara. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut justru menghambat asas Speed Trial atau peradilan cepat.
ADVERTISEMENT
Apalagi dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 akan membuat penegak hukum semakin bergantung pada BPK sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara. Tentu akan membawa dampak perlambatan dalam upaya penegakan hukum perkara korupsi.
Tercatat ada beberapa kasus yang ditangani oleh KPK yang masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara. Salah satunya, perkara korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) yang hingga hari ini masih menunggu hasil perhitungan kerugian negara oleh BPK. Padahal KPK sudah melakukan penetapan tersangka sejak 18 Desember 2015. Kedepan, akan banyak perkara yang lama penanganannya seperti perkara korupsi pengadaan (QCC) sebagai akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016. Namun perbedaannya, penetapan tersangka dilakukan diakhir setelah ada perhitungan kerugian negara.
ADVERTISEMENT
Hal semacam ini tentu menggangu efektifitas penanganan perkara, karena penegak hukum harus menunggu waktu yang cukup lama sebelum dapat melakukan penetapan tersangka. Ini juga menimbulkan celah lain, dimana pelaku justru dapat terlebih dahulu menghilangkan barang bukti perkara korupsi yang sedang disidik sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Selain berdampak pada penanganan perkara korupsi kedepan, putusan ini juga akan sangat berdampak pada perkara korupsi yang sedang ditangani penegak hukum. Dengan lahirnya putusan ini, akan muncul gelombang praperadilan atas penetapan yang dianggap tidak sah dengan dalil belum ada kepastian hasil perhitungan kerugian negara. Hal ini akan semakin membebani kerja penegak hukum dan kontraproduktif dengan upaya pemberantasan korupsi.
Opini saya dalam Harian Jawa Pos.
ADVERTISEMENT