Setengah Hati Pengadilan Tipikor

Aradila Caesar Ifmaini Idris
Peneliti Hukum di Indonesia Corruption Watch (ICW)
Konten dari Pengguna
23 Maret 2017 14:16 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aradila Caesar Ifmaini Idris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Korupsi (Foto: EddwardSK)
Pengadilan tipikor kembali menunjukkan ketidakberpihakan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Setelah tiga tahun terakhir, pengadilan tipikor cinderung menjatuhkan hukuman ringan bagi pelaku korupsi, kini ditahun 2016 persoalan vonis ringan koruptor kembali terulang.
ADVERTISEMENT
Dalam penelitian Tren Vonis Pengadilan Tipikor Tahun 2016, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 448 terdakwa kasus korupsi divonis ringan (Pidana penjara 1 tahun hingga 4 tahun) oleh pengadilan tipikor. Kondisi ini tidak mengalami perubahan selama lebih dari 4 tahun.
Vonis ringan pengadilan tipikor kepada terdakwa kasus korupsi bukan hanya terjadi di tahun 2016. ICW mencatat sejak tahun 2012 fenomena penjatuhan hukuman ringan bagi pelaku korupsi terus terjadi dan menunjukkan peningkatan.
Di tahun 2013 ICW mencatat ada 395 terdakwa yang divonis ringan dari total 501 terdakwa yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan tipikor. Sementara di tahun 2014, sedikitnya ada 372 terdakwa yang divonis ringan, dan di tahun 2015, 400 terdakwa.
ADVERTISEMENT
Data Putusan Pengadilan Tipikor Tingkat 1 2016 (Foto: Catatan Perkara Korupsi Vonis Pengadilan 2016)
Penjatuhan vonis ringan bagi mayoritas pelaku korupsi menunjukkan adanya persoalan serius di tubuh pengadilan tipikor. Publik pantas kecewa dengan pengadilan tipikor mengingat kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Namun pada praktinya, pengadilan tipikor tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Pengadilan tipikor justru cinderung menjatuhkan hukuman ringan bagi pelaku korupsi.
Dalam konteks penjatuhan hukuman, hampir tidak ada perbedaan signifikan antara korupsi sebagai kejahatan luar biasa dan kejahatan biasa lainnya seperti pencurian atau penipuan.
Lahirnya pengadilan tipikor sebagai pengadilan yang khusus menangani perkara tindak pidana korupsi tidak bisa dilepaskan dari semangat pemberantasan korupsi yang masif.
Hal ini dikarenakan korupsi sudah dipandang sebagai kejahatan serius yang memiliki dampak yang sangat luas dan merusak. Korupsi juga telah menjelma menjadi kejahatan terhadap hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, pengadilan tipikor belum berhasil menjalankan mandat pembentukannya. Fenomena penjatuhan hukuman ringan jelas kontra produktif dengan upaya pemberantasan korupsi secara lebih luas.
Fenomena vonis ringan bagi pelaku korupsi tentu bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat sebagai korban korupsi.
Masyarakat tentu berharap pengadilan tipikor dapat menjatuhkan hukuman lebih berat kepada pelaku korupsi, mengingat korupsi berdampak luas dan merupakan kehajatan terhadap hak asasi manusia.
Memberikan hukuman yang lebih berat kepada pelaku korupsi merupakan bentuk keberpihakan pengadilan kepada masyarakat yang menjadi korban korupsi. Selain mempertimbangkan keadilan bagi pelaku, pengadilan tipikor sudah sewajibnya mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Maka tidak berlebihan kiranya jika publik mengharapkan adanya pemberatan hukuman bagi pelaku korupsi.
ADVERTISEMENT
Akar Masalah
Persoalan vonis ringan bagi pelaku korupsi tentu perlu ditinjau secara lebih mendalam yang menjadi penyebabnya. Namun secara sederhana persoalan vonis ringan dapat disebabkan karena alasan non-teknis dan teknis.
Dalam hal non-teknis, pola rekrutmen dan pembinaan hakim tipikor memainkan peran penting. Mustahil mendapatkan Hakim yang kompeten dengan proses rekrutmen dan pembinaan yang kurang berkualitas.
ICW mencatat selama lebih dari dua tahun terakhir proses rekrutmen hakim ad hoc tipikor dirasa tidak memuaskan. Hal ini disebabkan hampir tidak ada calon yang memenuhi kriteria sebagai hakim ad hoc tipikor.
Rendahnya kualitas keilmuan dan integritas yang belum teruji menjadi kriteria utama seorang hakim ad hoc tipikor. Sayangnya, meski minim kualitas Mahkamah Agung tetap memilih calon untuk diangkat menjadi hakim ad hoc tipikor.
ADVERTISEMENT
Padahal eksistensi hakim ad hoc tipikor sangatlah penting mengingat hakim ad hoc adalah hakim tertentu/khusus yang diperlukan keahliannya dalam memutus perkara tipikor. Sehingga dapat memberikan kontribusi yang optimal dalam proses ajudikasi di pengadilan tipikor.
Maka tak heran jika putusan pengadilan tipikor hingga saat ini tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi, karena dihasilkan dari hasil seleksi yang tidak mengedepankan kualitas individu.
Selain itu proses pembinaan hakim tipikor juga kurang memadai. Hakim tipikor yang berasal dari hakim karir maupun hakim ad hoc tipikor tidak diberikan waktu dan pembinaan yang cukup komprehensif untuk memperkaya dirinya dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang tindak pidana korupsi.
Pembinaan hakim tipikor nyatanya belum mampu membangun komitmen dan semangat pemberantasan korupsi para hakim tipikor. Justru sudah ada 8 orang hakim tipikor yang tertangkap tangan menerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
ADVERTISEMENT
Dari segi teknis, setidaknya ada dua hal penting yang perlu menjadi perhatian. Pertama, rendahnya vonis pengadilan tipikor tidak dapat dipisahkan dari rendahnya tuntutan jaksa penuntut umum.
Sama halnya dengan vonis ringan pelaku korupsi, tuntutan rendah juga sering terjadi selama tiga tahun terakhir. Jaksa cenderung menuntut pelaku korupsi dengan tuntutan rendah dan seringkali memunculkan disparitas dalam penuntutan.
Kedua, ketiadaan pedoman pemidanaan bagi hakim dalam memutus perkara korupsi. Undang-Undang memberikan kebebasan yang sangat luas bagi hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap pelaku. Namun seringkali pilihan hukuman tersebut sulit dipertanggungjawabkan dan justru menimbulkan disparitas pemidanaan.
Praktik ini pada akhirnya melahirkan persoalan ketidakadilan bagi pelaku dan korban korupsi. Idealnya, diskresi hakim dalam menjatuhkan hukuman perlu diberikan rambu-rambu yang jelas.
ADVERTISEMENT
Bukan dalam rangka membatasi kebebasan dan kemandirian hakim, tapi semata-mata menjaga agar putusan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pengadilan. Selain itu juga menghindari praktik abusive dan jual beli putusan pengadilan.
Pada prinsipnya pedoman pemidanaan tidak mengurangi kebebasan dan kemandirian hakim. Hakim tetap memiliki kebebasan dan kemandirian dalam menentukan pidana yang harus dijalani pelaku, namun dalam koridor kategori hukuman yang ditetapkan dalam pedoman pemidanaan.
Komitmen pemberantasan korupsi pengadilan tipikor bukan semata-mata diwujudkan dengan menyatakan pelaku korupsi bersalah dan menjatuhkan hukuman bagi semua pelaku dipersidangan.
Namun yang lebih substansial adalah menjatuhkan hukuman yang adil bagi pelaku dan juga masyarakat luas sebagai korban kejahatan korupsi. Selain juga memperberat hukuman sebagai konsekuensi logis korupsi sebagai kejahatan serius yang memiliki dimensi pelanggaran hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT