news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Isu Sensitif yang Dibahas dalam Pertemuan Trump dan Erdogan

17 Mei 2017 21:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Donald Trump berjabat tangan dengan Erdogan (Foto: REUTERS/Joshua Roberts)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyambut hangat kunjungan Presiden Turki, Reccep Tayyip Erdogan, dengan menyebutnya sebagai sekutu untuk memerangi kelompok teroris. Terorisme memang menjadi pokok bahasan utama dalam kunjungan kenegaraan yang dihelat di ibukota Washington DC pada Selasa (17/5) sore.
ADVERTISEMENT
Dilansir Reuters, keduanya tampak hangat dan saling memuji. "Kami telah memiliki hubungan yang baik dan akan membuatnya lebih baik lagi," ujar Trump dalam konferensi pers. Sedangkan Erdogan berujar bahwa kunjungannya kali ini merupakan "titik balik yang luar biasa dari sejarah hubungan antar kedua negara."
Turki telah menjadi mitra bagi koalisi militer yang dipimpin AS dalam perang melawan ISIS. Kerjasama keduanya terbukti mampu menggerogoti unit-unit pasukan ISIS di Suriah. Turki memberikan pangkalan udara di daerah Incirlik yang kemudian menjadi basis vital militer AS untuk menyerang militan ISIS.
Meski ditutup dengan saling memuji, perbincangan Trump dan Erdogan berlangsung panas karena membahas isu-isu sensitif yang membayangi hubungan kedua negara.
Dialog Trump dan Erdogan di Gedung Petuh (Foto: REUTERS/Kevin Lamarque)
Salah satu fokus pembahasan yang rumit adalah persoalan Kurdi, kelompok ras non-Arab yang ikut berperang melawan ISIS. Sebelumnya, Pemerintah Turki sempat tersinggung dengan langkah yang diambil AS dengan mendanai Pasukan Kurdi di Perang Suriah.
ADVERTISEMENT
YPG atau Yekineyen Parastina Gel (YPG), adalah pasukan militer yang dibuat untuk mempertahankan wilayah otonom Kurdi. AS menganggap YPG merupakan pilar penting yang dapat membantu menghancurkan ISIS.
Pandangan ini bertolak belakang dengan persepsi Erdogan terhadap orang Kurdi di negaranya. Meski tinggal di luar Turki, YPG dianggap Erdogan merupakan perpanjangan tangan dari organisasi yang terus meneror Turki, PKK.
PKK adalah organisasi militan Kurdi yang melancarkan berbagai serangan di tenggara Turki sejak 1984 dan dilabeli sebagai organisasi teror oleh Turki, Eropa, dan AS sendiri. Erdogan telah berjanji untuk menggunakan pertemuannya dengan Trump untuk mengubah pendekatan AS terhadap YPG atau nama lain dari pasukan pelindung rakyat Kurdi.
Meski berbeda pandangan, Trump tetap bermain aman dengan menunjukkan dukungannya terhadap langkah Turki untuk menyingkirkan kelompok teror. "Kami mendukung langkah Turki untuk melawan teror dan kelompok teror seperti ISIS dan PKK, untuk memastikan mereka tidak punya tempat yang aman," ujar Trump.
ADVERTISEMENT
Trump juga mengapresiasi bagaimana Turki bersikap dalam konflik Suriah. "Kami juga mengapresiasi kepemimpinan Turki dalam menghentikan perang mengerikan di Suriah."
Selain soal Kurdi, isu sensitif lainnya adalah soal kudeta gagal yang terjadi pada Juni 2016. Selama pertemuan, Trump enggan menyinggung isu tersebut.
Hubungan AS dan Turki sempat menegang setelah Presiden Obama pada tahun 2016 pernah secara terbuka mengkritik sikap Erdogan yang cenderung otoriter. Turki diketahui telah memenjarakan 10 ribu warga dan membungkam jurnalis dan akademisi yang dianggap anti-pemerintah.
Trump menyambut Erdogan di Gedung Putih (Foto: REUTERS/Joshua Roberts)
Hal sensitif lain yang dibicarakan oleh pemimpin kedua negara adalah keberadaan musuh politik Erdogan, Fethullah Gullen, yang disebut berada di Pennsylvania, Amerika Serikat. Juru Bicara Erdogan, Ibrahim Kalin, dalam pernyataannya menyebutkan bahwa kedua pemimpin mendiskusikan langkah tepat terhadap FETO, nama organisasi pimpinan Gullen yang dianggap berada di balik kudeta.
ADVERTISEMENT
Kalin tidak berbicara secara mendetail apa saja poin-poin pembicaraan antara Trump dan Erdogan terkait isu Gullen, termasuk isu ekstradisi.
Dalam kesempatan ini, Turki juga memberi perhatian terhadap kasus kriminal Reza Zarrab, pria berkebangsaan ganda Turki-Iran, yang ditangkap tahun lalu setelah membantu Iran memproses transaksi jutaan dolar yang melanggar sanksi AS terhadap Iran.