Menyama Braya: Cara Bali Bersiaga Hadapi Bencana

12 Oktober 2017 13:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Langit Bali begitu cerah sore itu. Cuaca sempurna untuk berlibur di pesisir Pulau Dewata. Namun di kaki Gunung Agung, orang-orang merasakan pengap tak tertahankan dalam tenda mereka. Mereka bagian dari 141.000 penduduk yang mengungsi, mengantisipasi amukan Gunung Agung yang ditetapkan berstatus Awas sejak tiga pekan lalu, Jumat 22 September 2017.
ADVERTISEMENT
Keringat bercucuran di wajah Komang Surwati. Ia tinggal bersama 1.585 pengungsi lain dalam salah satu tenda berukuran 14 x 6 meter yang terpasang di Ulakan, lapangan terbuka terbesar di Kabupaten Karangasem yang digunakan untuk menampung pengungsi.
Surwati meninggalkan rumahnya di Desa Buana Giri, Kecamatan Bebandem, Karangasem, yang masuk zona merah. Ia cemas dengan gemuruh Gunung Agung, sebab teringat kisah letusan dahsyat gunung itu pada tahun 1963 yang menewaskan lebih dari 1.500 orang.
Sungguh petaka tak terkira yang ingin dicegah seluruh warga Bali.
“Waktu dulu (Gunung Agung) meletus itu besar sekali. Desa saya ikut terkena sedikit awan panas dan dialiri banjir lahar,” ucap Surwati kepada kumparan, Sabtu (30/9), sepekan setelah status bahaya Gunung Agung dinaikkan ke level tertingginya, siap meletus kapan saja.
ADVERTISEMENT
Beban pikiran Surwati dan para pengungsi lain bahkan lebih dari itu. Sebab Gunung Agung ialah tiang pancang kepercayaan mereka. Ketakutan akan bencana bercampur dengan rasa berdosa dalam relung hati.
Canang sari untuk peribadatan Hindu Bali. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Usai menganyam canang sari--sesajen bunga berwadah sulaman daun kelapa yang digunakan untuk upacara keagamaan umat Hindu Bali, Surwati mendengar pengumuman yang disiarkan dari pendopo utama tempat tumpukan logistik disimpan.
“Ini sudah waktunya memasak,” kata Surwati, mengartikan pengumuman yang diucapkan dalam bahasa Bali itu.
Sepanjang beberapa meter Surwati melangkah, sejumlah pengungsi lain tampak melakukan aktivitasnya masing-masing. Mereka tak selalu diam-diam saja di tenda-tenda, sebab mengurusi bantuan yang datang silih berganti ke Ulakan.
Rupa-rupa logistik mulai dari makanan cepat saji, perlengkapan mandi, dan peranti rumah tangga lain, mengalir deras. Pondok pengumuman tak berhenti menyiarkan ucapan terima kasih kepada para pendonor bantuan yang datang dari masyarakat maupun perusahaan.
ADVERTISEMENT
Ketika Surwati menuju tenda dapur umum, ibu-ibu yang lain antre mengambil ember dan gayung bantuan Dinas Sosial Kabupaten Karangasem. Mereka sesekali berebut. Tapi keributan tak berlangsung lama. Yang tak kebagian bahkan masih sempat tertawa, meski tahu mandi sorenya--dalam bilik kamar mandi darurat berkeran satu--akan sulit.
Pengungsi membungkus nasi di Ulakan, Karangasem. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Di tenda dapur umum, menunggu ibu-ibu lain sebanyak 25 orang. Tenda ini bantuan dari Taruna Tanggap Bencana (Tagana) Jawa Timur dan Nusa Tenggara Berat.
Segunung nasi dan lauk-pauk seperti tempe dan sayur telah menunggu untuk dibungkus. Perempuan-perempuan di dapur umum, sembari duduk bersimpuh, segera membungkus makanan-makanan itu untuk dibagi-bagikan kepada seluruh pengungsi.
Bantuan tak datang hanya dalam bentuk logistik, tapi juga sumber daya manusia: para relawan. Empati mengalir deras. Dan karenanya Taruna Siaga Bencana (Tagana) dari dua provinsi tetangga Bali, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat, dikirim ke pulau para dewa.
ADVERTISEMENT
Koordinator Lapangan Tagana Jawa Timur, Alex Kunanto, dan Korlap Tagana NTB, Iwan Gunawan, merasa beruntung beroleh pengalaman mengagumkan di Bali, menambah deret asam garam mereka soal membantu penanganan bencana di berbagai daerah.
“Kami melihat kultur masyarakat Bali amat rukun dan gotong royong. Mereka berkolaborasi membantu pelayanan. Mereka saling mendukung bersama kami,” ucap Alex saat berbincang dengan kumparan di Lapangan Ulakan, Sabtu (30/9).
Petugas-petugas Tagana itu bahkan merasa tertohok oleh kebersamaan yang dijunjung tinggi oleh para pengungsi Karangasem. Dalam mendistribusikan bantuan di sana, Alex tak pernah sekalipun menjumpai orang-orang culas. Minuman kemasan dan makanan instan mereka ambil seperlunya saja.
“Kalau ada nasi sisa satu saja, langsung dikembalikan lagi. Mereka khawatir ada pengungsi yang tidak kebagian,” ucap Alex yang asli Sidoarjo.
ADVERTISEMENT
Suplai logistik memang penting, sebab roda produksi para pengungsi jelas terhambat ketika bencana terjadi. Untuk itu Tagana dan dinas-dinas terkait hadir memenuhi kekosongan peran dalam mengelola logistik, agar asupan gizi dan kondisi tinggal pengungsi bisa layak meski di dalam tenda darurat.
Iwan, Korlap Tagana NTB, pun kagum dengan kekhasan Bali dalam proses tanggap bencana. Bali memiliki struktur desa adat bernama banjar. Tak semua pengungsi ditempatkan di tenda-tenda di tanah lapang. Dari 459 titik pengungsian, kebanyakan justru berada di banjar adat.
Dengan struktur yang bersifat kultural tersebut, masyarakat Bali kini lebih siap dan tanggap. Penduduk yang tak berada di zona merah menerima pengungsi dari zona merah seperti kerabat yang numpang menginap.
ADVERTISEMENT
Tuan rumah berbagi peran dengan pengungsi untuk memastikan kehidupan terus berlanjut di tenda-tenda atau balai-balai pengungsian.
“Mereka (warga setempat dan pengungsi) bisa memberdayakan diri sendiri. Pemerintah tinggal menyuplai logistik. Operasional kami saling bantu,” tutur Iwan.
Distribusi Logistik ke Pengungsian Gunung Agung (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Desa-desa di kaki gunung tak kalah sibuk. Gedung Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Sibetan disulap menjadi tempat logistik. Karung beras, dus mi instan, keranjang sayuran, menumpuk di ruangan yang biasa menjadi pusat aktivitas pemuda desa.
“Semua bagi rata, ya!” Seruan serak-keras itu mengentak pagi tenang di sebuah jalan pedesaan Bali yang asri. Pengucapnya ialah lelaki berbaju hitam bernama I Ketut Rudi Aryawan. Crudath, demikian ia dipanggil, berbicara kepada beberapa orang yang tengah memilah-milah sayur-mayur di keranjang.
ADVERTISEMENT
Mendengar teriakan Crudath, orang-orang tertawa sambil membagi kembang kol, terung, dan ketela. Tawa itu menyiratkan bahwa sang pria peneriak bukan sosok galak.
“Kami sedang distribusi logistik rutin untuk stok tiga hari,” ucap Crudath, dengan suara lebih lembut dan santai.
Ruang LPD Sibetan memang beralih fungsi menjadi Pos Relawan Desa Sibetan. Tempat itu menjadi pusat koordinasi relawan dan pembagian logistik. Semua kebutuhan logistik dan setoran bantuan berawal masuk dari tempat itu.
Lokasi pengungsian di Sibetan (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Desa Sibetan menampung pengungsi dari Desa Jungutan sejumlah 5.500 orang. Kedua desa tersebut bersebelahan dan masih berada dalam satu payung desa adat. Karenanya keputusan membuka lebar pintu bagi warga Sibetan amat masuk akal.
Sibetan sebenarnya tak jauh juga dari puncak gunung. Namun beruntungnya, desa itu berada pada sisi yang dibentengi bukit. Bukit itu menjadi pembatas jalur lahar dari puncak Gunung Agung.
ADVERTISEMENT
Penduduk Sibetan menganggap pengungsi Jungutan sebagai kawitan atau saudara sendiri. Pengungsi ditampung di 9 banjar, dengan masing-masing banjar diisi mulai 89 orang, 481 orang, hingga 1.342 orang. Satu orang ditugaskan mencatat detail kebutuhan masing-masing banjar.
Crudath dan para relawan lain kian sibuk. Satu per satu logistik dari dalam ruangan dikeluarkan. Enam orang berjejer membentuk rantai untuk mengangkut karung beras, keranjang sayuran, dan daging plastikan ke atas mobil pikap.
“Satu pikap (berisi logistik) untuk kebutuhan satu banjar. Nanti mereka (di banjar) yang mengelola sendiri. Kami ada juga relawan yang ditempatkan di sana,” kata Crudath.
Ia, sambil menggengam dokumen, bersama empat orang lainnya naik ke pikap dan mobil bak terbuka itu melaju menuju banjar yang hendak dikirimi logistik.
ADVERTISEMENT
Sementara ketua relawan, Made Bheru yang terlihat senior, mengecek kesiapan pengiriman logistik selanjutnya. Semua disiapkan betul-betul, karena pikap harus berkeliling ke 9 desa agar seluruh pengungsi rata mendapat bagian.
Distribusi Logistik ke Pengungsian Gunung Agung (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Made Bheru mengakui menjadi relawan secara fisik memang melelahkan. Namun, tegasnya, “Hati nurani kita pasti ingin membantu sesama saudara. Kami punya prinsip Menyama Braya.”
Menyama Braya ialah filosofi ideal dalam kehidupan bermasyarakat di Bali. Menyama punya arti “saudara”, sedangkan braya ialah “kerabat”. Artinya: persaudaraan yang erat.
Konsep tersebut bersumber dari adat-istiadat masyarakat Bali yang mengutamakan hidup rukun. Maka berdasarkan filosofi itu, demi saudara, kesulitan dan ancaman bahaya pun akan diterjang.
Asap kawah Gunung Agung. (Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana)
Made Bheru menceritakan kepanikan warga saat status Gunung Agung ditingkatkan ke level tertinggi dari Waspada ke Awas pada Jumat malam, 22 September, pukul 20.30 WITA.
ADVERTISEMENT
Saat itu, warga yang tinggal di lereng gunung berbondong-bondong turun ke tempat aman. Mereka tahu betul, dari kisah yang diturunkan lisan dari generasi sebelumnya, betapa dampak merusak bisa membahayakan jiwa jika Gunung Agung meletus seperti pada 1963.
Jumat malam itu, ketika kepanikan menyebar, Bheru dan kawan-kawan berkendara naik ke zona merah. Mereka menuntun warga, memberi tahu lokasi-lokasi aman mana yang bisa digunakan sebagai tempat menginap sementara. Mobil mereka gunakan untuk mengangkut orang sepuh dan penyandang disabilitas.
Bheru meninggalkan rumah dan keluarganya untuk memberi bantuan kepada masyarakat luas. “Dalam kondisi bencana, menyelamatkan diri saja susah, apalagi menyelamatkan keluarga,” ujarnya.
Tapi tak cuma manusia yang diselamatkan Bheru dan teman-temannya. Mereka juga menyelamatkan hal yang tak kalah penting bagi umat Hindu Bali: pralingga atau benda suci di pura.
Sembahyang memohon ampunan Dewa (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Terdapat beberapa pura suci di Desa Sibetan yang terletak di kaki Gunung Agung, area sakral Pulau Dewata. Pura-pura itu adalah Pura Pasar Agung, Pura Sedalun, Pura Dalem Ciroring, dan Pura Jagat. Masing-masing pura memiliki pralingga, benda suci yang menjadi manifestasi Tuhan.
ADVERTISEMENT
“Sampai pura yang berjarak dua kilometer dari kawah, kami amankan (pralingga) dengan pemangkunya,” kata Bheru.
Ia punya alasan kuat kenapa mau bersusah payah bertaruh nyawa ke zona merah. Selama ini, ujar Bheru, kala Gunung Agung tenang 54 tahun terakhir ini, warga Sibetan kerap pergi ke Desa Jungutan untuk bersembahyang di kaki gunung.
Maka kini saat Desa Jungutan membutuhkan bantuan, warga Sibetan mengulurkan tangan. Bheru dan para relawan bahkan ikut mengungsikan sapi, hewan ternak warga Jungutan. Sebab jika tak dibawa turun, penduduk Jungutan masih akan bolak-balik ke desa mereka di zona merah untuk menengok dan memberi makan sapi-sapi itu. Dan hal tersebut jelas berbahaya, karena Gunung Agung bisa meletus kapanpun.
Distribusi Logistik ke Pengungsian Gunung Agung (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Menjadi relawan adalah bentuk pengabdian--salah satu jalan untuk menebus dosa.
ADVERTISEMENT
“Dengan kejadian seperti ini (Gunung Agung hendak meletus), kami merasa berdosa. Hampir 90 persen (orang Bali) begitu. Mungkin dengan persembahyangan sampai kehidupan sehari-hari, kami harus memperbaiki diri, membersihkan diri. Kami ndak tahu orang banyak lalai,” kata Bheru.
Membantu dalam bencana sudah dilakukan warga Desa Sibetan saat Gunung Agung meletus 54 tahun lalu, pada 1963.
Ketika peristiwa itu terjadi, Kepala Desa Adat Sibetan Wayan Subadra masih duduk di kelas 2 SMP. Ia dan para pemuda desa bahu-membahu membantu para pengungsi dari Jungutan.
“Dahulu mereka baru mengungsi setelah gunung meletus. Semua hidup di bawah hujan pasir,” ujar Subadra.
Pengungsi saat Gunung Agung meletus 1963 (Foto: Tropen Museum)
Tahun 1963 saat Gunung Agung mengamuk dahsyat itu, korban berjatuhan di Desa Jungutan. Pengalaman masa lalu itu jadi pelajaran penting bagi Desa Sibetan.
ADVERTISEMENT
Jalan terbaik yang bisa ditempuh di ambang bencana seperti saat ini, kata Subadra, ialah melakukan kerja kemanusiaan sambil memohon ampunan dan keselamatan.
“Kami selaku Hindu meyakini mencapai keselamatan lewat upacara-upacara. Desa Adat memiliki tanggung jawab spiritual.”
Sembahyang memohon keringanan bencana. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Om atmaa tattvaatmaa suddhamaam svaha
Oh keseluruhan yang lengkap, atma (jiwa), atmanya kehidupan ini, bersihkan dan sucikan diri hamba
Bersimpuh di Kaki Gunung Agung (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)