Merindukan Bali yang Dulu: Catatan Kunjungan Tahun 1977

17 April 2017 9:10 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Masyarakat Bali memainkan musik. (Foto: Dok. Clifford White)
Foto Bali tahun 1970-an belum lama ini beredar ramai di dunia maya. Wajah Bali yang belum ramai dan masih perawan itu tergambar lewat foto dokumen perjalanan fotografer profesional asal Australia,Clifford White.
ADVERTISEMENT
Keputusan White untuk mengunggah puluhan foto itu adalah wujud kerinduannya akan Bali tempo dulu. Sebab White mendapati pemandangan berbeda saat berlibur ke Bali bersama sang istri pada tahun 2011.
“Saya merindukan wajah Bali yang dulu, tidak ramai dan sesak seperti sekarang,” ujarnya kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (12/4). [Baca: ]
Kini, Bali dengan eksotisme alam dan budayanya menjadi destinasi wisata unggulan di dunia. Tiap tahun, tak kurang empat juta wisatawan berkunjung untuk menikmati keindahan Pulau Dewata. Termasuk Raja Salman dari Arab Saudi yang sampai-sampai memperpanjang masa liburannya demi tinggal di Bali sedikit lebih lama.
Kondisi Pantai Bali yang penuh sesak (Foto: Reuters/Beawiharta)
Pantai menawan, bentang alam hijau, dan budaya Bali yang mengakar, menjadi tempat sempurna bagi manusia untuk menemukan kemurniannya. [Baca juga: ]
ADVERTISEMENT
Keindahan Bali dikenal sejak dekade 1920-an. Antropolog Shinji Yamashita dalam bukunya Bali and Beyond: Explorations in the Anthropology of Tourism mencatat bahwa bangsa Eropa dan Amerika menyebut Bali sebagai “Last Paradise” --surga terakhir setelah kebosanan yang mereka alami dengan wisata pantai di Mediterania dan Karibia saat itu.
Citra Bali sebagai surga yang muncul pada tahun 1920-an, menemukan bentuk lain 1970-an. Transisi ini ditandai oleh pembangunan infrastruktur. Pada rentang waktu itulah, White mendokumentasikan Bali --saat pulau itu menjelang “berubah muram dan sesak” sebagaimana ia rasakan kini.
Wajah Bali dulu, di mata White, berbeda jauh dari sekarang.
Sebagai seorang turis, White dahulu mendapati pengalaman menikmati Bali yang bersahaja.
Bandara Bali dari atas langit pada tahun 1977 (Foto: Dok. Clifford White)
Maret 1977, White berkunjung ke Bali bersama rombongan peselancar untuk membuktikan legenda ombak terbaik Uluwatu. Ia juga berkunjung ke titik-titik favorit lain di Bali seperti Denpasar, Kuta, dan Ubud.
ADVERTISEMENT
Bangunan-bangunan di Bali saat itu belum menampakkan Bali yang telah dibanjiri aliran dana guna membangun industri pariwisata. Tak ada hotel mewah menjamur seperti saat ini --yang bahkan sebagian pemilik hotelnya juga membeli potongan pantai dekat hotel mereka guna dijadikan private beach demi kenyamanan para turis yang menginap (baca: membayar) di hotel itu.
Bali dulu jauh dari “ketamakan”. White tidur di penginapan sederhana, bahkan mandi di luar. Pun demikian turis-turis asing lain.
Namun, keindahan Bali kala itu menebus semua fasilitas minim yang diperoleh White.
"Saya tidak mempermasalahkan ketika harus tinggal di tempat itu. Saya menghabiskan momen indah selama lima minggu di Bali,” ujarnya.
Suasana kampung di Kuta, Bali (Foto: Wajah Bali Dulu dan Kini)
White begitu menikmati kehidupan di kampung-kampung yang kala itu masih banyak ditemui di tempat seperti Kuta dan Denpasar --yang kini berubah modern.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, kehidupan tradisional Bali amat memikat bagi turis asing, tak terkecuali White.
Minimnya infrastruktur sama sekali tak menghilangkan daya magis Bali. White justru merasa beruntung, sebab Bali yang ditangkap lensa kameranya ketika itu orisinal dan menyenangkan.
“Tentu saja Bali era 70-an adalah pulau indah yang masih otentik, dan kini sebagian besar (wilayahnya) berubah menjadi tempat yang kacau. Saya lebih suka mengingat tempat dan orang-orang saat itu, yang kemudian kemurniannya hilang ketika melihat Kuta yang penuh sesak hari ini,” ujar White.
Kendaraan lalu lalang di jalan raya Ubud, Bali. (Foto: Niken Nurani/kumparan)
Perubahan mendasar, menurut White, salah satunya terjadi di Kuta. Saat White berkunjung, jalanan Kuta masih belum seramai sekarang. Yang paling signifikan adalah bangunan, di mana hotel mewah berlomba berdiri di kawasan paling ramai di Bali.
ADVERTISEMENT
Pembangunan pariwisata di Bali benar-benar melompat jauh pada 1990. Mengutip Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, pulau itu hanya memiliki 500 kamar penginapan pada tahun 1970-an, dan jumlah itu bertambah menjadi 8.000 pada 1980, melesat ke angka 20 ribu di 1990, dan meroket menjadi 30 ribu pada 1997.
Hotel mewah satu-satunya di Bali tahun 70-an (Foto: Dok. Clifford White)
Kini, Bali memiliki 54.824 kamar mulai dari kelas kembang melati hingga hotel berbintang. Nama-nama hotel besar dunia juga hadir di Bali.
Bukan Bali yang membutuhkan nama dan brand-brand internasional itu, tapi justru sebaliknya.
Tamu yang datang ke Bali mencapai satu juta orang pada 2001. Sempat turun karena insiden Bom Bali, pariwisata Pulau Dewata kembali bangkit dengan cukup mulus.
Hingga akhirnya Bali menerima tamu mencapai dua juta orang pada 2011. Luar biasa.
Pemandangan pantai di Bali saat ini. (Foto: Anggi Kusumadewi/kumparan)
Bali telah penuh sesak oleh manusia dan modal. Manusia memenuhi hasrat diri datang sebagai wisatawan ke Bali, dan para pemodal girang dengan hasrat para wisatawan yang terus berdatangan. Bali, sekilas, tetap indah dan maju pesat.
ADVERTISEMENT
Namun pembangunan masif di Bali mengorbankan kekaguman para penggemar lamanya, termasuk White.
“Ya, Bali tidak lagi ramah. Semua hotel tempat kami tinggal memang cantik, tapi sekali anda pergi ke luar, kondisi jalan sangat mengerikan.”
Wajah Bali juga tak seramah dulu, meski tentu tetap ramah karena memang begitulah warga Bali adanya.
“Kuta dan Ubud terganggu oleh pedagang asongan di jalanan,” kata White.
Ia ingat ketika berkunjung ke tempat yang sama tahun 1977, senyum menyenangkan terpahat pada wajah para warga lokal.
”Warga setempat yang membantu membawakan makanan dan minuman selalu menunjukkan wajah ceria yang penuh senyuman. Orang-orang yang mengagumkan.”
Kampung nelayan di Sanur, Bali, 1977 (Foto: Dok. Clifford White)
Peselancar di Kuta Bali (Foto: Flickr)
Kekecewaan lain keluar dari mulut peselancar internasional, Kelly Slater. Ia pernah mengatakan enggan untuk berselancar lagi di Bali karena sampah.
ADVERTISEMENT
Sampah di laut Bali disebut Kelly “terburuk dari yang pernah saya lihat.”
Ketika pecinta ombak sampai enggan datang ke Bali, berarti ada yang salah dengan pulau yang pernah menjadi kiblat selancar dunia itu. [Baca ]
Bali terlalu sesak. Banyak kisah kekaguman berubah menjadi keprihatinan. Di balik keindahan itu, tersimpan kerusakan.
Apakah Bali bisa tetap menjaga kemurnian alam menawannya hingga seabad lagi?
Pemandangan pantai di Bali saat ini. (Foto: Anggi Kusumadewi/kumparan)