Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Myanmar Diputus Bersalah Melakukan Genosida terhadap Rohingya
27 September 2017 10:51 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Pemerintah Myanmar diputuskan bersalah karena dianggap secara sengaja telah melakukan State Crime dan Genosida terhadap minoritas seperti Rohingya dan Kachin. Pendapat ini dilayangkan oleh putusan Permanent Peoples' Tribunal atau Pengadilan Rakyat yang dibacakan di Kuala Lumpur Jumat (22/9).
ADVERTISEMENT
“Dengan bukti-bukti kuat yang dihadirkan, persidangan telah mencapai konsensus bahwa Pemerintah Myanmar terbukti memiliki niatan untuk melancarkan genosida terhadap orang-orang Kachin dan kelompok Muslim minoritas. Selanjutnya, Pemerintah Myanmar bersalah atas kejahatan genosida terhadap Rohingya yang proses genosidanya saat ini masih terus berlanjut dan apabila tidak dihentikan maka jumlah korban akan semakin tinggi,” ucap Majelis Hakim Daniel Feirstein yang dikutip kumparan (kumparan.com) dari laman resmi Myanmar tribunal.
Salah satu hakim, Nursyahbani Katjasungkana, menuturkan bahwa Peoples' Tribunal menjadi langkah penting untuk mendorong penyelesaian kasus Rohingya di tengah kemandekan penyelesaian.
“Ide International Peoples Tribunal (IPT) ataupun Permanent Peoples Tribunal (PPT) itu selain memberikan suara kepada korban yang selama ini tidak terdengar juga ingin menunjukkan bahwa sebagai rakyat kita punya hak untuk menggunakan hukum tanpa menunggu formal meski hasilnya tidak legally binding dan diimplementasi secara hukum,” beber Nursyahbani kepada kumparan Selasa (26/7).
Putusan ini juga memperkuat indikasi genosida yang telah digaungkan oleh banyak lembaga atas penderitaan Rohingya di Myanmar. Realita ini telah banyak diangkat oleh berbagai pihak mulai dari negara hingga aktor non-negara, termasuk PBB, sejak konflik menjadi perhatian internasional tahun 2012.
ADVERTISEMENT
Komisi Pengungsi PBB (UNHCR) menyebutkan bahwa tragedi ini mengorbankan lebih dari 1.000 korban jiwa dan mendorong 400 ribu orang Rohingya mengungsi ke negara lain. Krisis kemanusiaan di Rakhine, wilayah barat Myanmar, belum juga usai hingga detik ini. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa aksi kekerasan dilakukan secara sistematis.
Pelabelan Myanmar sebagai pelaku genosida bukan narasi baru. Sekretaris Jenderal PBB, Pablo Guterez, dengan jelas menyebutkan bahwa Rohingya tengah menghadapi pembersihan etnis. Laporan Dewan HAM PBB (OHCHR) mengungkap kekerasan brutal dilakukan oleh aparat Myanmar. Bukti-bukti video kekerasan hingga kuburan massal disiarkan secara independen oleh lembaga seperti Amnesty Internasional dan Human Rights Watch.
Namun kerja-kerja demikian belum mampu menghentikan kekerasan terhadap Rohingya. Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi yang notabene adalah peraih Nobel Perdamaian tahun 1991 juga berkelit tentang apa yang terjadi di Rakhine.
ADVERTISEMENT
Dengan kejemuan tersebut sekelompok warga Myanmar yang kini tinggal di Inggris yang digagas oleh Dr. Maung Zarni mengajukan kasus ini untuk diperkarakan mekanisme Pengadilan Rakyat akibat mentoknya penyelesaian jalur politik. Pengadilan Rakyat yang merupakan tradisi penyelesaian HAM diharapkan menjadi pintu baru.
Sidang yang hearing-nya dimulai Maret 2017 di London mengumpulkan bukti dan saksi mata untuk dijadikan bahan yang nantinya menjadi bukti persidangan. Jaksa yang dipimpin oleh pengacara HAM asal Kamboja, Doreen Chen, mengumpulkan kesaksian hampir 200 korban serta mempelajari beberapa dokumen yang merekam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh otoritas Myanmar.
Bukti-bukti yang dihadirkan dalam sidang yang berlangsung 19-22 September di University of Malaya nyatanya cukup meyakinkan tujuh hakim. Sidang putusan yang digelar pada tanggal 22 September mengeluarkan 17 rekomendasi.
ADVERTISEMENT
Hakim meyakini bahwa bukti yang dikumpulkan jaksa mengarah pada represi sistematis Myanmar terhadap kelompok etnis minoritas lain seperti Kachin dan kelompok Muslim Burma. Dalam risalah putusan, hakim meminta Myanmar untuk menghentikan segala jenis kekerasan terhadap etnis minoritas Rohingya.
Selanjutnya, permasalahan kewarganegaraan yang selalu dijadikan alasan harus sesegera mungkin diselesaikan. Hakim mendorong revisi Undang-undang tahun 2008 serta menghapus UU Kependudukan tahun 1982 yang diskriminatif.
Penekanan dilakukan terhadap aspek penanganan hukum. Hakim mendesak agar dilakukan penegakan hukum terhadap para pelaku tanpa ampun.
“Myanmar harus menghukum pelaku pelanggaran HAM, ujaran kebencian, pembantaian, pemerkosaan, penyiksaan, pembakaran, dan kekerasan berbasis etnis dan agama terhadap Rohingya, Kachin, Muslim Myanmar, dan kelompok lainnya. Tidak boleh ada impunitas terhadap anggota militer dan milisi sipil,” tulis putusan poin tujuh.
ADVERTISEMENT
Nursyahbani mengaku bahwa bukti-bukti yang disodorkan di Pengadilan Internasional cukup. Kachine dan Rohingya merupakan minoritas yang memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda dari orang Myanmar yang beragam Buddha. Perlakuan terhadap kedua suku tersebut diisi oleh rangkaian kekerasan mulai dari
“Ini memang ada kesengajaan ingin memusnahkan kelompok-kelompok yang beragama muslim dan beragama Kristen,” ucap Nursyahbani.
Watak demikian dianggap mengancam keberadaan minoritas lain di Myanmar. “Kami berpendapat bahwa cepat atau lambat 127 etnik group akan mengalami hal yang sama.”
Dalam kasus Rohingya, faktor kepentingan ekonomi dan politik menjadi pendorong kebrutalan militer setempat. Terdapat salah satu dokumen berjudul Rohingya Expermentation Plan yang terbit tahun 1988. Dokumen tersebut menjadi dasar bagi Nursyahbani dan para hakim
ADVERTISEMENT
“Untuk Rohingya, itu jelas crime against humanity dan genocide. Kita menemukan dokumen tertulis. Udah obvious sekali. Itu sudah genosida berdasarkan etnis,” ucap panitia yang juga mengajukan International Peoples Tribunal Tragedi 1965 di Den Haag pada tahun 2016.
Meski disiplin penyelidikan pengadilan Peoples Tribunal dijalankan dengan standar pelaksanaan hukum pada umumnya, peradilan ini tidak memiliki aspek legal untuk sepenuhnya menghukum pihak terdakwa.
Negara lebih banyak memandang sebelah mata proses yang dilakukan oleh Peoples Tribunal. Pengalaman Nursyahbani di Peoples Tribunal sebelumnya tentang kasus Tragedi 1965 mendapati bagaimana pemerintah Indonesia menganggap remeh.
Namun demikian, Peoples Tribunal memiliki arti besar di luar kapasitas penegakan hukum yang sepenuhnya masih dimiliki oleh negara.
ADVERTISEMENT
Sehingga, penyelesaian kasus Myanmar ini akan sangat bergantung kepada upaya advokasi di dalam negeri. Putusan Peoples Tribunal menjadi bekal advokasi berupa rangkuman fakta kekerasan yang sudah dirangkum dalam dokumen yang sesuai dengan aturan penegakan HAM.
“Tentu para aktivis di Burma harus melakukan follow-up mengadvokasi dan menggunakan domestic law. Tahun 1956, mereka meratifikasi Genocide Convention. Menuju peradilan internasional jauh lebih mudah daripada Indonesia.”
Permanent Peoples' Tribunal adalah sebuah peradilan internasional non-negara yang digelar untuk menangani kasus pelanggaran HAM. Tradisi Peoples Tribunal dimulai melalui inisiatif beberapa aktivis dan akademisi seperti Jean Paul Sartre dan Bertrand Russell yang mengkritisi intervensi militer Amerika Serikat di Vietnam.
Tradisi ini kemudian dilanjutkan di Bologna tahun 1979 untuk menangani kasus kediktatoran militer di Amerika Latin sepanjang tahun 1974-1976. Hingga kini, Peoples Tribunal telah digunakan di berbagai kasus pelanggaran HAM yang mengalami kebuntuan di tangan negara. Ada 43 kasus yang ditangani mulai ledakan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl di Ukraina, kejahatan di negara eks Yugoslavia, dan terakhir kekerasan pemerintah Myanmar terhadap minoritas Rohingya.
ADVERTISEMENT