Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya
Nyanyian Sumarsih: Ribuan Malam Menanti Keadilan
ADVERTISEMENT
Puncak Gunung Itu Masih Jauh, Ia Selalu Diimpikan untuk Diraih
ADVERTISEMENT
Aku melihat burung yang terbang bebas di angkasa
Aku hanya bisa tersenyum iri, karena aku terbelenggu
Aku melihat sepasang merpati asyik bercinta
Aku hanya bisa memalingkan muka, karena aku malu
Aku mendengar ayam berkokok nyaring
Aku menutup mata, aku sudah lemah
Aku manusia hina yang hanya bisa menatap
Aku melihat mimpi dan bermimpi meraihnya
Aku hidup bagai jagoan yang hina, yang menghilang
Aku berjuang tanpa peduli nyawa
Aku bosan lari dari siksa
Aku bosan hidup di balik topeng
Aku benci tirani, aku benci rezim
Kini aku lelah, terlalu lama aku main
Aku baru sadar akan bahaya kini
Aku sadar aku telat
Aku siap mati demi bangsa dan rakyatku
Aku siap dikatakan sampah
Aku siap dihina
Aku siap untuk dibuang atau dihilangkan
ADVERTISEMENT
Aku hanya berharap orangtuaku tabah
Aku berharap semoga perjuanganku tidak sia-sia
Aku berharap semoga aku masih ada tempat
Aku kini hanya bisa pasrah
Kapanpun aku mati, aku siap
Aku tidak pernah bermimpi dihormati
Aku hanya bermimpi hidup makmur sejahtera
Walaupun di alam baka
--Bernardinus Realino Norma Irmawan
Puisi di atas tertulis di salah satu buku kuliah milik Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan), mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Jakarta yang tewas diterjang peluru aparat pada Tragedi Semanggi I, 13 November 1998.
Sang ibu, Maria Katarina Sumarsih, menemukan puisi itu setahun setelah kepergian putranya--yang ditembak di parkiran kampus karena hendak menolong kawannya yang juga tertembak.
Semasa kuliah, Wawan aktif sebagai anggota redaksi majalah kampusnya, Warta. Ia juga bergabung dengan Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang mendampingi para korban kekerasan Tragedi Mei 1998.
ADVERTISEMENT
Saat jantungnya ditembus timah panas, Wawan mengenakan kartu identitas Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Sampai akhir hayat, ia berjuang untuk kemanusiaan.
Kini, perjuangan Wawan diteruskan oleh sang ibunda, Sumarsih.
Anda bisa mendengar langsung penuturannya dengan memutar video pada bagian paling atas cerita ini, dan mengikuti rangkaian kisahnya di kumparan, Kamis (3/8).
Ribuan malam sejak putranya tewas, kala Aksi Kamisan oleh para keluarga korban pelanggaran HAM telah melewati kali ke-500, Sumarsih masih menanti keadilan.
------------------------
Ikuti kisah-kisah mendalam lain dengan follow topik Liputan Khusus di kumparan.