Para Ibu yang Mengawali Keruntuhan Orde Baru

18 Mei 2017 8:30 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Soeharto saat mengundurkan diri. (Foto: Youtube/tengnang)
Jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto selama 32 tahun pada 21 Mei 1998, setelah Gedung MPR/DPR dikepung mahasiswa sejak tiga hari sebelumnya, 18 Mei 19 tahun lalu, menjadi memori kekal bagi bangsa Indonesia karena ditebus dengan begitu mahal.
ADVERTISEMENT
Tiang penyangga Orde Baru mulai goyah seiring krisis finansial yang menghantam Asia pada 1997, dan gerakan rakyat setahun berikutnya menggebrak sekaligus menghancurkan tiang itu.
Ketika itu, hampir tiap elemen masyarakat menyumbang keringat. Peristiwa Gejayan di Yogyakarta dan peristiwa Semanggi-Trisakti di Jakarta menjadi bukti perjuangan mahasiswa. Dan bukan cuma mereka, tapi juga buruh, kelas menengah, rakyat miskin kota, yang ikut andil dalam orkestra keresahan yang menumbangkan Orde Baru.
Namun ada hal penting yang tak boleh dilupa dalam rentetan peristiwa menuju Reformasi kala itu: peran gerakan perempuan, termasuk para ibu.
Pada masa pergolakan tersebut, poros perempuan aktif terlibat mengorganisasi massa. Beberapa di antaranya adalah Tim Relawan Divisi Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP), Suara Ibu Peduli (SIP), dan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPIKD). Mereka memperoleh momentum setelah sekian lama didomestifikasi oleh rezim Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Kisah Suara Ibu Peduli dalam bentang sejarah Reformasi sungguh tak bisa dilewatkan begitu saja. Ia bergerak sebelum mahasiswa menduduki Gedung Parlemen di Senayan.
Gadis Arivia dari Yayasan Jurnal Perempuan yang menjadi salah satu penggagas Suara Ibu Peduli menceritakan jalan panjang SIP sejak November 1997. Dalam makalah berjudul Politik Representasi Suara Ibu Peduli yang waktu itu ia tulis untuk memperingati 9 tahun Reformasi, Gadis berbagi cerita cukup detail.
Gadis bersama aktivis dan akademisi perempuan lain seperti Kartina Supelli, Wilasih Noviana, Salma Safitri, dan lain-lain, sibuk mencari cara menggelar aksi yang mampu menjembatani keresahan seluruh masyarakat terhadap Orde Baru.
Gadis beserta rekan-rekannya sepakat: harus ada aksi demonstrasi yang kelak mampu menumbangkan Orde Baru. Gagasan tersebut menggeliat pada pertemuan pertama mereka pada 23 Februari 1998.
ADVERTISEMENT
Ide semacam itu bukan hal baru. Sejak akhir 1980-an, mahasiswa telah memulai rangkaian protes terhadap pemerintahan Soeharto. Namun aksi tersebut direspons dengan represi oleh aparat negara. Dan tekanan bergulir lebih hebat setelah tragedi Kudatuli pada Juni 1996.
[Baca juga]
Mei 1998. (Foto: Muhammad Firman Hidayatullah)
Kelompok aktivis perempuan kemudian mematangkan langkah. Mereka mencari cara yang taktis namun berani. Kamuflase dan permainan narasi mereka pikirkan matang-matang.
“Kami sadar tidak bisa merencanakan membawa spanduk ‘Turunkan Soeharto’, maka perlu memikirkan concern apa yang dapat menarik simpati publik,” tulis Gadis.
Gadis dan kawan-kawan belajar dari peristiwa Plaza de Mayo di Argentina. Di Buenos Aires, ibu-ibu yang mencari anak mereka yang menjadi korban penghilangan paksa, menggelar aksi damai sambil mengikatkan kain hitam ke tangan mereka yang bertuliskan nama anak mereka.
ADVERTISEMENT
Peristiwa yang terjadi pada 30 April 1977 itu kemudian menjadi tonggak runtuhnya pemerintahan otoriter Argentina.
Belajar dari sejarah itu, Suara Ibu Peduli terus mengerucutkan gagasan: ibu akan menjadi simbol yang ditonjolkan. Tinggal bagaimana narasi yang “sangat ibu” dibentuk dalam aksi.
Diskusi kemudian mendapati temuan lain. Ketika krisis moneter menghantam beberapa kebutuhan paling mendasar rumah tangga, kelangkaan susu paling dirasa sebagai beban. Ini ikut dirasakan Gadis yang saat itu telah menjadi ibu bagi dua anak.
“Kebetulan Hero Gatot Subroto di dekat rumah saya mengalami kelangkaan susu karena harga susu naik hingga 400 persen. Ketika itu anak saya berumur 3 tahun dan 8 bulan, dan membutuhkan susu, dan kebetulan saya menyaksikan seorang ibu yang kebingungan mencari susu,” ucap Gadis.
ADVERTISEMENT
Akhirnya diputuskan bahwa susu akan menjadi tanda gerakan Suara Ibu Peduli.
Susu. (Foto: Pixabay)
Gerakan Suara Ibu Peduli muncul ke publik dengan tidak langsung melakukan aksi massa. Sadar dengan pembangunan narasi, mereka justru mengawali langkah dengan mengadakan bazar susu murah pada 20 Februari 1998 di kantor YJP.
“Kami memperkirakan harus ada ‘bukti’ bahwa kami benar-benar prihatin soal susu. Pokoknya, rencana demonstrasi sudah sangat matang,” kata Gadis.
Penjualan susu murah berhasil menyedot atensi. Banyak orang datang berbondong-bondong, bahkan terjadi aksi saling dorong.
Meski harus merogoh kocek sampai Rp 10 juta, langkah untuk menjadikan citra SIP melekat dengan susu, benar-benar sukses.
Malam harinya, Gadis berkumpul dengan anggota jaringan SIP. Mereka hendak bergerak menuju langkah selanjutnya: melaksanakan demonstrasi.
ADVERTISEMENT
Pertemuan malam itu menentukan lokasi dan tanggal aksi demonstrasi digelar. Keputusannya, aksi damai massa SIP akan berlangsung 23 Februari 1998 di Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Namun rencana demonstrasi tersebut sempat menghadapi kendala karena banyak peserta aksi mengurungkan niat karena berbagai alasan.
“Pada akhir pertemuan, terkesan tidak akan banyak teman-teman yang ikut berdemonstrasi, apalagi diungkapkan hari Senin tanggal 23 Februari kemungkinan siaga satu, yaitu tembak di tempat bagi para demonstran,” kata Gadis.
Namun ternyata keresahan sudah melampaui ketakutan ditembak di tempat. Aksi 23 Februari benar-benar dilaksanakan. Diikuti oleh seluruh staf YJP dan beberapa aktivis, mereka membuka panggung orasi di Bundaran HI sesuai rencana.
Aksi Suara Ibu Peduli di Bundaran HI tahun 1998 (Foto: Dok. Yayasan Jurnal Perempuan)
Demonstrasi hanya berlangsung singkat --30 menit. Setelahnya, tiga aktivis yaitu Karlina Supelli, Wilasih Noviana, dan Gadis sendiri, diangkut ke atas truk. Mereka bertiga ditahan selama satu malam dengan tuduhan melakukan aksi arak-arakan yang subversif.
ADVERTISEMENT
Karlina, Wilasih, dan Gadis harus menjalani rangkaian sidang. Mereka menerima tuduhan pengkhianat negara sampai komunis, dan digugat Pasal 510 KUHP atas arak-arakan.
Proses sidang terdiri dari pledoi 4 Maret 1998, dan sidang vonis diselenggarakan 9 Maret 1998. Singkatnya, mereka dihukum denda Rp 2.250 atau kurungan dua minggu.
Gadis dan kawan-kawan memilih menolak tuntutan tersebut. Kala itu, karena negara sudah mulai goyang seiring kekuasaan Soeharto yang melemah, sidang berikutnya tak pernah terlaksana. Gadis dan kawan-kawan akhirnya bebas setelah Soeharto turun pada 21 Mei 1998.
Cerita Suara Ibu Peduli tak sesingkat gerakan susu murah berujung demonstrasi yang dicegah aparat dalam 30 menit. SIP berhasil membentuk narasi baru yang memanaskan semangat Reformasi.
Dalam sidang pembacaan pledoi misalnya, Gadis dan dua rekannya bicara tentang keresahan ibu-ibu yang berpusat pada susu. Di hadapan Majelis Hakim, Gadis berbicara, “Kami menyaksikan kekurangan pangan dan kesulitan masyarakat bawah. Dan semua dirasakan pertama-tama oleh para ibu yang harus dipaksa berhemat, bingung mengatur belanja, dan cemas memikirkan masa depan keluarganya.”
ADVERTISEMENT
Hal senada diucapkan Wilasih Noviana. “Perempuan-perempuan tidak beruntung karena secara ekonomi tidak dapat membeli susu, sebab kebutuhan lain pun saling mendesak untuk didahulukan,” ujarnya.
Dari ucapan Gadis dan Wilasih, agenda SIP yang spesifik sebenarnya memiliki mantra yang dapat menyambung rantai gerakan sosial untuk menggulingkan Orde Baru.
Di balik keluhan susu mahal, terdapat kebosanan terhadap praktik korupsi kolusi nepotisme, dan represi aparat terhadap demokrasi dan kebebasan.
Buktinya, ketika Gadis dan dua temannya itu sedang disibukkan oleh agenda peradilan, gerakan perempuan terus berkembang pesat. Para ibu-ibu dari berbagai latar belakang datang berbondong-bondong mendukung gerakan Reformasi.
“Ibu-ibu ‘sungguhan’ datang setelah reformasi diraih. Yang berperan, berkonsep, dan berstrategi adalah para feminis sejati!” Gadis begitu sukacita.
ADVERTISEMENT
Setelah berdemo soal susu, para ibu perlahan mewujudkan kekesalan asli mereka. Saat itu, mahasiswa dan organ-organ rakyat lainnya di Jabodetabek mulai berani menunjukkan taring di hadapan rezim.
[Lihat juga: ]
Aksi Mahasiswa 1998 (Foto: Youtube/dokumenter gerakan mahasiswa)
Ibu-ibu merawat anak-anak Reformasi dengan sentuhan magis. Mereka datang membantu gerakan mahasiswa dengan “Nasi Bungkus Reformasi”.
Selama masa genting Reformasi, logistik yang disediakan oleh ibu-ibu berperan penting. Sebanyak 70.576 nasi bungkus dibagikan. Kotak air minum 1.947 boks serta snack 2.811 boks disalurkan ke massa aksi yang saat itu sedang bertaruh nyawa, berhadapan dengan aparat.
Ibu-ibu membelikan nasi dari Warung Makan Padang. Tak sedikit pula sumbangan masyarakat berupa bahan makanan seperti telur dan ayam hidup.
ADVERTISEMENT
Sungguh, jangan remehkan para ibu. Nyata negara berada di tangan mereka.
Rawat ingatanmu dengan rangkaian kisah ini