Pecah Belah Negara Arab dalam Konflik Israel-Palestina

24 Juli 2017 13:56 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kota Yerusalem (Foto: REUTERS/Ammar Awad)
zoom-in-whitePerbesar
Kota Yerusalem (Foto: REUTERS/Ammar Awad)
ADVERTISEMENT
Setelah seminggu bentrokan terjadi di sekeliling dinding suci Masjid Al Aqsa, akhirnya pihak yang diharapkan menjadi lakon angkat suara. Liga Arab, organisasi yang menaungi negara kawasan tersebut, melontarkan pernyataan dengan nada marah.
ADVERTISEMENT
“Pemerintah Israel bermain api dan beresiko menyebabkan terjadinya konflik besar dengan Arab dan dunia Islam,” ucap Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmad Aboul Gheit, kepada Reuters, Minggu (23/7).
Kembali ke tahun 2015, konflik kekerasan serupa muncul di wilayah Yerusalem Timur akibat rentetan kasus yang sama. Seorang pemuka agama Yahudi ditembak memicu penutupan Masjid Al Aqsa. Penutupan tersebut disusul bentrokan.
Total lebih dari 500 aksi kekerasan terjadi di wilayah Kota Tua, Yerusalem Timur selama 50 tahun terakhir. Kekerasan di area Masjid Al Aqsa, Tembok Ratapan, dan Gereja berada, terjadi berulang hingga rasanya tak pernah reda dan menjadi arena konflik sektarian.
Bentrokan terus berulang, begitu pula ketidakmampuan Bangsa Arab dalam meredakan ketegangan Israel-Palestina.
ADVERTISEMENT
Negara-negara Arab hanya mampu terus mengutuk tanpa memberi dampak. Arab seakan menjadi macan ompong yang takut terhadap Negara Zionis yang mengalahkannya dalam rentetan perang sebanyak tiga kali, pada 1948, 1956, dan 1967. Mereka tidak berdaya melihat konflik tak henti-henti yang terjadi di Rumah Suci ketiga Umat Islam.
Peta Kota Tua Yerusalem dan Masjidil Aqsa (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Kota Tua Yerusalem dan Masjidil Aqsa (Foto: Faisal Nu'man/kumparan)
Yerusalem Timur memang merupakan simbol perebutan kekuasaan Israel dan Palestina. Kedudukan Israel di Yerusalem Timur pun tidak lepas dari kemenangan Israel pada Pertempuran Enam Hari tahun 1967.
Palestina begitu keras mempertahankan wilayah Yerusalem Timur, berharap wilayah itu akan menjadi ibu kota masa depan mereka. Sementara Israel makin kuat berkuasa di wilayah itu, populasi warga Palestina semakin menjadi minoritas. Negara-negara Arab di sampingnya nampak tak mampu berbuat banyak.
ADVERTISEMENT
Menurut Adam Garfinkle dalam bukunya berjudul Israel and Jordan in the Shadow of War, bangsa Arab sering gagap karena perselisihan internal yang didorong kepentingan pragmatis masing-masing negara. Garfinkle yang merupakan Professor Studi Timur Tengah dari University of Penssylvannia berpendapat bahwa perjanjian Israel dan Yordania adalah awal mula kegagalan Bangsa Arab.
Yordania merupakan negara Arab yang paling berpengaruh bagi Palestina secara geopolitik.
Artileri Israel dalam perang tahun 1967 (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Artileri Israel dalam perang tahun 1967 (Foto: Wikimedia Commons)
Pasca-Perang 1948, wilayah Yerusalem terbagi dua. Israel hanya berhak atas area Yerusalem Barat. Namun ketika Perang 1967 meletus, Yerusalem Timur mampu dikuasai Israel yang memenangkan perang.
Sebelum 1967, sebagian besar wilayah Tepi Barat --termasuk Yerusalem Timur-- masih berada di pangkuan Yordania. Akan tetapi Kerajaan Yordania menganaktirikan wilayah Palestina itu dan hanya fokus pada wilayah asli mereka. Yordania membanjiri kota Amman dengan dana pembangunan.
ADVERTISEMENT
Baru ketika Yerusalem Timur diduduki setelah perang, Yordania mulai kalang kabut. Di sinilah Israel mulai membangun posisi penting dengan Yordania.
Sebelum 1967 berakhir, Israel mulai merekonsiliasi hubungannya dengan Yordania melalui kerja sama bilateral di berbagai sektor. Israel mencukupi kebutuhan Yordania mulai dari pertanian hingga ekonomi moneter. Israel juga menyepakati keinginan Yordania untuk bersama-sama membangun infrastruktur di Yerusalem.
Pertemuan penting terjadi pada November 1971 di Tel Aviv, wilayah Israel yang berbatasan dengan Laut Mati. Raja Hussein dari Yordania bertemu dengan Perdana Menteri Israel Golda Meir untuk menjembatani hubungan kedua negara pasca pertempuran yang dikenal dengan nama Black September.
Pemerintah Israel saat itu tidak ingin kemenangannya di Palestina membangun jarak dengan Bangsa Arab. Ketika akhir masa perang, pemimpin negara Arab bertemu di Khartoum pada 1 November 1967 yang menelurkan kebijakan Three ‘No’s of Khartoum. Bangsa Arab mendeklarasikan untuk tidak mengakui Israel, tidak ada perdamaian dengan Israel, dan tidak berkompromi dengan Israel.
ADVERTISEMENT
Namun ketegasan itu luntur dalam hitungan bulan. Yordania sedikit luluh ketika mereka perlahan mulai ketergantungan dengan Israel. Kebijakan pembangunan Jembatan Yordania yang diikuti bantuan ekonomi mulai dari pertanian dan perbankan membuat kedua negara mengalami ketergantungan ekonomi. Jalinan hubungan Israel dan Yordania mulai mesra.
Pasukan Israel memasuki Yerusalem pertama kali (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pasukan Israel memasuki Yerusalem pertama kali (Foto: Wikimedia Commons)
Yordania menyambut harapan Israel untuk menjadi pintu masuk bersekutu dengan dunia Arab. Sebagai kompensasinya, Israel menawarkan sebagian besar wilayah Tepi Barat dan Gaza untuk diberikan kepada Yordania. Raja Hussein juga diberi kewenangan pengawasan situs suci di Yerusalem dan Hebron. Sebagai gantinya, Israel menginginkan pengakuan penuh terhadap wilayah hasil perang 1967 termasuk Yerusalem Timur.
Namun Raja Hussein menolak tawaran tersebut. Sang Raja beranggapan bahwa Israel menuntut lebih banyak dari apa yang diberikan. Israel juga dianggap melanggar prinsip bangsa Arab yang menghendaki akses longgar ke Yerusalem Timur --bahkan memerdekakan Palestina bila perlu.
ADVERTISEMENT
Israel baru mulai terbuka dalam perundingan tahun 1985. Dimoderasi oleh Amerika Serikat, Israel mempersilakan Yordania untuk ikut mengurusi Yerusalem Timur. Israel membolehkan bendera Yordania untuk berkibar di kompleks Masjid Al Aqsa.
Namun nasionalisme Palestina yang terus berkobar menjadikan Israel sulit tidur nyenyak. Mantan Presiden Yasser Arafat pernah memprotes, “Jika bendera Yordania berkibar, sudah seharusnya bendera Palestina ikut dikibarkan.” Permintaan simbolis ini tentu ditolak Israel.
Baik Israel maupun Palestina terus saling menunjukkan perdebatan keras. Mereka bisa lunak di isu lain, tapi tidak soal Yerusalem Timur. Palestina tidak mengakui pemilihan umum di Israel. Sebaliknya, Israel juga tidak mengakui beberapa fasilitas yang dikelola Palestina. Belum lagi hukum ala Draconian yang kerap secara kasar merepresi 250 ribu rakyat Palestina yang tinggal di wilayah Yerusalem.
Pertemuan Liga Arab (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pertemuan Liga Arab (Foto: Wikimedia Commons)
Bangsa Arab seakan bergeming dengan apa yang terjadi di Yerusalem selama puluhan tahun. Pertunjukan sikap akhirnya muncul pada tahun 2013 ketika Liga Arab dan Islamic Development Bank sepakat mengucurkan dana 1 miliar dolar AS untuk membangun Yerusalem yang hendak dijadikan ibu kota Palestina berdaulat.
ADVERTISEMENT
Sayangnya bantuan tersebut tak berarti banyak. Presiden Palestina saat itu, Mahmoud Abbas, lebih membutuhkan bantuan politik. Dan bantuan politik tidak memungkinkan mengingat beberapa negara Arab sedang menghadapi perlawanan Arab Spring.
Pihak yang menginisiasi bantuan ekonomi pada 2013,Qatar, justru saat ini sedang dimusuhi oleh Arab Saudi dan sekutunya. Qatar saat itu menyumbang seperempat bantuan kepada Yerusalem.
Pengucilan Qatar juga menunjukkan beda pandangan antara negara Arab satu dan yang lainnya. Qatar cenderung progresif dekat dengan Hamas, kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Palestina secara radikal. Sementara bagi negara Arab lainnya, Hamas adalah kelompok teror yang tidak ada bedanya dengan Hezbollah bahkan Taliban.
Perbedaan yang menggerogoti visi bersama bangsa Arab nyatanya kontraproduktif. Bentrokan terus berulang, Israel semakin garang, sementara suara negara-negara Arab seolah makin tak didengar.
ADVERTISEMENT