Pulau Dewata Menjaga Kumandang Takbir

25 Juni 2017 15:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anggota satuan pengamanan adat Bali atau Pecalang. (Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana)
zoom-in-whitePerbesar
Anggota satuan pengamanan adat Bali atau Pecalang. (Foto: ANTARA/Nyoman Budhiana)
ADVERTISEMENT
Tidak salah ketika kita mengaitkan Bali dengan Hindu. Wajah Bali memang dibentuk dengan adat-istiadat yang kuat serta kepercayaan Hindu yang dijalankan dengan taat. Tatanan ini membentuk beberapa corak budaya yang begitu khas di Bali. Namun akan menjadi kesalahan besar ketika melihat Bali sebagai tempurung yang tidak menerima kaum lainnya.
ADVERTISEMENT
Bali tidak hanya menjadi pulau yang indah untuk berwisata, namun juga ramah untuk setiap ibadah. Setiap perayaan upacara peribadatan Hindu Bali selalu dirayakan dengan khidmat. Yang khas dari Bali adalah kehadiran pecalang atau organisasi kebudayaan yang memfokuskan diri pada pengamanan seremoni adat yang begitu sering dilakukan oleh masyarakat Bali.
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pecalang di Bali melakukan fungsi tugas seperti petugas keamanan. Setiap perayaan Nyepi, pecalang akan menjaga setiap pusat kegiatan untuk memastikan umat Hindu Bali melaksanakan ibadah dengan khusyuk. Hal ini juga berlaku di perayaan ngaben, galungan, dan acara adat lainnya. Tidak jarang pecalang sering didefinisikan secara akademik sebagai kelompok milisi yang memiliki otoritas penindakan laksana penegak hukum - yang mana serupa dengan ormas kekerasan di daerah lain.
ADVERTISEMENT
Namun, pecalang menjaga perannya dengan rendah hati. Pada perayaan Hari Idul Fitri tahun 2016, pecalang di Bali ditempatkan untuk menjaga salat Idul Fitri. Salat Idul Fitri di Lapangan Niti Praja Lumintang, Denpasar, Bali, yang jatuh pada Rabu (6/7/2016) berlangsung khusyuk salah satunya berkat pengamanan para pecalang.
Pecalang memang representasi adat, namun dalam menjalankan tugasnya mereka berpegang pada nilai kebaikan yang universal melampaui batas kepercayaan. Pengamanan Salat Ied adalah salah satu bentuknya perwujudan tanggung jawab menjaga kegiatan ibadah agama lain.
"Dalam pengamanan ini, bertujuan sebagai wujud rasa solidaritas antara umat beragama di Pulau Dewata sebagai wujud rasa tenggang rasa dan saling menghargai umat beragama lain melaksanakan ibadah," kata Wakil Koordinator Pecalang Banjar Lumintang, Kadek Sutarka, di Denpasar kepada Antara Bali.
Pasukan pengamanan perayaan Hari Nyepi  (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
zoom-in-whitePerbesar
Pasukan pengamanan perayaan Hari Nyepi (Foto: ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana)
Islam di Bali merupakan minoritas. Dari total 4 juta penduduk Bali pada tahun 2013, 92 persennya adalah umat Hindu. Islam hanya mencapai 520 ribu penduduk. Jumlah penduduk Bali yang memeluk Islam dari generasi ke generasi tidak sedikti. Banyak pendatang beragama Islam bekerja di Bali.
ADVERTISEMENT
Jumlah umat Hindu Bali yang lebih dominan dibanding umat Islam tidak serta merta membuat mereka saling menekan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Manggala Agung Pasikiam atau Kepala Pecalang se-Bali, I Made Mudra, menjaga kegiatan ibadah agama lain adalah bagian dari tanggung jawab pecalang di Bali guna memastikan kerukunan dapat terjaga.
“Karena kita telah berkomitmen terhadap fungsi pokoknya, diminta atau tidak diminta siapapun seorang pecalang harus mengamankan masyarakat baik Hindu, Muslim, Nasrani, dan sebagainya,” ucap Made Mudra ketika berbincang dengan kumparan (kumparan.com) Jumat (23/6).
Pemimpin pecalang se-Bali ini menuturkan bahwa hubungan antarumat beragama di Bali terpupuk dengan baik salah satunya lewat tugas sosial para pecalang. “Pecalang saya kerahkan se Bali. 1488 desa, 44.600 pecalang. Tiap desa memiliki 1 pleton atau 30 pecalang. Mengamankan wilayahnya, mengamankan masyarakatnya, terlepas di luar apakah Muslim atau Nasrani. Semuanya berhak mendapatkan pengamanan,” tambahnya lagi.
I Made Mudra bersama ketua Ormas Islam (Foto: Dok. I Made Mudra)
zoom-in-whitePerbesar
I Made Mudra bersama ketua Ormas Islam (Foto: Dok. I Made Mudra)
ADVERTISEMENT
Pecalang bukan sebuah pekerjaan musiman. Dengan mengambil kata dasar celang yang berarti waspada, ia menjalankan fungsi pengamanan dibutuhkan setiap saat. Keamanan warga Bali akan menjadi tanggung jawab para pecalang setiap waktu. Seperti Idul Fitri, rangkaian prosesi ibadah Ramadan juga telah menjadi bagian tanggung jawab pecalang.
Made Mudra mengungkapkan bahwa pecalang telah mengawal prosesi Ramadan. Untuk Idul Fitri, mereka telah siaga sejak h-5 Idul Fitri yang jatuh Minggu (25/6). Pecalang se-Bali juga melakukan pengawalan mulai dari arus mudik dari Bali ke Jawa hingga keamanan di rumah yang ditinggalkan.
“Jangankan pada puncak Idul Fitri, saudara-saudara kita yang mudik ke Jawa dari Bali, kita sudah mulai berperan. Ada sekita 24 ribu saudara Muslim yang mudik. Sementara dia mudik, ia wajib melaporkan ke kliyan banjarnya, timbal baliknya ya pecalang akan bertanggung jawab terhadap keamanan.”
ADVERTISEMENT
Kewaspadaan yang sama juga dijalankan ketika umat agama lain menjalankan ibadahnya. Mulai perayaan natal umat Nasrani dan Waisak umat Budha, pecalang berada dekat di lokasi peribadatan.
“Hal ini tidak hanya dilakukan saat Idul Fitri dan umat Muslim saja. Kita juga lakukan terhadap saudara-saudara Kristiani dalam menjalankan Natal agar khusyuk dan aman, supaya mereka merasa tenang dalam menjalankan ibadahnya,” cerita Made Mudra.
Tentu saja perayaan puncak Idul Fitri lewat Salat Id berjamaah mendapat perhatian penting. Beberapa lokasi di Denpasar juga ikut menyelenggarakan salat. Pecalang memiliki catatan rapi di mana saja lokasi salat id yang otomatis harus diamankan. “Ada dua titik salat id. Ada lapangan di Renon dan Nitimandala. Di samping masjid-masjid juga ikut menyelenggarakan,”
ADVERTISEMENT
Kepedulian ini begitu mengakar hingga level terbawah organisasi pecalang Bali. Putu Yuda, ketua pecalang desa Wangaya Kaja, Kota Denpasar, menuturkan kesadaran serupa. “Karena kami punya tugas, kami bantu mengamankan. Kalau memang di wilayahnya ada masjid, wihara, ada tempat ibadah lain, kami wajib ikut mengamankan. Agar prosesi keagamaan lebih lancar,” ujar Putu ketika dihubungi kumparan (kumparan.com) pada Sabtu (24/6).
Keberadaaan beberapa tempat ibadah seperti Masjid dan Wihara di tempat tinggal Putu mewajibkan ia dan pecalang desa untuk bertanggung jawab mengamankan. "Pada dasarnya disebabkan tempat peribadatan ada di wilayah kita. Kita otomatis mengawasi dan mengamankan kegiatan tersebut. Kita amankan lalu lintasnya, kegiatannya kita pantau, untuk memastikan aman,” ujar Putu.
Pecalang Bali melakukan pengamanan (Foto: Dok. Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Pecalang Bali melakukan pengamanan (Foto: Dok. Istimewa)
Made Mudra serta puluhan ribu pecalang rela menjalankan tugas tambahan selain kewajiban menjaga jalannya adat. Bukan berarti menafikkan kepercayaan mereka sebagai seorang beragama Hindu, pecalang justru menjaga ibadah agama di luarnya sebagai bentuk tanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Alih-alih menjauh dari tuntunan agamanya, para pecalang justru sedang melakoni falsafah hidup yang digenggam. Orang Bali menggenggam falsafah kehidupan yang membawa mereka menjadi pribadi yang toleran. Made Mudra menyebut dua istilah; Tatwamasi dan Tri Hita Kerana.
“Tatwamasi yang artinya kamu adalah saya, saya adalah kamu. Di sinilah rasa toleransi terpupuk. Tri Hita Kerana yang berati orang Bali harus menghormati sesama manusia, menghormati alam dan tumbuh-tumbuhan, dan menghormati Yang Maha Kuasa. Itu sudah turun temurun diwariskan oleh nenek moyang pendahulu kami” ungkap Made Mudra.
Bagi Mudra, tanggung jawab seorang pecalang akan tunai ketika semua peribadatan umat beragama berjalan dengan damai. Kisah pecalang membuat kita percaya bahwa masih ada sekelompok manusia yang memiliki perbadaan keyakinan namun tidak saling membubarkan satu sama lain.
ADVERTISEMENT