Resepsi Kawinan ala Wiji Thukul

3 Februari 2017 19:00 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ketika undangan pernikahan disebar dengan format bahasa tak formal dan prosesi acara tak biasa seperti tertulis di atas, akan seperti apa resepsi pernikahan berlangsung?
ADVERTISEMENT
Oktober 1988. Kampung Jagalan di Solo, Jawa Tengah, akan menjadi lokasi sebuah hajatan. Namun, di kampung pinggir kali yang sering banjir itu, tak tampak hiruk-pikuk atau umbul-umbul berderet seperti acara kawinan anak pejabat.
Yang menikah memang orang biasa. Rakyat jelata. Dua buruh lepas.
Jika dekorasi menjadi tolak ukur resepsi pernikahan, pasangan itu jelas tak memilikinya.
Tapi, layaknya calon pengantin pada umumnya, mereka tentu ingin berbagi kebahagiaan dengan kerabat dan sahabat. Maka disebarlah surat undangan.
Di atas kertas berwarna kuning tersebut, nama pengantin tertulis dalam bingkai kotak: Yang Mantenan, Jikul (Wiji Thukul) dengan Sipon (Dyah Sujirah).
Hari H akhirnya tiba. Para tamu undangan berdatangan. Kampung Jagalan mulai ramai.
Jika anda ikut diundang pada hari itu, anda mungkin akan datang ke Solo dengan tawa geli tak kunjung henti. Pernikahan Jikul dan Sipon benar-benar melawan kemapanan.
ADVERTISEMENT
Ini resepsi pernikahan salah satu penyair paling berpengaruh di negeri ini. Seorang petarung demokrasi ulet, yang napas perlawanannya dia embuskan bahkan ketika merayakan hari bahagia dengan mempelainya.
Undangan tersebut tertulis kalimat lucu, karya tangan Halim HD, pegiat sastra besar sekaligus salah satu mentor Wiji Thukul.
Adik Thukul, Wahyu Susilo, tak bisa menahan tawa saat menceritakan momen itu. Ia mengatakan, undangan dan resepsi pernikahan kakaknya sama-sama menggelikan, terjadi persis seperti yang tertera di surat undangan.
“Hahaha, beneran itu,” kata Wahyu saat berbincang dengan kumparan, Rabu (1/1).
Undangan Wiji Thukul. (Foto: Muhammad Faisal/kumparan)
Biasanya, siapa anda tercermin dari siapa yang datang ke pernikahan anda. Demikian pula Thukul.
Usia 25 tahun merupakan saat dimana Thukul mulai menapaki dunia sastra. Kedekatan Thukul dengan dunia seni dan gerakan perlawanan Orde Baru terlihat dari wajah-wajah tamunya.
ADVERTISEMENT
“Yang datang kawan-kawan Thukul dari berbagai kota. Kelompok-kelompok mahasiswa Salatiga, Yogyakarta, Bandung, dan lainnya,” kata Wahyu.
Senyeleneh-nyelenehnya Thukul, prosesi pernikahan adalah sebuah laku budaya yang tidak sembarangan karena menyiratkan makna dan doa. Terlebih di Solo yang sarat tradisi.
Menghadiri pernikahan di Solo, anda semestinya siap dengan seluruh rangkaian prosesi perkawinan. Semua duatur alurnya secara seksama.
“Pernikahan Thukul tetap menggunakan tradisi Jawa, midodareni di malam sebelumnya, dan resepsi sore sampai dini hari. Tapi ada yang spesial,” ujar Wahyu.
Seperti tertulis dalam undangan kawinan, pernikahan Thukul diiringi penampilan teater, puisi, dan diskusi untuk menghibur tamu.
“Hiburan utama dari Sanggar Teater Jagat,” kata Wahyu.
Teater Jagat datang bukan sebagai penampil bayaran, sebab Thukul salah satu anggota mereka. Demikian pula Sipon.
ADVERTISEMENT
Pernikahan Wiji Thukul dan Dyah Sujirah. (Foto: Muhammad Faisal/kumparan)
Tak ada orkes dan biduan di panggung pernikahan Thukul. Ia membuat pernikahannya menjadi panggung seni pertunjukan.
“Hiburannya selain teater, ada keroncong mbeling dan baca puisi,” kata Wahyu mengenang.
Kala itu, para mahasiswa menjadi rekan seperjuangan Thukul bergantian membacakan puisi.
Momen pembacaan puisi menjadi kesempatan bagi Thukul untuk menunjukkan sisi romantisnya. Aksi Thukul ketika maju ke mimbar, diingat sang adik.
"Jangan lupa kekasihku". Kalimat mesra itu keluar dari bibir Thukul. Puisi cinta yang ia buat beberapa bulan sebelumnya itu, ia bacakan pada salah satu momen terindahnya bersama Sipon.
jangan lupa kekasihku
jika terang bulan
kita jalan-jalan
yang tidur di depan rumah di pinggir selokan
itu tetangga kita kekasihku
jangan lupa kekasihku
ADVERTISEMENT
jika pukul limaburuh-buruh perempuan
yang matanya letih
jalan sama-sama denganmu
berbondong-bondongitu kawanmu kekasihku
jangan lupa kekasihku
jika kau ditanya siapa mertuamu
jawablah: yang menarik becak itu
itu bapakmu kekasihku
jangan lupa kekasihku
pada siapa pun yang bertanya
sebutkan namamu
jangan malu
itu namamu kekasihku
Para tamu Thukul juga merasa mereka sedang tidak datang ke hajatan pernikahan. Meski tidak konvensional, pernikahan itu menjawab kebutuhan jaman, kebutuhan akan pembebasan.
Nuansa itu dibenarkan oleh salah satu tamunya bernama Yuli Eko Nugroho. Saat itu Yuli adalah aktivis mahasiswa Yogyakarta anggota pers mahasiswa Universitas Islam Indonesia.
Yuli mengenang kedatangannya ke acara Thukul. “Ini acaranya apa to kok nggak seperti mantenan,” kenang Yuli kepada kumparan.
Saat itu, Yuli dan tamu undangan yang merupakan aktivis pro demokrasi datang dengan pakaian yang tidak formal. “Kami tidak batikan, teman-teman datang pada kaosan, pakai ransel, celana jeans”.
ADVERTISEMENT
“Acara Thukul memang tidak diselenggarakan untuk pernikahan semata,” cerita Yuli, “Satu tonggak penting dalam gerakan mahasiswa di tahun 80 an akhir. Undangan itu disebarkan ke kantong-kantong mahasiswa, kelompok studi, penggiat seni, pendamping komunitas. Ada konsolidasi gerakan,”
Karena kedatangan para aktivis, Yuli menggambarkan bahwa pernikahan ini adalah momen berkumpulnya energi mahasiswa yang mulai jemu terhadap orde baru. Seperti disebut dalam undangan, Thukul bersama para tamunya benar-benar lek-lekan alias begadang sampai dini hari, diskusi sekaligus konsolidasi.
Ketika memasuki jam malam, Wahyu bercerita bahwa Thukul begitu gelisah. “Thukul enggak betah pakai pakaian penganten, dan dia lek-lekan sampai jam 2 pagi sama tamu dari luar kota”.
Sayangnya, pernikahan Thukul tidak terdokumentasikan. Cuma undangan kawinannya saja yang masih ada fotonya.
ADVERTISEMENT
“Kecelakaannya adalah, foto gagal cetak semua,” kata Susilo.
Padahal, saat itu keluarga Thukul sudah meminta tolong salah seorang teman untuk menjadi fotografer dadakan.
“Fotografer dadakannya terlampau pede (berhasil),” ujar Susilo lagi.
Aah, dasar Thukul. Semua yang terjadi di sekitarnya, dalam kehidupannya, begitu khas ala dia.
Seandainya saja foto-foto itu terselamatkan, pasti akan lebih asyik melihat langsung lembar-lembar momen penting kehidupannya. Tak melulu lewat tulisan.
Tapi, mungkin… Thukul ingin semua berimajinasi, seperti dia bermain dengan kata-kata.