Ribuan WNI Korban Kerusuhan 1998 Terancam Dideportasi dari AS

21 Oktober 2017 20:36 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Demonstrasi mendukung imigran WNI di AS. (Foto: REUTERS/Brian Snyder/File Photo)
zoom-in-whitePerbesar
Demonstrasi mendukung imigran WNI di AS. (Foto: REUTERS/Brian Snyder/File Photo)
ADVERTISEMENT
Sekitar 2.000 Warga Negara Indonesia tengah menghadapi ancaman deportasi setelah hampir 20 tahun tinggal di Amerika Serikat. Komunitas WNI tersebut telah melakukan segala upaya untuk membatalkan lewat proses litigasi setelah menjalani kampanye penolakan deportasi.
ADVERTISEMENT
Dikutip Reuters, 2.000 WNI yang ada di AS termasuk ke dalam ribuan orang yang dianggap imigran ilegal. Berdasarkan keputusan Presiden Donald Trump yang akan menindak tegas para imigran tanpa pandang bulu maka mereka diwajibkan untuk angkat koper dari Negeri Paman Sam. Padahal, pemerintahan sebelumnya masih memberlakukan kebijakan imigrasi yang legal dengan mentolerir keberadaan mereka. Sontak kebijakan ini meresahkan WNI yang telah tinggal dengan nyaman di AS.
Salah satu yang dirugikan adalah keluarga Meldy Lumangkan. Ia dan istrinya Eva, telah memiliki kehidupan yang tenang dengan empat orang anak di negara bagian New Hampshire. Ia berhasil beranjak dari memori diskriminasi dan kekerasan rasial selama peristiwa 1998.
"Kami takut pulang ke rumah. Kami takut akan keamanan anak-anak kami," ucap Meldy Lumangkun.
ADVERTISEMENT
New Hampshire menjadi salah satu tujuan para imigran ini. Saat itu, mereka datang ke AS dengan menggunakan visa turis lalu tinggal melebihi jangka waktu 1 tahun. Pemerintah AS akhirnya tidak mempermasalahkan status ilegal mereka. Para WNI hanya diwajibkan melapor secara rutin ke kantor Immigration and Customs Enforcement (ICE).
Namun segalanya berubah ketika mereka datang ke kantor ICE di bulan Agustus tahun ini. Perintah eksekutif Presiden Trump yang diteken bulan Januari mengubah segalanya. Juru bicara ICE berujar bahwa mereka tidak lagi bisa melakukan apapun. "Perintah eksekutif yang ditandatangani Presiden Trump mengubah segalanya," ucap Juru Bicara ICE Shawn Neudauer.
Bentrok, 1998. (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)
zoom-in-whitePerbesar
Bentrok, 1998. (Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah)
Konflik rasial pada saat itu meninggalkan bekas trauma yang cukup dalam bagi imigran warga Tionghoa Kristen, Jacklyn Lele, yang terbang ke AS tahun 2006 setelah saudaranya tewas dibunuh pada tahun 1998. "Ini sangat menekan," ucap Jacklyn. "Anak saya benar-benar tidak ingin pergi ke sana, ia tetap berkata bahwa 'Saya orang Amerika'" ucap Jacklyn.
ADVERTISEMENT
Suara para imigran mendapat dukungan dari publik New Hampshire. Pada Jumat 13 Oktober 2017, ratusan demonstran turun ke jalan untuk memberi dukungan moral kepada para imigran. Politisi Demokrat. Shaheen, berujar bahwa para imigran ini telah hidup tenang di New Hampshire. "Mereka telah melakukan kontribusi yang begitu penting. Memindahkan mereka akan menjadi sesuatu yang sulit," ucap Shaheen.
Trump sejauh ini masih kukuh dengan kebijakan pengetatan imigrasinya yang kolot. Atas nama keamanan, AS menerapkan pemantauan ketat terhadap para imigran seperti kasus Muslim Ban yang menimpa warga dari negara-negara Islam.