Jakarta dan Desa dalam Puisi Apa Ada Angin di Jakarta

Argya Dharma Maheswara
Journalist - Writer - Photographer
Konten dari Pengguna
30 Desember 2021 18:09 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Argya Dharma Maheswara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jakarta (Foto: Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Jakarta (Foto: Unsplash)

Apa Ada Angin di Jakarta merupakan puisi karya sastrawan misterius Umbu Landu Paranggi. Umbu sendiri adalah sastrawan yang mengasuh klub sastra legendaris yang bermarkas di Malioboro, Yogyakarta yaitu Persada Studi Klub (PSK). Apa Ada Angin di Jakarta sendiri ditulis oleh Umbu Landu Paranggi sebagai jawaban atas hiruk pikuk kota yang tak pernah berhenti untuk santai sejenak.

ADVERTISEMENT
Puisi ini sangat pantas rasanya untuk dibawakan oleh seorang hidup sebagai manusia yang murni namun dipaksa oleh keadaan untuk jauh dari kampung halaman yang damai dan mendukung kehidupan sebagai manusia yang murni. Di mana dalam puisi ini Jakarta dikesankan sebagai kota yang sangat berambisi, rakus dan tak pernah berhenti melaju. Kelajuan yang terjadi di Jakarta ini kerap kali menjadi badai bagi para perantau yang baru pertama kali datang ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
Mari kita simak bersama terlebih dahulu puisi dari Umbu Landu Paranggi tersebut,
Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari
Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya
Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati
Jakarta yang merupakan kota metropolitan dengan segala kemajuan serasa ditampar habis dengan pertanyaan “Apa ada angin di Jakarta?”. Rasanya kecukupan secara material yang dimiliki sebagian besar masyarakat kota bukanlah takaran yang cukup untuk menjadi manusia yang murni. Bagi perantau yang asalnya dari desa dengan segala kemurahan masyarakatnya, puisi ini merupakan sarana untuk membandingkan keunggulan desa dibanding kota dari sisi kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
“Apa cintaku bisa lagi cari, akar bukit wonosari”, ini merupakan simbol desa sebagai akar cinta yang kuat. Ini merupakan bukti bahwa desa sebagai akar kehidupan manusia yang murni. Umbu juga memilih Wonosari sebagai contoh karena baginya Wonosari yang merupakan sebuah wilayah di Yogyakarta adalah kampung halaman keduanya setelah Sumba. Masyarakat Wonosari yang merupakan masyarakat desa juga disimbolkan sebagai masyarakat yang kerap direndahkan dan dianggap udik oleh kesombongan sebagian besar warga Jakarta. Namun walau begitu, Jakarta juga belum mampu untuk menjadi ibu kota kemanusiaan yang berlandaskan cinta dan kasih sayang sosial.
“Kenangkanlah jua yang celaka, orang usiran kota raya”, ini dirasa merupakan kecemasan Umbu yang jiwanya terkekang dan tidak bisa merdeka jika dia berada di kota. Kembali kepada hal yang saya sebut tadi tentang budaya kemurahan masyarakat desa, kota seakan menjadi raksasa besar yang sangat seram bagi siapa pun apalagi untuk orang yang baru datang dan mengikuti arusnya. Dia bisa saja lebih ganas dari rimba yang tak memiliki hukum, karena di kota juga berlaku hukum rimba namun bukan atas asas kekuatan melainkan kepemilikan suatu hal yang bersifat materialis.
ADVERTISEMENT
Kemerdekaan manusia juga kerap kali dirampas oleh kehidupan kota yang bergantung pada suatu kekuatan besar. Ini menyebabkan pola hidup di kota raya sangat monoton sebatas lahir, sekolah,kuliah, mendapat pekerjaan profesional, tua lalu mati. Hal inilah yang dikritik oleh puisi ini sebagai jawaban atas pola hidup masyarakat kota. Maka menjadi "orang usiran kota raya" dianggap sebagai sesuatu yang lebih baik dan merdeka ketimbang mengikuti gaya orang kota.
“Pulanglah ke desa, membangun esok hari, kembali ke huma berhati”, pada bagian terakhir dari puisi ini, lagi-lagi Umbu menegaskan akan keunggulan desa ketimbang kota raya. Desa dianggap sebagai sebuah tempat yang sangat damai untuk kembali pulang. Pada frase selanjutnya Umbu juga mengajarkan bahwa tempat pembangunan yang sejati adalah desa. Karena di desa manusia bisa berkembang dan merdeka dengan bebas sebagai manusia yang murni. Umbu juga memakai kata “huma” sebagai tempat kembali, ini menyimpulkan bahwa desa adalah tempat yang lapang dan luas serta berhati. Sehingga desa tidak pantas di cap sebagai tempatnya masyarakat udik, melainkan di sanalah manusia yang murni sebagai manusia berada.
ADVERTISEMENT