Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Gendis baru saja rampung membaca cerpen yang bikin matanya hangat dan air matanya meleleh ketika masuk pesan pendek dari kampung yang memintanya pulang pada akhir pekan itu—Mulih ya, Nduk, ana sing perlu dirembuk—tanpa penjelasan lebih lanjut untuk keperluan apa, tetapi ternyata, setelah nanti ia mengetahui maksud pesan itu, merupakan permintaan khusus Bapak dan Simbok yang tak mungkin ditolaknya dan, tentu saja, bakal mendikte kelokan jalan nasibnya.
Biasanya Gendis langsung menelepon Simbok. Simbok sudah hafal, jam-jam seperti ini ia sudah longgar, tugas di rumah majikan sudah beres, tinggal berleha-leha sebentar. Setiap ada pesan-pesan pendek yang kurang jelas, Simbok adalah tempat bertanya lebih lanjut. Tidak selalu seperti itu. Pesan pendek kebanyakan adalah isyarat bahwa Simbok sedang pengin ngobrol dan meminta Gendis meneleponnya. Waktu-waktu Gendis menjelang tidur adalah kesempatan bagi mereka untuk leluasa bertukar cerita.
Namun, kali ini perhatiannya agak tersedot oleh cerpen yang baru dibacanya. Ia terdiam beberapa lama sambil masih memegangi majalah yang memuat cerpen itu. Gendis merasa si penulis cerita pernah mengamat-amati kisah hidupnya, mengintip kegelisahan dalam lubuk hatinya, atau malah memintanya bercerita. Apakah si penulis orang daerah sini juga? Sayang, ia tak mencantumkan lokasi penulisan cerpennya.
Detailnya tentu tidak sama persis, tetapi kegelisahan yang menjadi jantung cerpen itu amat mirip dengan kegelisahannya. Bagian akhirnya saja yang berbeda. Ketika Ning, sang tokoh cerita, mesti pasrah menerima lamaran Kang Yono, Gendis menikmati kesempatan menjadi pembantu rumah tangga di rumah majikan yang ramah dan gemati di ibukota kabupaten.
Menikmati—ya, tidak salah. Seorang saudara jauh, Wahyudi, menawarkan pekerjaan itu. Ia mengiyakan dengan alasan, “Baiklah, daripada mati bosan di kampung.”
Gendis tidak menduga ia menemukan keberuntungan dengan mendapatkan majikan sebaik Wahyudi, seorang guru sejarah dan distributor biji kopi, dan Arsanti, seorang perawat. Dua anak mereka, Siska, mahasiswi yang setahun lebih muda dari Gendis, dan Henry, yang masih SD, memperlakukannya hampir sebagai kakak daripada pembantu. Tapi, yang paling membuat dadanya mekar dan matanya berbinar-binar: keluarga itu punya perpustakaan. Dan, ini yang utama: ia diperbolehkan membaca koleksinya secara leluasa. Buku-buku sejarah, biografi, pertanian, dan kebudayaan koleksi Pak Wahyudi; buku-buku kesehatan dan majalah koleksi Bu Arsanti; buku-buku sastra dan wacana keperempuanan koleksi Siska; buku-buku petualangan, fantasi, kisah detektif, dan komik koleksi Henry—dan, betul, ia diperbolehkan, bahkan dianjurkan, membaca buku-buku itu, apa saja, sesuai dengan minatnya. Ia memang tak bisa berkuliah, tapi bisa melanjutkan kecintaannya membaca dengan boleh melahap beragam bacaan seperti ini, alih-alih sedang bekerja di rumah orang, ia lebih merasa mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya yang terpenggal.
Selain buku-buku, melalui Siska dan Henry ia juga terlindungi dari sinetron jahanam dan terpapar pada film-film bermutu dari berbagai penjuru dunia.
Siska dan Henry sama-sama suka masakan Gendis dan biasanya meminta dibuatkan camilan khusus untuk teman belajar. Kadang-kadang mereka makan di luar. Ketika sudah kuliah, Siska biasanya mudik pada akhir pekan, atau keluarga pergi menengoknya di Yogya, biasanya sambil berburu buku dan film baru. Bersama dengan keluarga Wahyudi, Gendis jauh lebih sering makan-makan dan jalan-jalan daripada waktu di kampung dulu.
Dengan bekerja, dan menerima gaji yang nyaris tak terpakai karena keperluan pribadinya sudah ditanggung majikan. Ia juga bisa sedikit membantu Bapak dan Simbok membesarkan dua adiknya, Mulyono dan Ragil.
Bapak dan Simbok hanyalah petani tembakau kecil di pucuk Gunung Sindoro. Nasib mereka mestinya ditentukan oleh ketekunan dan kegigihan dalam mengolah tanah dan bercocok tanam, toh nyatanya lebih sering diombang-ambingkan oleh permainan pasar para tengkulak dan simpang-siur aturan pemerintah. Mengingat itu, bagi Gendis, bekerja di kota bagaikan pedang bermata dua, menebasnya dengan pertanyaan yang sungguh tajam: Siapakah sesungguhnya yang sedang berkorban? Dirinya yang bekerja sehingga bisa ikut meringankan beban Bapak dan Simbok? Atau, malah Bapak dan Simbok, yang melepasnya pergi bekerja dan, dengan begitu, ternyata memberinya kesempatan mencicipi kebebasan dan kegembiraan? Pertanyaan-pertanyaan itu mengiris hatinya dengan rasa bersalah.
Bagaimanapun, kalau ditakar-takar, lebih berbahagia dirinya daripada Ning. Namun, kepedihan dan kepedihan tidak bisa dibandingkan begitu saja, bukan? Justru tak berbela rasa, bukan, ketika seseorang menumpahkan kepedihannya dan kita menimpali, “Ah, aku malah lebih parah lagi...”—terlebih lagi ketika kita sebenarnya nisbi lebih berbahagia? Seseorang yang dilanda kepedihan lebih banyak memerlukan sahabat yang memberikan telinga untuk mendengarkan dan rengkuhan yang menepiskan perbandingan dan meneguhkan dukungan tanpa repot dibumbui perkataan berbunga-bunga.
Gendis merasa ingin merengkuh Ning. Seberapa banyak gadis seperti Ning—dan seperti dirinya—di luar sana?
Ning terpaksa menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Gendis tersenyum tipis. Ia teringat Minggu pagi berlangit resik, kira-kira setahun lalu, ketika ia melangkah ke swalayan di seberang gereja. Ia kesulitan menemukan minuman kaleng pesanan Henry, dan seorang pegawai toko membantunya mencari. Ia mengulurkan minuman itu sambil tersenyum ramah, dan dada Gendis berdebar lembut.
Rasanya ia pernah bertemu dengan cowok itu. Sejak itu, setiap kali berbelanja di situ, Gendis berharap menemuinya lagi. Awalnya mereka hanya bertukar senyum, dan selalu dada Gendis berdebar lembut. Ia menyukai matanya yang tajam di bawah lengkungan alis yang lebat. Lalu cowok itu menyapanya. Gendis menjawab malu-malu. Mereka berkenalan. Rahmat namanya. Mereka mulai ngobrol. Ternyata mengasyikkan. Mereka bertukar nomor telepon genggam. Mereka saling berkirim pesan. Sesekali mereka bertemu di luar saat pekerjaan Gendis sedang longgar dan Rahmat sedang tidak jaga swalayan.
Sejauh ini Gendis belum merasa perlu menceritakan hubungannya dengan Rahmat kepada Siska atau Arsanti. Juga tidak kepada Simbok. Kalau mau bertemu Rahmat, ia pamit mau dolan dengan mantan teman SMA. Terlintas dalam pikirannya, nanti saja pas Lebaran, kalau hubungan mereka makin mantap, ia akan mengajak Rahmat ke kampungnya, memperkenalkannya kepada Bapak dan Simbok.
Ah ya, pesan Simbok tadi. Gendis segera meraih telepon genggamnya yang tergeletak di kasus dan menelepon Simbok.
“Bagaimana, Mbok?”
“Ya ini, baru saja ngeroki Bapakmu.”
“Wah, masuk angin lagi Bapak?”
“Ya cuma kecapekan.”
“Tidak parah kan? Aku disuruh pulang bukan karena Bapak sakit lagi to?”
“Bukan. Bukan itu.”
Musim panen yang lalu Bapak jatuh sakit. Ketika tenaganya sedang dibutuhkan untuk memetik daun-daun tembakau, kondisi tubuhnya malah tidak mendukung, terpaksa opname hampir dua minggu di rumah sakit. Kata dokter, penyakitnya ya ada hubungannya dengan tanaman tembakau. Green tobacco sickness atau apa begitu. Aneh-aneh saja. Sudah bertahun-tahun jadi petani aman-aman saja, kok, tiba-tiba keracunan tembakau di saat yang tidak menguntungkan. Yah, bagaimanapun Bapak memang semakin sepuh, semakin ringkih. Belakangan ini ia sering minta dikeroki.
“Lha ada apa, Mbok? Tidak biasanya minta aku pulang.”
“Ada yang perlu dibicarakan. Tapi baiknya kamu pulang dulu. Nanti lebih enak kita ngobrol di rumah. Wis ya, Nduk, Simbok tak ngaso.”
Lho? Kok? Tumben buru-buru. Suara Simbok tadi terdengar lesu. Ada apa ya? Kok mendadak juga. Benarkah mereka baik-baik di kampung sana? Ada perkara segawat apa sehingga ia mesti pulang dulu? Apa sebenarnya Bapak kambuh lagi? Kalau itu kan bisa saja Simbok langsung ngomong. Atau...
Gendis jadi susah memejamkan mata.
***Bersambung***
___________________________
Catatan editor: sebagian teks cerita ini dialihmediakan menjadi audio. Putar media untuk mendapatkan kisah secara utuh.
Ikuti kelanjutan novel Ketika Kembang Tembakau Bermekaran karya Arie Saptaji di bawah ini: