Temon

Arie Saptaji
Penulis, penerjemah, editor.
Konten dari Pengguna
19 Juli 2021 10:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arie Saptaji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Arie Saptaji
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Arie Saptaji
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sungai itu mengantarkan tangisannya. Hari menjelang terang tanah. Giyem sedang menyulut api tungku tanah liat di dapurnya ketika terdengar suara bayi dari arah sungai. Hanya suara bayi. Giyem terdiam sejenak, menajamkan telinga, mengira-ngira siapa yang pagi-pagi sudah ke pancuran membawa bayi. Tetapi, tidak ada suara orang dewasa. Hanya suara bayi.
ADVERTISEMENT
Ketika suara itu melengking lagi, Giyem tergopoh beranjak ke pintu, membukanya, dan melongok ke luar. Remang-remang, dan desir angin berbaur dengan gemericik sungai dan kucur pancuran. Dengan penerangan teplok, Giyem mendekat ke pancuran. Di situlah, di sudut tempat air sungai dibelokkan ke pancuran, seperti diantarkan sungai, sesosok bayi merah terbungkus kain seadanya, kedua tangannya mengepal kuat-kuat, kedua kakinya menendang-nendang, dan mulutnya menjerit-jerit.
Simbok mana yang tidak akan jatuh iba melihat pemandangan seperti itu? Giyem, janda yang empat bulan lalu ditinggalkan suami entah ke mana, menyambut bayi itu sebagai rahmat dan jawaban Gusti atas doa-doa dan tirakat yang tiada henti-henti. Pagi itu, si bayi telantar menemukan kehangatan dada yang mendekap dengan penuh cinta.
ADVERTISEMENT
Ketika melaporkan pada Pak Dukuh, Giyem menyerahkan secarik kertas yang terselip di kain pembungkus bayi. Surat yang tampak ditulis dengan tangan gemetar: Tolong, rawatlah dia. Saya tidak sanggup.
“Yah, tampaknya ini peparingane Gusti untuk sampean, Yem. Dirawat sebaik-baiknya, ya.”
Giyem tersenyum, bahagia sekali. Ia menamai bayi itu Slamet.
***
Ya, nama sebenarnya Slamet. Bukan Temon. Begini ceritanya sampai nama itu berubah.
Slamet bertumbuh sebagai anak juara. Gesit dan cekatan ia. Memanjat pohon-pohonan seperti monyet. Menyelam paling tahan lama. Memancing belut atau ikan sungai jago. Menerbangkan layang-layang lihai. Permainan anak-anak mana yang tidak dikuasainya? Tanpa upacara penobatan, kawan-kawan sebaya menganggapnya sebagai jendral dan patuh membuntutinya.
Ada yang tidak suka, tentu saja. Bimo, anak juragan beras kaya. Dengan uang saku berlebih, ia bisa mengiming-imingi sebagian anak mengikutinya. Tapi kelompoknya tidak pernah unggul melawan Slamet dan kawan-kawan. Kebenciannya mendidih saat suatu siang sekantong kelereng barunya beralih menjadi milik Slamet dalam tanding yang berlangsung lumayan cepat. Sebagai pecundang, kebenciannya pun terlontar dalam bungkus hinaan.
ADVERTISEMENT
“Curang! Curang kau! Dasar anak haram! Anak temon ! Bisanya main curang!”
Hati Slamet tertusuk. Mengamuklah ia. Begitu saja menyeruduk Bimo, sambil mengirimkan jotosan ke perut anak itu. Bimo tak sempat mengelak, langsung terjungkal, tubuhnya jatuh berdebam ditindih Slamet. Keduanya beguling-guling sebentar. Anak-anak lain berteriak-teriak menyoraki. Slamet segera unggul, duduk menjepit Bimo. Diayunkannya bogem mentah ke rahang Bimo. Keras. Mulut Bimo muncrat darah.
“Stop! Stop! Berhenti! Awas ya! Jangan berkelahi!” Suara keras seorang pak tani membuyarkan mereka. Anak-anak berlarian terpencar-pencar.
Esoknya rombongan Bimo mendatangi rombongan Slamet. Heran bin ajaib, Bimo mengibarkan bendera putih.
“Kau memang jago. Aku ngaku kalah. Sekarang kami mau jadi pengikutmu.”
Mata Slamet berbinar.
“Tapi, mulai sekarang kau kupanggil Temon, ya?”
ADVERTISEMENT
Kali ini nadanya bukan menghina, tapi menggoda. Slamet nyengir. Anak-anak lain bersorak.
Sejak itu ia menyandang nama Temon. Nama hinaan. Namun juga kebanggaan.
***
Laki-laki itu tiba-tiba saja muncul ke rumah mereka sekian pekan setelah Temon disunat. Temon langsung tidak suka pada cara laki-laki itu memandangnya. Meremehkan, tapi sekaligus penuh kebencian. Laki-laki itu sama sekali tidak menyapanya, tetapi simbok meladeninya dengan baik. Hati Temon gemuruh. Marah sekali. Tak sudi ia kasih sayang simboknya dibagi.
Nyatanya, justru itulah yang terjadi. Ternyata laki-laki itu, didengarnya dari omongan tetangga, tak lain suami simbok yang pergi entah ke mana. Ah, bukan entah ke mana sebenarnya. Orang sekampung tahu belaka ia meninggalkan Giyem untuk menikahi perempuan dari desa seberang lembah. Punya satu anak. Nah, kalau tiba-tiba ia muncul kembali di rumah Giyem, itu yang masih entah kenapa. Masih tanda tanya.
ADVERTISEMENT
Temon tak peduli dengan itu semua. Inginnya ia laki-laki itu segera pergi. Tetapi laki-laki itu malah tinggal. Laki-laki yang tidak mengacuhkannya dan tidak pernah menyapanya itu menjadi orang ketiga di rumah mereka. Dan simbok meladeninya dengan baik, sangat baik.
Temon benci sekali.
Suatu malam ia terbangun dari mimpi buruk. Jantungnya berdenyut keras. Tengkuknya berkeringat dingin. Ketika kesadarannya kembali terkumpul, ia mendengar derat-derit aneh dari bilik sebelah. Juga suara simbok, merintih ganjil. Ia terpaku. Ulu perutnya berdesir. Ia gelisah. Ada yang mengeras di selangkangannya.
***
Laki-laki itu mendengus. Persetan sebenarnya dengan bocah itu. Toh Giyem masih melayaninya dengan baik. Tetapi, persetan juga memang bocah itu. Bocah itu menjadi tonjokan kesekian bagi kelelakiannya!
ADVERTISEMENT
Karena bocah itu bukan benihnya.
Meskipun juga bukan benih Giyem. Entah kenapa perempuan bisa menyambut bahagia yang bukan benihnya, sedangkan ia menggelegak luka? Dulu ia menuduh rahim perempuan itu mandul. Empat tahun menikah tanpa keturunan, mencoba pertolongan dukun tanpa hasil, Giyem menyarankan untuk mengangkat anak sebagai pancingan, tapi ia melirik perempuan lain. Ada niat membuktikan kejantanan. Betapa jumawa ia ketika istri mudanya langsung hamil, dan melahirkan pada bulan keenam perkawinan mereka. Ah, mereka memang sudah bercumbu sebelum berakad. Bahagialah ia membopong bayi perempuan mungil itu. Dan ia membayangkan tahun depan akan membopong adiknya. Ia berharap laki-laki. Lalu tahun berikutnya lagi. Dan tahun berikutnya lagi. Dan lagi….
Ternyata kosong.
Ningsih tak kunjung punya adik. Dan ia mulai merasakan ada yang ganjil pada tatapan istrinya. Dan ia mulai merasakan ada yang nyinyir pada bisik-bisik tetangganya. “Bapaknya hitam legam begitu kok anaknya putih bersih ya.” Ah, makin besar, makin asing Ningsih baginya.
ADVERTISEMENT
Sampai suatu malam ia nekad. “Mbok, benarkah Ningsih…?”
“Ngomong apa sampean itu?”
Istrinya menukas dengan pandangan tajam menguliti. Dan tahulah ia tak ada gunanya bertanya lebih jauh lagi.
Sejak itu ia menjadi manusia layang-layang putus. Benarkah benihku hampa?
***
Aku tahu ia kalah. Ia tidak mengakuinya memang. Laki-laki jelas serbagengsi, bukan? Setelah ketahuan belang istri keduanya, gatal lagi ia bertualang. Makin sering bertualang, makin nyatalah kekalahannya. Kenapa pecundang tak kunjung menyerah?
Kalah—meski belum tentu menyerah. Aku tahu itu. Makanya aku menerimanya kembali. Makanya aku legawa merengkuhnya kembali.
Seperti ketika aku bahagia merengkuh bayi Temon yang tanpa daya dulu.
Betapa bahagia menjadi perempuan yang boleh memeluk melindungi.
Tetapi aku keliru juga. Kupikir bisa mengakurkan dua laki-laki itu. Nyatanya harapanku kandas. Sampai hari ini mereka berdua masih juga seperti anjing dan kucing. Kalau Kang Wage datang, tak lama kemudian Temon akan menghilang. Kalau Kang Wage mulai kelayapan lagi, baru Temon akan kembali menampakkan batang hidungnya. Ingin aku mengajak Kang Wage bersama-sama membesarkan Temon. Mencurahkan perhatian tidak harus pada benih sendiri, bukan? Kalau memang bukan kehendak Gusti kami mendapatkan momongan sendiri, apa salahnya mensyukuri momongan yang dipercayakan-Nya secara tak terduga? Tapi laki-laki memang keras kepala. Dua-duanya.
ADVERTISEMENT
Ah, ya, Temon—ah, kenapa juga orang kadung menyebutnya Temon, meski memang begitu riwayatnya—sudah bukan bocah lagi. Sudah laki-laki dia. Sejak disunat pertumbuhannya melesat cepat. Kadang aku takut tiba-tiba datang orang mengaku sebagai orangtuanya dan mau mengambilnya. Sudah mulai punya pacarkah dia? Gagah dia, beda dari Kang Wage yang seperti kuali gosong itu.
Dua laki-laki. Yang satu makin tua dan makin egois. Yang satu lagi sedang meremaja mekar menuju matang.
***
“Kalau mau, kubayari,” kata Bimo.
Temon menegak.
“Mau nggak?”
Temon masih terdiam. Bimo ngakak. Kali ini ia merasa menang dari Temon.
Tidak. Temon tidak merasa terhina. Ia sudah merasakan enaknya punya pengikut seperti Bimo. Ia tak perlu takut kehabisan rokok. Ia sering diberi baju bagus. Pernah mereka mencoba menenggak arak. Ketika Bimo diberi motor, Temon juga leluasa memakainya. Tetapi, tawaran yang satu ini kembali membuat Temon termangu. Bimo sudah menjajalnya. Dan ketagihan. Dan gigih beberapa kali mengiming-imingi Temon.
ADVERTISEMENT
Temon bergeming.
Jantungnya berdenyut lebih keras. Diisapnya kuat-kuat rokok yang tinggal pendek, lalu dijentikkannya puntungnya yang masih menyala.
“Aku balik dulu.”
“Lho, tidak jadi coba? Belum berani?”
Temon tidak mengacuhkan.
“Perlu kuantar?”
Temon menepiskan. Memilih berjalan dalam diam. Ingatannya sudah terseret ke malam yang berkeringat dingin itu. Dengan derit yang aneh. Dengan rintih yang ganjil. Ingatan yang selama sekian tahun kerap membuatnya terjaga malam-malam. Sulit terpejam. Menyekap kepalanya seperti kabut yang memabukkan. Ingatan yang membuatnya menatap benci setiap berpapasan dengan laki-laki itu. Ingatan yang kadang-kadang membuatnya menahan napas jika menyaksikan simbok kembali dari mandi keramas di pancuran. Simbok, yang semula ibu paling baik di dunia, malih jadi perempuan paling cantik di dunia.
ADVERTISEMENT
Dan di sinilah ia kini, di rumah sepi ini. Laki-laki itu pasti lagi ngelayap entah ke mana. Ada bunyi napas halus teratur dari kamar. Jantung Temon berdesir. Temon mendekat. Menyibakkan tirai penutup kamar. Benarlah. Simbok sudah tertidur. Telentang begitu tenang. Dalam remang lampu kamar, wajahnya tampak resik. Payudaranya naik-turun pelan, menyembul putih dari belahan kebayanya.
Temon menahan napas. Tahulah ia apa yang diingininya. Ia seperti bayi yang ingin menyusu lagi.
***
“Bocah asuuuuuuuu ! Bajingan!”
Temon tersentak kaget. Pintu depan didobrak. Laki-laki itu mengacungkan golok. Temon meloncat, berkelit melalui pintu dapur, ke halaman belakang. Laki-laki itu mengejarnya.
Di halaman belakang, di tepi sungai, di bawah seiris rembulan, kedua lelaki itu berhadapan. Yang satu lelaki yang berulang-ulang terbanting kelelakiannya. Yang lain menginjak gerbang kelelakian dengan menyusup ke rahim terlarang. Yang satu murka. Yang lain benci. Malam akan menyaksikan siapa menghabisi siapa.
ADVERTISEMENT
Ah, golok di tangan laki-laki murka bagaimanalah akan ditangkis oleh si pemuda tangan kosong, jagoan sekalipun. Murka telah melipatgandakan tenaga laki-laki yang beranjak tua itu. Dan meski tua, rupanya jagoan juga ia. Maka, ketika goloknya berhasil menebas lengan si pemuda, sisanya tinggal mudah saja. Menebas perut. Menebas dada. Menebas leher. Robohlah pemuda itu dalam genangan darahnya sendiri.
Laki-laki itu berdiri tegak terengah-engah. Matanya memijar seperti harimau kalap.
Dari arah belakang terdengar teriakan riuh. “Rajapati! Rajapati! Rajapati!” Cahaya lampu-lampu senter berkelebatan mendekat.
Laki-laki itu melemparkan golok ke sungai. Ia pun mencebur ke airnya yang dingin, berenang secepat mungkin menyeberanginya. Sorotan lampu senter cepat mengikutinya.
Giyem sudah lebih dulu keluar dari dapur dengan rambut terburai, air mata bercucuran, bibir menggigil tak jelas mendesis atau menggeram. Gontai ia melangkah mendekati tubuh Temon yang tertelungkup—di tepi sungai, hampir persis di tempat dulu ia ditemukan.
ADVERTISEMENT
Mendadak Giyem terhenti. Ulu perutnya menjerit nyeri. Perut yang sekian pekan ini—naluriah ia tahu—berdenyut-denyut dengan benih kehidupan baru. Tak sangguplah ia menyangga jagad yang mendadak limbung. Dan gelap. ***
Catatan:
peparingane = karunia
temon = yang ditemukan
kadung = telanjur
asu = anjing
rajapati =pembunuhan