Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Sejarah mengajarkan pada kita: Kekuasaan yang maha besar dan bertahan lama dibangun dan dipelihara dengan dua modal. Pertama, kekerasan sebagai kekuatan memaksa. Kedua, kemahiran membujuk hati orang banyak dengan kata-kata rayuan moral dan manis.
ADVERTISEMENT
Tidak bisa hanya salah satu. Tetapi, tidak selalu keduanya dibutuhkan setara dan pada saat bersamaan terus-menerus. Ada saat di mana kekerasan lebih dibutuhkan. Kadang-kadang, rayu dan bujukan gombal lebih manjur.
Namun, tidak ada kekuasaan yang abadi, tak peduli betapa besar, hebat, atau panjang usianya.
Berdirinya negara modern paling awal di Nusantara, yakni negara kolonial Hindia Belanda, mampu bertahan cukup lama berkat kombinasi senapan dan daya pukau kehidupan modern. Pemerintahan Sukarno jatuh karena terlalu bergantung pada pidato bujukan tentang revolusi dan imperialisme tanpa diimbangi kenyamanan hidup sehari-hari. Orde Baru bangkit dengan mengandalkan pembantaian rakyat sendiri dalam jumlah luar biasa banyaknya, lalu runtuh karena kekuatan senapan dan omong kosong tentang pembangunan tidak lagi merayu rakyat.
ADVERTISEMENT
Maraknya demonstrasi di berbagai kota dalam beberapa hari terakhir, sekali lagi menunjukkan gagalnya kaum penguasa di Indonesia, baik penguasa ekonomi dan terlebih lagi penguasa politik. Mungkin yang kita saksikan baru sebuah gejolak sesaat, bisa juga awal dari sebuah badai yang lebih dahsyat berjangka panjang.
Sejauh mana kegagalan penguasa, dan apa yang masih dapat diselamatkan dari mereka sangat bergantung dari kemahiran mereka mengelola kombinasi kedua jenis kekuatan tadi, dan bagaimana para pembangkang menanggapinya.
Yang jelas, maraknya demonstrasi belakangan ini sudah merupakan bukti kegagalan penguasa ekonomi dan politik. Ini bukan kegagalan semata-mata seorang Presiden, yakni Jokowi.
Mereka telah berhasil menguasai istana, parlemen, dan berbagai sumber daya alam dan manusia di negeri yang besar ini. Namun, mereka gagal mempertahankan rasa keadilan atau membungkam masyarakat, entah dengan cara-cara kekerasan maupun bujukan moralis atau religius. Mereka gagal memelihara status quo yang penuh kepincangan, baik ekonomi, sosial, maupun moral.
ADVERTISEMENT
Selama berpuluh-puluh tahun, kekerasan lebih banyak diandalkan untuk membungkam dan keluhan warga Papua. Perlawanan dari warga Papua bukannya mereda, belakangan malahan lebih kuat. Bahkan, untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita menyaksikan meluasnya dukungan masyarakat Indonesia non-Papua di berbagai wilayah terhadap kemarahan warga Papua yang merasa dilecehkan dan ditindas.
Bukan berarti hanya kekerasan dan tidak ada bujukan manis untuk warga Papua. Di sana banyak dibangun berbagai fasilitas. Ada kunjungan Presiden yang berfoto bersama warga Papua. Tetapi, dibandingkan dengan yang terjadi di wilayah lain secara keseluruhan, cara-cara kekerasan lebih banyak diandalkan untuk mengatasi keresahan sosial politik dan ekonomi di sana. Itu sebabnya selama berpuluh-puluh tahun pemerintah membatasi akses wartawan internasional berkunjung ke Papua.
ADVERTISEMENT
Di Jawa situasinya sangat berbeda. Apa yang terjadi di Jawa sulit ditutup-tutupi dari mata dunia. Berbagai masalah di Jawa diusahakan diatasi oleh elitnya dengan cara-cara nonkekerasan. Baik lewat propaganda, pidato pejabat, forum dialog, hingga pranata hukum. Bahkan, lewat propaganda dan hoaks. Namun, seperti sudah terbukti pada saat ini, cara-cara itu tidak memuaskan masyarakat. Upaya perombakan UU dan KUHP adalah contoh terakhir bagaimana elit yang melecehkan akal sehat masyarakat telah memprovokasi kemarahan yang meluas.
Maraknya demonstrasi di Papua dan yang terjadi di luar Papua tidak sepenuhnya terpisah. Sebagian dari tuntutan para demonstran di Jawa adalah demiliterisasi Papua dan penghormatan pada hak-hak asasi warga Papua. Untuk itu, mereka layak diberi hormat dan penghargaan.
ADVERTISEMENT
Namun, sulit untuk membantah kenyataan, bahwa laporan di ruang publik (media massa arus utama maupun media sosial) dari dan di Jawa lebih banyak tentang berbagai demonstrasi di Jawa sendiri, ketimbang yang terjadi di Papua. Padahal, skala dan sejarah kekerasan di Papua jauh lebih mengerikan ketimbang yang hingga kini terjadi di Jawa.
Ketimpangan ini bisa dipahami. Tidak selalu atau semata-mata karena alasan politis, bukan kesengajaan. Karena jumlah dan besarnya ukuran industri komunikasi, konsumen kamera, dan kemudahan telekomunikasi di Jawa sendiri. Sedangkan di Papua, selain ada keterbatasan akses masuk, juga sesekali terjadi pembatasan sambungan internet.
Tetapi, ada alasan lain yang jauh lebih samar dan karena itu berbahaya. Jika tidak berhati-hati menyimak sejarah, para aktivis demonstran di Jawa hari-hari ini mudah terjatuh kembali pada romantisme tentang kehebatan gerakan mahasiswa ala Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Untuk menghindarkan kesan telah mengkudeta pemerintahan Soekarno, militer Orde Baru mengandalkan aktivis mahasiswa untuk maju di garis depan menyerbu pemerintah. Supaya tidak kelihatan Angkatan Darat yang membangkang negara, dibangunlah “Angkatan 66” yang heroik sebagai pendobrak pemerintahan Soekarno yang dianggap terlalu dekat dengan PKI.
Sesudah berkuasa, militer Orde Baru lebih membutuhkan teknokrat dan pemodal ketimbang aktivis mahasiswa. Maka tidak aneh, aktivisme mahasiswa, terutama sejak 1978 (NKK/BKK) ditindas. Tetapi, penindasan ini bukannya memudarkan, namun melestarikan citra gerakan mahasiswa sebagai primadona politik, moralitas, dan idealisme dalam ruang publik Orde Baru.
Aktivis mahasiswa jadi sosok tunggal yang sesekali boleh dan mau menyuarakan kritik sosial dan keresahan masyarakat pinggiran. Bila terjadi kekerasan terhadap aktivis mahasiswa, media massa waktu itu langsung melambungkan sosok mereka sebagai martir dan pahlawan.
ADVERTISEMENT
Padahal bila disimak lebih jauh, di pusat-pusat kota di Jawa, aktivis mahasiswa adalah "anak-anak" kandung, keponakan, calon menantu sendiri dalam keluarga besar politik negara Orde Baru. Mereka menjengkelkan, tetapi tidak teramat berbahaya. Sesudah lulus kuliah, sebagian dari aktivis mahasiswa bergabung dalam jaringan politik yang pernah dikritiknya, dan ini berulang kembali setelah Orde Baru runtuh.
Kasta dan nasib para aktivis mahasiswa Orde Baru berbeda jauh dari gerakan kaum muda dan mahasiswa segenerasi yang berkait atau dikait-kaitkan dengan aliran radikal Islam, komunisme, atau separatisme di Maluku, Papua, Timor Timur, dan Aceh. Baik dalam bahasa penguasa Orde Baru maupun para aktivis mahasiswanya, semua gerakan yang tersebut belakangan tidak disebut-sebut sebagai bagian dari gerakan mahasiswa Indonesia. Yang dianggap sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa Indonesia adalah angkatan 66, 1974, 1978, 1985, dan 1998 atau reformasi. Hampir semuanya berpusat di Jawa.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya, hingga kini pergolakan politik terbesar yang paling diingat masyarakat dari tahun 1998 adalah “gerakan” dan “tokoh-tokoh” reformasi. Sebagian diculik, ditahan, atau bahkan dibunuh. Kebanyakan dari mereka pria dan kebanyakan hidup di Jawa, bahkan berpusat di Jakarta. Yang mudah dilupakan adalah mereka yang juga terluka, diperkosa, dan terbunuh pada waktu dan di tempat tidak berjauhan, tetapi bukan tokoh, bukan pria dan bukan aktivis.
Gerakan mahasiswa di Jawa masa kini pasti tidak gentar pada pasukan keamanan negara. Apalagi bila pasukan ini tidak segalak yang di Papua. Pertanyaannya, mampukah mereka melawan musuh yang lebih samar dan sulit dilawan, yakni rayuan mitos sebagai pahlawan yang gagah berani, sebelum kelak lulus kuliah lalu ditarik masuk dalam kawasan kekuasaan yang hari ini mereka lawan. Moga-moga, sejarah tidak terlupakan dan diulang berkali-kali secara maha-sia-sia.
ADVERTISEMENT