Mengapa Setiap Telinga Harus Dengar Album Payung Teduh: Live and Loud

Arif Utama
just like cactus jack, i quit.
Konten dari Pengguna
15 November 2017 22:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengapa Setiap Telinga Harus Dengar Album Payung Teduh: Live and Loud
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kembali pada tahun 2016, nun jauh sebelum “Akad” menjadi populer, atau kisruh Hanin Dhiya dan Payung Teduh, hingga keputusan Bang Is untuk keluar dari Payung Teduh, Payung Teduh mengambil sebuah keputusan besar. Mereka, atas berkat dan rahmat Allah dan dengan didukung oleh Yamaha (jelas bukan Yamaha Motor) sebagai sponsor, mengadakan sebuah konser khusus.
ADVERTISEMENT
'Live and Loud' nama konsernya, dan konsernya dilaksanakan di Gedung Yamaha Musik Indonesia di bilangan Bundaran Semanggi, Jakarta Selatan.
Di konser tersebut, Payung Teduh kemudian mengaransemen ulang lagu-lagunya sendiri. Saya tak tahu apakah konser tersebut meriah atau tidak. Tapi jika anda kebetulan merupakan salah satu dari 500 orang yang pre-order CD-nya, atau yang tak sengaja menemukan album ini di Spotify, bolehlah kita berimaji bahwa konser tersebut sukses besar.
Eksperimen Payung Teduh untuk mengawinkan musik keroncong dengan jazz adalah ide yang brilian. Kalau anda selama ini merasa bahwa lagu-lagu Payung Teduh, entah itu di Self-Titled (2010) atau Dunia Batas (2014), sudah sempurna dengan kesederhanaannya, anda akan terkaget-kaget.
Perasaan mendengar album 'Live and Loud' sama seperti melihat pacar anda yang biasa pakai setelan kaos, celana jins, dan sepatu kets. Anda bisa saja merasa ia sempurna dengan apa yang ia kenakan. Hingga tiba-tiba memutuskan memakai gaun mewah lengkap dengan sepatu kaca.
ADVERTISEMENT
Adapun sebab mengapa ini terjadi, kita patutnya berterima kasih kepada Sadrach Lucas, Music Director dari Yamaha sendiri, yang turut membantu Payung Teduh dalam aransemen ulang lagunya. Sadrach berhasil meracik bumbu yang pas dan tidak berlebihan sehingga album ini terasa sangat bernyawa.
Saya memula mendengarkan lagu ini secara acak. Pertama, saya memutar lagu “Angin Pujaan Hujan,” yang merupakan all-time favourite saya untuk lagu-lagu dari Payung Teduh. Saya takzim. Ketukan drum yang pas membuat lagu ini jadi lebih bunyi.
Serta keberadaan strings, tiupan saxophone, serta tabuhan bass, membuat lagu ini terasa lebih bernyawa. Sehingga saat Bang Is menyanyikan bait ini, “Sang Pujaan tak juga datang. Angin berhembus bercabang. Rinduku berbuah lara,” paripurna sudah sendu saya.
ADVERTISEMENT
Perasaan takzim saya juga dapat ditemui dalam lagu sejuta umat, dan lagu kesukaan saya juga, “Untuk Perempuan yang Sedang Dalam Pelukan.” Lagu ini dimula dengan fingerstyle gitar solo, lalu kemudian ada tabuhan drum.
Diiringin piano, strings, lalu dilengkapi dengan nada-nada dari saxophone yang sangat nendang, membuat anda tenang. Kalau anda mendengarkan lagu ini bersama pacar anda, tunggu hingga pada bagian reff. Anda tentu berbohong, atau hanya tak punya hati, jika kala anda mendengar reff lagu ini bersama pacar anda namun anda tak merasa seperti seorang paling beruntung di muka bumi ini.
Perasaan takzim juga dapat ditemui kala mendengar “Menuju Senja,” “Kucari Kamu,” “Biarkan/Resah,” “Berdua Saja/Rahasia,” “Kita adalah Sisa-sisa Keikhlasan Yang tak Diikhlaskan,” “Diujung Malam,” dan terutama, “Cerita Tentang Gunung dan Laut.” Eksplorasi Payung Teduh menunjukkan bunyinya dalam lagu ini. Sehingga lagu yang mulanya memang sangat emosional sendiri, bisa lebih dirasakan kepada audiens seperti saya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, anda akan menemukan kejutan dalam album ini. Dalam “Amy,” anda akan mendengar lagu “Amy” kemudian diabadikan ke dalam versi jazz-instrumental. Sementara dalam “Tidurlah,” anda akan mendengar suara anak kecil membaca puisi sebelum lagu dimula. Mendengar anak kecil tersebut membaca puisi, seperti membawa diri ke mesin waktu. Kembali ke masa di mana kita masih bocah, dan orangtua kita memberikan dongeng sebelum tidur.
Secara keseluruhan, kalau anda punya hobi mengoleksi CD, anda harus meluangkan tenaga, waktu dan uang anda untuk mencari toko indie mana lagi yang masih menjual CD ini. Saya, ngomong-ngomong, beli album fisiknya di Ommunium, Bandung, dan mungkin hal tersebut bisa jadi salah satu referensi bagi anda mencari album fisiknya.
ADVERTISEMENT
Karena bagi saya sendiri, ini album Payung Teduh paling baik yang pernah saya dengar. Dan saya sendiri ragu apakah Payung Teduh akan merilis album dengan rasa paling kaya ditelinga ini dalam waktu dekat. Terutama, setelah mereka kehilangan Bang Is – suara dan nyawa dari band itu sendiri. Sehingga album ini layak untuk hijrah dari rak toko menuju rak lemari anda yang indah itu.