Arsenal dan Mengapa Sepak Bola Membenci Kekalahan

Arif Utama
we all gonna die (hopefully soon)
Konten dari Pengguna
16 Februari 2017 18:48 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arif Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bayern vs Arsenal (Foto: Michael Dalder/Reuters)
Kala menyaksikan serial “Lucifer” musim kedua episode 13 seminggu yang lalu, saya menyaksikan wajah neraka yang lain. Neraka yang sangat jarang diilustrasikan oleh orang-orang.
ADVERTISEMENT
Tom Kapinos, sang penulis script, kemudian menggambarkan neraka tak dari sudut pandang yang lumrah seperti kekerasan fisik ataupun siksaan yang sungguh gore. Ia menggambarkannya, dari bagaimana neraka juga harusnya menyiksa manusia secara psikis.
Dan di situlah Lucifer. Lucifer, yang diperankan aktor tampan Tom Ellis, menghakimi orang atas dosa-dosa mereka, dengan memaksa mereka terus mengulangi dosa-dosa mereka selamanya.
Dalam episode tersebut, ia menghakimi Profesor Carlise. Seorang profesor yang selama hidupnya terobsesi dengan menyelamatkan diri sendiri adalah sikap naluriah manusia. Lucifer tak butuh api-api dan latar menyeramkan. Ia membuat dunia repetitif, di mana ia berhadapan dengan dosanya, dan tanpa jeda sehingga menyiksa.
Akan tetapi, apa yang dipikirkan Tom Kapinos jelas berbeda dengan apa yang dipikirkan Albert Camus.
ADVERTISEMENT
Saat orang-orang mungkin berpikir bahwa pengulangan macam itu adalah siksaan yang abadi, Camus malah mengatakan sesuatu yang absurd. Katanya, “bayangkan Sisiphus bahagia!” sambil mengenang bagaimana orang-orang yang iba terhadap Sisiphus karena dihukum oleh sang raja dewa, Zeus, atas kebebalannya.
Ia memborgol malaikat maut sehingga membuat dunia tidak seimbang. Ia dipaksa membawa bongkahan batu ke puncak bukit, dan tiap kali batu tersebut hampir sampai ke puncak, ia turun. Dan begitulah seterusnya. Camus kemudian menawarkan pemikiran lain. Ia mengajak kita berpikir, bagaimana jika dalam pengulangan tersebut seseorang dapat bebas dari segala tuntutan apapun yang mendefinisikannya.
Ia, yang menganut paham absurditas, kemudian menyebutkan bagaimana jika pada saat Sisiphus disiksa, ia kemudian mengerti apa esensi hidupnya.Esensi yang terbebas dari definisi umum, namun sekaligus membuatnya menjadi manusia yang bebas. Manusia yang berhasil mencapai kebahagiaan yang seutuhnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, manusia (atau sepak bola) jelas lebih setuju dengan anggapan Tom Kapinos, dibandingkan Albert Camus. Cara Camus memandang siksaan yang diterima Sisiphus sangat sulit diterima oleh manusia biasa karena tak setiap orang dapat melakukannya.
Ia mungkin bisa dilakukan oleh ubermenschaff – manusia super gambaran Nietzche yang terbebas dari dogma dan nilai-nilai yang melekat di masyarakat. Tapi tidak dengan manusia pada umumnya, atau pecinta sepak bola pada khususnya.
Pertanyaannya, bagaimana kita bisa lepas dari nilai yang sudah kita anut dan bahkan, sudah berada di alam bawah sadar kita?
Hingga hari ini, saya belum pernah menemukan orang yang macam Sisiphus yang digambarkan Camus di dunia sepak bola. Pernahkah sekali saja, misalnya, anda bertemu dengan penggemar sepak bola, lalu saat tim mereka kalah mereka berkata, “voila! Akhirnya aku temukan esensi diriku menjadi penggemar sepak bola” ?
ADVERTISEMENT
Andai apa yang dikatakan Albert Camus diyakini oleh berbagai penggemar Arsenal, saya rasa mereka dapat menjadi sufi. Mereka telah menerima siksaan macam Sisiphus selama hampir satu dekade terakhir. Mereka melalui siklus yang serupat tiap tahunnya.
Pada mulanya, mereka tampil tak meyakinkan di Liga. Lalu meyakinkan, lalu kembali tak meyakinkan. Menjadi kandidat jawara Liga Inggris. Kalah besar di leg 1 babak 16 besar Liga Champions sebelum pada akhirnya berani melawan di leg 2. Terbuang dari Piala FA dan tak peduli dengan Piala Liga. Lalu merayakan finish di top-4 sebagai sebuah prestasi. Lalu belanja di musim panas, dan membeli pemain meyakinkan. Dan kembali tampil tak meyakinkan, dan kembali meyakinkan, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, apakah hal tersebut membuat mereka terlepas dari anggapan bahwa kebahagiaan menjadi penggemar sepak bola harusnya bisa lepas dari nilai-nilai, katakanlah, mengejar trofi dan memuja kemenangan? Hal ini, tentu saja, mustahil dalam sepak bola.
Beberapa literatur berikut bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dalam Merayakan Sepakbola-nya Fajar Junaedi (2015), pernah dituliskan perihal bagaimana sepak bola bahkan bisa menjadi local pride sehingga cukup kuat untuk membangun city branding dengan mengambil studi kasus terhadap Persib Bandung.
Kebanggaan inilah yang kemudian membuat bobotoh mendukung Persib, dan lebih jauh lagi, selalu menginginkan Persib menjadi klub yang lebih baik lagi. Karena sepak bola Persib kemudian telah menjadi identitas bagi warga Bandung (atau bahkan, Jawa Barat) dan hal ini akan berdampak besar pada perilaku suporter.
ADVERTISEMENT
Pun hal yang sama juga pernah diutarakan dalam Business of Sports: Economic Perspective of Sports (2008) yang diterbitkan oleh Preager Publisher. Olahraga (dalam konteks ini, sepak bola), adalah sesuatu yang tumbuh menjadi suatu hal yang dapat membuat pendukungnya menjadi bahagia melebihi apapun. Sepak bola kemudian menghendaki dua hal: kemenangan, dan keuntungan. Dan keduanya, harus didapatkan oleh tim sepak bola untuk para penggemarnya. Hal ini juga yang membuat penggemar Arsenal masa bodo perihal fakta bahwa tim ini untung terus sementara prestasi mereka begitu-begitu saja.
Bagi mereka, hal ini persis seperti siksaan yang tak dapat berhenti. Mereka jelas tidak di neraka. Mereka ada di muka bumi sehingga mereka selalu memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Dalam selang lima tahun terakhir, sudah ada bakat macam Mesut Oezil, Alexis Sanchez, Granit Xhaka, dan Shokhdran Mustafi. Serta jangan lupakan Hector Bellerin dan pemain-pemain muda Arsenal yang sudah tak diragukan lagi menjanjikan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, yang menyebalkan adalah mereka terus terjerembab di sana. Tak bisa keluar dan terjebak dalam pemikiran Arsene Wenger yang sama-sama menyebalkan seperti nasib Sisiphus.
Mungkin sepak bola tak menjadikan orang sebagai sufi, dan tak ada orang yang pernah segila Camus dalam memandang Sisiphus di dunia sepak bola. Namun, andai kata Arsene Wenger tak juga diganti dan menjabat hingga selamanya, bukannya tak mungkin gambaran Camus mengenai Sisiphus bisa terjadi pada penggemar Arsenal. Mengingat bahwa Sisiphus dalam gambaran Camus butuh waktu siksaan yang sangat lama untuk dapat memandang dunia dengan bebas dan menemukan esensinya sebagai makhluk hidup.