Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Djoko Tjandra
4 Agustus 2020 8:21 WIB
ADVERTISEMENT
Kolase foto Djoko Tjandra, buron kasus cessie Bank Bali, beredar melalui banyak saluran pesan—memperlihatkan perbedaan foto Djoko Tjandra dulu dan sekarang. Perbedaan objek foto yang sangat jelas berbeda: Bagian alis.
ADVERTISEMENT
Foto lama memperlihatkan foto Djoko Tjandra memiliki alis yang tipis. Tapi foto baru, saat dia mengenakan masker dan baju tahanan warna oranye, alis Djoko tampak cukup tebal, menghitam.
Pembuat kolase foto Djoko Tjandra ini pasti orang yang jeli. Saya menduga pembuat kolase foto ingin membawa pesan: "Jangan-jangan orang bermasker dan ditangkap polisi itu bukan Djoko Tjandra." Ada keraguan.
Benarkah Djoko Tjandra yang ditangkap? Sikap meragukan penangkapan Djoko Tjandra wajar saja. Sebab, taipan ini baru bisa ditangkap setelah 11 tahun buron. Padahal, keberadaan Djoko Tjandra sebenarnya sudah diketahui di Papua Nugini dan Malaysia.
Di Papua Nugini, dia mendapat warga kehormatan. Sementara di Malaysia, Perdana Menteri Tun Najib Razak menggelar karpet merah untuknya. Dia bahkan bisa membangun bangunan tertinggi di Malaysia bernama Exchange 106 di kawasan prestisius Tun Razak Exchange (TRX).
ADVERTISEMENT
13 Maret 2018, saya pernah menyambangi kawasan ini. Kala itu gedung masih dalam proses pembangunan. Saya mendatangi area pembangunan gedung ini sambil jalan pagi. Saya datang sekitar pukul 07.00 waktu Kuala Lumpur.
Pembangunan gedung itu sepertinya memang dikebut, dikerjakan 24 jam sehari. Matahari belum lama muncul dari peraduan, tapi para pekerja sudah terlihat sibuk berlalu-lalang. Sebagian pekerja adalah orang Indonesia.
Saya datang ke gedung itu karena ada yang membisikkan bahwa gedung itu dibangun Djoko Tjandra. Dia bisa membangun gedung itu, karena keberadaannya diterima dengan baik oleh Tun Najib. Dia melakukan investasi besar di Malaysia, padahal di Indonesia dia adalah buron. Dua status yang bertolak belakang, meski letak dua negara ini berdampingan.
ADVERTISEMENT
Saya tidak mungkin mengkonfirmasi kepada para pekerja terkait Djoko Tjandra. Namun, ketika berkeliling, saya menemukan "Mulia Gate". Mulia memang tidak bisa dilepaskan dari gurita bisnis Djoko Tjandra. Ini sudah cukup untuk meyakini bahwa bisikan informasi itu benar adanya.
Dua bulan setelah saya mampir, Tun Najib kalah pemilu dan tersingkir sebagai orang nomor satu di negeri jiran itu. Bulan Mei 2018, Mahathir Mohammad kemudian menjadi perdana menteri. Saya tidak tahu seberapa kuat posisi Djoko Tjandra di era Mahathir. Namun yang jelas pembangunan gedung itu terus berlanjut dan sejak akhir 2019 gedung 106 Exchange sudah megah berdiri menjadi gedung tertinggi di Malaysia mengalahkan Petronas.
Informasi lain yang saya dapatkan: Pada pembukaan SEA GAMES 2017 di Kuala Lumpur, PM Najib juga memberi karpet merah kepada Djoko Tjandra—menjadi tamu kehormatan di podium VVIP. Dia pun sempat bertemu beberapa menteri Indonesia yang datang di upacara pembukaan itu. Mereka sempat salaman.
ADVERTISEMENT
Beruntung tidak ada kamera yang membidik momen pertemuan itu. Bila ada, situasi dalam negeri bisa heboh. Keberadaan Djoko Tjandra yang buron sejak 2009 itu sudah jelas diketahui. Jejak-jejaknya kasat mata. Tapi, tak ada tindak lanjut dengan penangkapan.
Kalau pun Djoko Tjandra sukses ditangkap di Malaysia 30 Juli lalu, pertanyaan penting yang perlu dimunculkan adalah: "Kenapa tidak dari dulu?" Mengapa harus menunggu momen-momen yang memalukan aparat penegak hukum kita? Mengapa harus menunggu Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz marah?
Jadi berterima kasihlah kepada Djoko Tjandra yang diam-diam datang ke Indonesia dengan sukses. Juga berterima kasih kepada pengacaranya Anita Kolopaking, jaksa Pinangki Sirna Malasari, Irjen Pol Napoleon Bonaparte, Brigjen Pol Prasetio Utomo, Brigjen Pol Nugroho, dan lurah Grogol Selatan. Tanpa ada kerelaan Djoko Tjandra datang ke Indonesia, bisa jadi Djoko Tjandra akan terus mendapat karpet merah di Malaysia.
ADVERTISEMENT
Kalau ada niat, kemauan, dan kesungguhan, terbukti untuk menangkap buron ternyata juga mudah. Djoko Tjandra tidak memberi perlawanan saat ditangkap tim yang dipimpin Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Seharusnya memang tidak perlu menunggu 11 tahun untuk menangkapnya. Tidak perlu menanti 4 kali periode presiden untuk membawanya pulang ke Indonesia.
Catatan penting, penegakan hukum kita memang masih jadi pekerjaan rumah bersama. Sangat miris bila ada oknum penegak hukum kita, anggota Polri dan Kejaksaan, yang berkelindan untuk melindungi seorang buron dan memuluskan perjalanannya ke Indonesia. Padahal, seharusnya mereka bisa bertindak sebaliknya.
Perubahan alis Djoko Tjandra bisa menjadi bukti bahwa ada kesengajaan untuk mengelabui penampilannya, sehingga tidak mudah diketahui orang bila masuk Indonesia. Hilangnya Djoko Tjandra dari daftar buron Interpol juga sudah direncanakan sejak awal. Mudahnya Djoko Tjandra membuat KTP dan paspor semakin memuluskan kembalinya Djoko Tjandra di Indonesia. Perencanaan-perencanaan seperti ini biasanya beraroma suap.
ADVERTISEMENT
Memuluskan buron masuk ke Indonesia tidak bisa diterima oleh akal sehat. Penegakan hukum dijadikan mainan. Buron yang harusnya ditangkap, malah diberi jalan mulus. Bila penegak hukum di Polri dan Kejaksaan yang terlibat Djoko Tjandra ini sudah diberi sanksi, itu memang sudah seharusnya. Bila tidak, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di negeri ini makin sulit dipulihkan. Tapi para penegak hukum itu tidak cukup hanya dicopot dari jabatan. Mereka telah mempermalukan korps penegak hukum, tempat yang harusnya mereka banggakan.