Kehidupan Prematur

Arifin Asydhad
Bekerja sebagai jurnalis sejak 1999. Berawal di Harian Politik Monitor, lanjut ke detikcom. Per Oktober 2016 menapaki babak baru di kumparan (www.kumparan.com)
Konten dari Pengguna
28 Juni 2020 13:20 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arifin Asydhad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seminggu ini saya menolak undangan yang berbau massal. Pertama, undangan olahraga bersama dan coffee morning KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa. Kedua, undangan Diskusi dan Sambung Rasa dari KSAU Marsekal TNI Fadjar Prasetyo. KSAD mengundang para pemimpin redaksi dan CEO perusahaan media. Sedangkan KSAU mengundang para pemimpin redaksi.
ADVERTISEMENT
Dokumentasi pribadi.
Undangan hard copy KSAD dikirim ke kantor kumparan, sedangkan soft copy-nya dikirim oleh Kolonel Deddy dari Dispen TNI AD. Sedangkan undangan soft copy KSAU dikirim ke saya oleh Kolonel Yuris dari Dispen TNI AU. Perhelatan dua undangan itu mengharuskan untuk bertatap muka. Acara KSAD digelar Mabes TNI AD, sedangkan acara KSAU akan digelar di Skadron 2 Lanud Halim Perdanakusuma. Biasanya kalau undangan jenderal, apalagi ini KSAD dan KSAU, biasanya banyak yang hadir.
Dokumentasi pribadi.
Saya sampaikan kepada pengundang rasa terima kasih saya atas undangan tersebut. Ini merupakan sebuah penghargaan buat saya. Tapi saya sampaikan juga bahwa saya tidak bisa hadir. Alasannya sama. “Mohon maaf, saya tidak hadir memenuhi undangan, karena kantor saya masih memberlakukan WFH dan karena situasi COVID-19 yang belum memungkinkan saya untuk hadir. Tapi, kalau ada pertemuan virtual, saya insyaallah hadir.”
ADVERTISEMENT
Acara KSAD tetap berjalan pada Rabu pagi (24/6). Banyak CEO dan Pemred yang hadir. Dari foto yang beredar, mereka memang berolahraga dan tentu melakukan pertemuan. Ada yang menggunakan masker, tapi ada pula yang tidak. Jaga jarak saat berolahraga, tapi saat bubar olahraga dan bincang-bincang, sulit sekali menjaga jarak. Sementara acara KSAU akhirnya ditunda. Pemberitahuan penundaan hanya sekitar 30 menit setelah undangan soft copy saya terima dan saya memberikan jawaban.
“Memperhatikan perkembangan situasi saat ini, dengan hormat kami sampaikan bahwa undangan KSAU untuk kegiatan Sambung Rasa Kasau dengan Pemred Media yang sedianya dilaksanakan pada Jumat, 26 Juni 2020, di Skadron Udara 2 Lanud Halim Perdanakusuma, DITUNDA hingga ada pemberitahuan selanjutnya,” demikian bunyi penundaan acara KSAU. Mungkin penundaan ini karena banyak juga Pemred yang memberi jawaban yang senada dengan saya.
ADVERTISEMENT
Tidak kali ini saja saya menolak pertemuan tatap muka dengan jumlah undangan yang banyak. Sejak 15 Maret lalu, di masa pandemi ini, saya tidak memenuhi undangan tatap muka dari beberapa menteri juga, seperti Menteri Sosial Ari Batubara dan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Tapi, akhirnya Menteri Edhy membatalkan undangan tatap muka, menggantinya secara virtual. Salut! Undangan tatap muka dengan jumlah undangan sedikit, sebisa mungkin saya tolak. Kecuali, bila sangat penting.
Undangan-undangan peliputan lapangan dari yang sangat penting sampai tidak penting, juga tidak kami penuhi. Sampai sekarang. Sejalan dengan itu, saya juga selalu mendorong supaya pertemuan-pertemuan dan juga jumpa pers-jumpa pers sebisa mungkin dilakukan lewat online atau virtual. Prinsipnya: Kalau bisa bertemu dan berdiskusi secara online, untuk apa harus tatap muka.
ADVERTISEMENT
Karena itu saya mengapresiasi pertemuan-pertemuan dan diskusi virtual yang dilakukan sejumlah menteri dan pejabat, seperti Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama, Menteri Edhy Prabowo, Kepala Gugus Tugas COVID-19 Letjen Doni Monardo, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan beberapa dirut BUMN maupun swasta. Pertemuan virtual menjadi kebiasaan baru yang seharusnya tetap diprioritaskan sampai saat ini, meski pemerintah sudah mengampanyekan new normal.
Istilah "new normal" yang digaungkan pemerintah adalah "Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Desease 2019 (COVID-19)". Memang sangat panjang. Saya memahami isi hati pemerintah. Meminta masyarakat untuk tetap beraktivitas agar produktif, sehingga ekonomi menggeliat kembali. Namun, juga meminta masyarakat untuk tetap memperhatikan keamanan dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Penjelasan pendeknya: Silakan masyarakat beraktivitas kembali, tapi gunakan protokol kesehatan. Protokol kesehatan yang dimaksud, paling tidak dengan memakai masker, jaga jarak, dan sering cuci tangan. Pemerintah tidak mau dikesankan hanya mementingkan persoalan ekonomi, tapi abai dengan kesehatan.
Sebagian masyarakat kini sudah kembali beraktivitas, namun banyak juga yang masih konsisten untuk tetap #dirumahsaja. Perintah #dirumahsaja bulan Maret lalu disampaikan Presiden Jokowi dan sampai sekarang perintah itu belum dicabut, meski pemerintah sudah mengampanyekan new normal. Artinya, masyarakat boleh memilih mana yang mereka suka dan mau. Tapi kalau ke luar rumah, syaratnya: Penuhi protokol kesehatan. Sementara kampanye #dirumahsaja sudah nyaris tak terdengar.
Memenuhi protokol kesehatan bukan perkara mudah. Gampang diucapkan, tapi sulit dilakukan. Perlu komitmen tinggi, konsistensi, dan pengawasan ketat. Nyatanya, tidak hanya masyarakat biasa, banyak pejabat negara juga sering terciduk tidak melakukannya. Padahal, masyarakat perlu keteladanan dari para pejabat dan tokoh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Beberapa hari terakhir, seiring makin gencarnya kampanye new normal, masyarakat makin abai dengan protokol kesehatan dan pengawasan dari aparat juga jarang hadir. Pasar-pasar tradisional makin ramai, restoran-restoran sudah mulai dibuka, termasuk untuk dine-in, tempat-tempat ibadah juga mulai ramai, pertemuan-pertemuan sudah tidak mensyaratkan jumlah orang, orang berdesak-desakan di transportasi umum, dan tempat-tempat wisata sudah mulai dibuka. Protokol kesehatan hanya formalitas, banyak orang tidak menggunakan masker dan melupakan jaga jarak. Berkerumun sudah menjadi hal yang tidak menakutkan dan dihindari.
Sabtu sore, 27 Juni, saya sempat ke Taman Budaya di Sentul City, Kabupaten Bogor. Lokasi ini berjarak sekitar 2 kilometer dari rumah saya. Sebenarnya ingin ke minimarket untuk membeli suatu kebutuhan. Namun, saya urungkan. Suasana ramai sekali. Restoran dan kafe sudah benar-benar normal seperti biasa. Tempat parkir penuh. Banyak pengunjung berkumpul di dalam resto dan kafe tanpa jaga jarak. Tua-muda, dewasa maupun anak-anak tumplek blek. Mayoritas tidak menggunakan masker. Mereka seakan menyambut suka cita keputusan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang sudah menghentikan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk Jawa Barat. Padahal, Ridwan Kamil mengecualikan Bogor, Depok, dan Bekasi.
ADVERTISEMENT
Sabtu malam, 27 Juni, seorang pembaca kumparan juga menginformasikan suasana Puncak, Jawa Barat, yang sangat ramai. Banyak pengunjung yang datang ke Puncak dan nongkrong di pinggir jalan. Lalu lintas kendaraan padat. Mereka juga sudah tidak mengenakan masker.
Sebelumnya, Jumat malam, 26 Juni, saya terpaksa memenuhi pertemuan penting di sebuah hotel bintang lima di Jakarta. Saya memenuhi karena undangan terbatas, hanya sekitar 12 orang. Pertemuan ini juga tidak bisa dilakukan secara virtual. Saat masuk hotel di bilangan Bundaran HI ini, saya diperiksa petugas hotel. Suhu saya dicek. Saya juga harus mengisi formulir secara online dan mencatatkan nomor HP saya. Di tempat pemeriksaan, disediakan hand sanitizer. Petugas konsisten menggunakan masker dan face shield.
ADVERTISEMENT
Ketika masuk ke ruangan, tempat duduk diatur dengan jarak sekitar 1 meter, tidak berimpitan. Para pelayan yang menghidangkan makanan menggunakan sarung tangan, menggunakan masker dan face shield. Sebelum masuk ruangan juga disediakan hand sanitizer. Cukup aman. Namun, tetap saja, begitu acara bubar, jaga jarak menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Syahwat untuk berdekatan karena harus bicara maupun bisik-bisik, terpaksa dilakukan oleh sebagian kami.
Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Corona masih mengintai. Kurva penambahan kasus positif di Indonesia secara nasional juga belum konsisten turun. Vaksin masih belum ditemukan. Indonesia, lewat berbagai instansi pemerintah dan swasta serta perguruan tinggi sedang berusaha keras menemukan vaksin ini. Perusahaan farmasi Indonesia juga sudah ditugaskan untuk menggalang kerja sama dengan perusahaan swasta di Korea Selatan dan China terkait vaksin.
ADVERTISEMENT
Informasi yang saya dapatkan paling cepat vaksin akan ada di Indonesia sekitar bulan Juni 2021. Distribusi dan proses vaksinasi kepada 270 juta masyarakat Indonesia bisa jadi akan berlangsung selama 6 bulan. Selama vaksin belum ditemukan, masyarakat tetap harus waspada dan hati-hati. Sayangnya, banyak masyarakat sudah menganggap situasi saat ini sudah normal. Mereka menjalani kehidupan seperti sebelum pandemi terjadi. Ini jelas kehidupan yang prematur.
Saya setuju sambil menunggu vaksin, masyarakat tetap harus produktif, supaya ekonomi bisa bergerak. Namun masyarakat juga jangan mimpi ekonomi akan membaik kembali 100 persen dalam sekejap. Situasi ini merupakan perpaduan antara krisis kesehatan dan krisis ekonomi. Maka, krisis harus dipahami akan berlangsung cukup lama.
Setiap orang harus jujur dan peduli pada diri sendiri, tapi juga peduli dengan yang lain. Saya mengapresiasi Pak Sigit Pramono dan kawan-kawan yang menginisiasi Gerakan Pakai Masker (GPM) yang menggunakan tagline: Lindungi Kamu dan Aku. Pak Sigit dkk resah dengan masyarakat yang sudah abai tidak menggunakan masker, terutama di pasar-pasar tradisional.
ADVERTISEMENT
Kalau kehidupan prematur ini tidak segera dievaluasi, maka kondisi penyebaran COVID-19 yang sudah mulai bisa dikendalikan ini bisa akan berbalik kembali makin liar. Sebaiknya semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat tetap waspada. Jangan biarkan kehidupan prematur ini berjalan tanpa pengawasan. Berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, senang dan bahagia kemudian. Semua perlu proses, jangan terburu-buru nafsu menjalani hidup normal.