Ujian Pandemi

Arifin Asydhad
Bekerja sebagai jurnalis sejak 1999. Berawal di Harian Politik Monitor, lanjut ke detikcom. Per Oktober 2016 menapaki babak baru di kumparan (www.kumparan.com)
Konten dari Pengguna
16 Juni 2020 11:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arifin Asydhad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
Penjelasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pada sore 15 Juni 2020 cukup melegakan. Setidaknya, Mas Menteri menegaskan dalam menyusun Panduan Proses Pembelajaran Tahun Ajaran Baru 2020/2021, faktor terpenting yang jadi pertimbangan adalah aspek kesehatan dan keselamatan. Panduan ini perlu diapresiasi karena menyadarkan masyarakat bahwa saat ini masih dalam masa darurat.
ADVERTISEMENT
Panduan ini bagaikan oase di tengah padang pasir. Bagaimana tidak, kampanye "new normal" yang digaungkan pemerintah pusat cenderung lebih mementingkan aspek ekonomi daripada keselamatan dan kesehatan. Karena itu, banyak kebijakan pemerintah yang dibuat untuk menyongsong "new normal" sebagai upaya pelonggaran pengetatan. Nyaris tak ada narasi bahwa saat ini masih dalam suasana darurat. Satu-satunya senjata yang digunakan adalah "sesuai protokol kesehatan". Sesuatu yang mudah diucapkan, tapi sulit direalisasikan.
Kebijakan pelonggaran, terutama melonggarkan interaksi masyarakat, sudah pasti berpotensi menambah tingkat penularan. Sementara dampak ekonominya juga belum pasti berpengaruh signifikan. Bahkan, pelonggaran bisa membuat kurva jumlah kasus positif COVID-19 menjadi konsisten naik secara moderat. Ini berarti Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama agar kurva mencapai puncak dan kemudian turun. Jika dipaksakan, dikhawatirkan "new normal" akan menjadi "back to normal". Ini jelas salah arah, padahal saat ini masih kondisi darurat.
ADVERTISEMENT
Pemaksaan "new normal" yang ditandai dengan dilonggarkannya transportasi umum, pembukaan pusat perbelanjaan, pembukaan tempat ibadah, dan pengaktifan kembali bekerja di kantor, yang dilakukan sebelum kurva mulai turun, sangat berisiko. Selain belum maksimalnya uji swab secara masif, yang artinya masih banyak orang positif COVID-19 yang belum terdeteksi dan bebas berkeliaran, juga masih belum disiplinnya masyarakat dalam menaati protokol kesehatan, membuat masyarakat terbelah.
Sebagian masyarakat setuju segera masuk "new normal" dengan alasan faktor ekonomi lebih penting, sementara sebagian lagi mendukung supaya masyarakat tetap "stay at home" karena tidak yakin aman bila keluar rumah. Terbelahnya masyarakat ini juga mengesankan pemerintah akhirnya ragu-ragu dalam membuat kebijakan. Kebijakan kementerian satu dengan kementerian lain terkadang tidak sinkron. Kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah bertolak belakang. Aturan pun berubah-ubah. Akhirnya, masyarakat dibuat bingung. Ini ujian penting dari pandemi.
ADVERTISEMENT
Dalam hal Proses Pembelajaran, kebingungan masyarakat makin sempurna. Pemerintah sudah mulai bicara bahwa sekolah akan mulai dibuka di awal-awal pembukaan "new normal" bulan Juni 2020. Namun, para orang tua protes, bahkan para dokter anak juga memberikan masukan agar sekolah mulai dibuka pada Desember 2020. Situasi saat ini dirasa belum aman. Lagi-lagi pemerintah belum bisa meyakinkan masyarakat.
Informasi akan dibukanya pondok pesantren di Jawa Barat dan Jawa Timur juga terdengar nyaring. Bahkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil sudah menerbitkan Keputusan Gubernur. Konon, pesantren segera dibuka karena ada permintaan dari para pemilik pondok pesantren. Guru-guru mereka sudah tidak gajian selama pandemi. Maka, agar guru-guru bisa gajian kembali, santri harus masuk pesantren lagi. Apakah guru-guru rela gajian kembali, sementara pesantren akan menjadi klaster-klaster baru penularan COVID-19?
ADVERTISEMENT
Karena itu, Panduan Proses Pembelajaran yang disampaikan Mendikbud melegakan banyak pihak, terutama bagi orang tua yang memiliki anak usia sekolah. Pembelajaran tatap muka hanya boleh dilakukan di zona hijau. Padahal zona hijau—kabupaten yang belum terdapat kasus positif COVID-19—hanya sekitar 6 persen dari seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Artinya, proses pembelajaran di 94 persen kabupaten/kota yang masuk zona merah, kuning, dan oranye tetap harus dilakukan jarak jauh.
Saya mengapresiasi panduan ini, karena ini kebijakan langka. Akhir-akhir ini pemerintah selalu mengambil kebijakan pelonggaran, padahal data-data epidemiologi tidak mendukung. Yang diperlukan sekarang adalah tetap prosedur yang ketat, meski sebagian aktivitas ekonomi mulai dibuka kembali. Work from home (WFH) harus tetap menjadi pilihan utama. Bila semakin banyak masyarakat yang keluar rumah dan menciptakan kerumunan, itu berarti jumlah kasus positif akan terus bertambah.
ADVERTISEMENT
Dalam menangani COVID-19 ini, masing-masing pemerintah memiliki cara tersendiri. Tergantung kondisi geografis negaranya, kemampuan dana pemerintah, dan juga karakter masyarakatnya. Pemerintah telah mengambil jalan yang tidak terlalu ketat, sehingga pertambahan jumlah kasus positif akan berlangsung lebih lama dibanding melakukan langkah ketat. Tapi keputusan pemerintah ini sah-sah saja.
Namun, sebenarnya pemerintah sudah tidak lulus menghadapi beberapa ujian pandemi. Ujian pertama, saat kasus COVID-19 mulai mewabah di China dan negara-negara lain pada Januari 2020, harusnya pemerintah Indonesia segera melakukan antisipasi. Namun, pemerintah terlihat santai, bahkan terkesan menyepelekan. Padahal, kalau pada saat itu pemerintah bisa menyiapkan pembuatan secara massal alat pelindung diri (APD), maka cerita tenaga medis kekurangan APD tidak akan terjadi.
ADVERTISEMENT
Bila pemerintah saat itu mengantisipasi dengan menyiapkan pembuatan kit uji PCR secara massal, maka cerita bahwa Indonesia masih kurang dalam melakukan tes swab massal juga tidak akan menghampiri. Jika pemerintah dari awal menyiapkan laboratorium-laboratorium agar siap menguji tes PCR, maka cerita uji laboratorium tidak akan terseok-seok. Sayang sekali, ujian di awal pandemi gagal diatasi.
Ujian kedua, pada saat pemerintah menetapkan kondisi darurat dan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Masa penerapan PSBB adalah masa yang paling tepat untuk menggembleng masyarakat untuk lebih disiplin dalam menaati aturan-aturan PSBB. Namun, sayang sekali, banyak masyarakat yang tidak patuh, dan di saat yang sama, penegakan hukum juga minim.
Akhirnya, setelah 3 bulan sebagian masyarakat melakukan WFH, sebagian masyarakat tetap saja tidak disiplin. Masyarakat masih beraktivitas di pasar-pasar masih tanpa ada physical distancing, banyak masyarakat yang tidak memakai masker, anak-anak muda masih sering berkerumun, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi ujian ini juga tidak bisa dilalui dengan baik. Maka, begitu kebijakan dilonggarkan, masyarakat terlihat makin tidak disiplin. Masyarakat kehilangan kesabaran dan makin banyak keluar rumah, meski bukan untuk tujuan memenuhi kebutuhan dasarnya. Lihatlah masyarakat yang tetap berwisata menuju Puncak. Lihatlah suasana Gelora Bung Karno (GBK). Mereka memperlihatkan bahwa saat ini adalah suasana "new normal". Padahal, ibaratnya, perang belum selesai, sementara musuh masih mengintai.
Mungkin masih banyak lagi ujian di pandemi ini. Gagal dalam melewati ujian-ujian ini berarti membuang-buang waktu. Di saat sebagian negara sudah masuk ke "new normal" dengan benar, Indonesia masih mencari-cari formula penanganan. Di saat negara lain sudah sampai finish, Indonesia masih ngos-ngosan berlari.
ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT