Warga Cisadon: Selama Air Melimpah Listrik Gratis

Arinto Purnomo
Penerbitan (Jurnalistik) 2018, Politeknik Negeri Jakarta.
Konten dari Pengguna
17 Mei 2020 1:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arinto Purnomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ketua RT 04, Kampung Cisadon, Ujang Usman memperbaiki kincir air yang rusak. Dok pribadi.
Tanah subur, kekayaan alam melimpah, gugusan pulau-pulau indah, aneka ragam flora dan fauna. Orang juga sering menganggapnya surga dunia. Itulah hal-hal yang umumnya kita pikir, jika diminta menggambarkan tanah Indoensia.
ADVERTISEMENT
Rupanya, dalam lukisan-lukisan indah itu ada soal-soal yang belum dapat terselesaikan. Bukan hanya satu-dua nomor, melainkan ratusan yang harus pemerintah jawab. Ada pula yang beranak dan mengakar sehingga entah sampai kapan dapat diselesaikan. Beberapa nomor dalam soal itu mengacu pada kesenjangan sosial.
12 km dari Bukit Sentul, Bogor, terdapat sebuah kampung yang warganya masih menggantungkan hidup pada alam. Tepatnya, di Kampung Cisadon, Karang Tengah, Babakan Madang, Bogor, Jawa Barat. Memang, wilayah ini dekat dengan Ibukota. Namun, keadaan cukup belum dimiliki para penduduk di desa ini.
Akses menuju desa ini dapat ditempuh dengan jalan kaki atau menggunakan motor trail menanjak sejauh 6 km dari Jl. Prabowo, Sentul. Banyak penduduk luar desa yang senang berkunjung karena medannya cocok untuk kegiatan off-road. Bisa dibayangkan jalan untuk kegiatan semacam itu. Tanah merah berlumpur, licin, dan mudah amblas.
ADVERTISEMENT
Banyak pendatang yang singgah untuk istirahat setelah memacu motor dengan roda pacul mereka. Oleh karena itu, di sana ada dua warung kecil-kecilan menyediakan makanan ringan dan kopi. Meskipun begitu, kata Ujang Usman, ketua RT 04 Kampung Cisadon, wilayah ini belum resmi distempel sebagai kampung wisata.
Ujang menjelaskan banyak hal tentang kampung ini. Sekitar 60 penduduk di sana bergantung hidupnya dari berocok tanam dan beternak domba. Kopi dan umbi-umbian tak setiap saat bisa dipanen, terlebih saat adanya hama babi hutan. Anak-anak Cisadon hidup tanpa pendidikan formal. Memang tak ada sekolah, yang ada hanya rumah baca bantuan para relawan yang datang. Relawan kerap menyumbangkan makanan pokok dan buku bacaan anak.
Ketika panen kopi tiba, hasilnya dijual ke tengkulak yang datang ke desa atau warga yang menjual sendiri ke luar desa. Selama proses tanam, kebun kopi warga dibersihkan dan dipotong tunas-tunas barunya. Pagar bambu perlu dideretkan sepanjang keliling kebun agar tidak jadi makanan babi hutan atau domba. Warga yang membantu perawatan kebun milik sesama warga itu dapat diberi upah hingga Rp50.000 dalam sehari.
ADVERTISEMENT
Air sangatlah melimpah di Cisadon. Listrik di rumah-rumah warga bersumber dari kincir diputar arus sungai. “Selama air masih mengalir, kita nggak bayar listrik,” begitulah kata Ujang. Tidak berarti bisa boros, kecilnya daya listrik terlihat ketika malam hari. Rumah-rumah warga diterangi sebanyak-banyaknya dua lampu yang nyala berkedip-kedip.
Gelap gulita hadir ketika kincir mengalami masalah entah ketika sabuknya melar atau putus, hingga rusaknya bearing karena 24 jam berputar. Ketika kemarau, kincir yang kekurangan tekanan air dari bendungan tidak akan berputar. Memang, dibutuhkan debit air yang cukup untuk menghasilkan listrik. Kelebihan debit air juga dapat berakibat menghancurkan kincir air.
Mereka mengecek kincir air hanya ketika listrik padam. Seperti saat hujan pada 7 Februari 2020. Hujan ketika itu mengguyur Cisadon sejak pukul 14.30 WIB hingga keesokan paginya, sekitar pukul 06.00 WIB. Ujang harus turun tangan sendiri memerbaiki bearing kincir yang lepas itu. Akses ke tepi sungai tempat kincir itu berdiri dipenuhi ilalang tinggi dan tanah berlumpur yang membuat kaki gatal saat dilewati.
ADVERTISEMENT
Jangan tanya urusan sinyal telepon seluler. Untuk mengajukan atau memperoleh informasi dari atasannya lewat pesan WhatsApp, Ujang harus mencari sinyal ke titik-titik tertentu. Warga menyebut tempat itu pohon alpukat. Di sekitar pohon mati itu, biasanya mereka bisa mengakses data seluler. Jika tidak dapat sinyal juga, warga akan turun ke arah Jl. Prabowo.
Bukan hasil karangan para pengamat, relawan, atau aktivis. Bukan pula hanya cerita yang dibuat menyedihkan oleh redaksi televisi, lembah-lembah kesengsaraan itu masih dihuni jutaan penduduk Indonesia. Pada September 2019, tercatat 24,79 juta penduduk Indonesia berada dalam kondisi tidak mampu dengan tingkat kemiskinan 9,22 persen. Belum lagi, adanya pandemi Covid-19 berpotensi menambah jumlah mereka hingga 5,1 juta jiwa.
Pemerintah tentu tak hanya diam. Sebesar Rp110 triliun digelontorkan pemerintah untuk dana perlindungan mengatasi dampak pandemi Covid-19. Tak disangka, dalam era pesatnya perkembangan teknologi, soal-soal ini jadi bertambah sulit diselesaikan. Tak ada daerah yang terbebas dari masalah ini. Entah lebih buruk atau tidak nasib penduduk Cisadon di kala pandemi Covid-19.
ADVERTISEMENT