Mencegah Rasialisme dengan Mengenali Latar Belakang Genetis

Ario Bimo Utomo
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
Konten dari Pengguna
21 Februari 2017 19:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Bimo Utomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Human (Foto: Pixabay)
Dewasa ini, dikotomi istilah “pribumi” dan “pendatang” ramai menghiasi media sosial kita. Sebagian dari kita menganggap diri sebagai pribumi, dan menganggap sebagian lain sebagai keturunan pendatang. Namun demikian, bagi kita yang mengaku pribumi, pernahkah terbayang darah asal mana sajakah yang mengalir di dalam tubuh kita?
ADVERTISEMENT
Hal inilah yang kemudian mengantarkan saya untuk menelusurinya lebih lanjut. Setelah mencari-cari sejenak di internet, saya tertarik pada tes DNA yang ditawarkan AncestryDNA, sebuah perusahaan riset yang bergerak di bidang penelitian genealogi.
Salah satu produk yang mereka unggulkan adalah tes DNA untuk melacak asal-usul leluhur kita hingga ribuan tahun ke belakang. Saat ini, produk tersebut belum tersedia di Indonesia. Sehingga, ketika kini saya tinggal di Australia, saya pun tak menyiakan kesempatan untuk memesan tes ini.
Tak sampai seminggu, seperangkat alat tes DNA sampai ke alamat saya. Saya pun segera membaca instruksi yang tertera di alat tersebut, mengambil sampel saliva, dan mengirimkannya kembali ke alamat laboratorium AncestryDNA di negeri Paman Sam. Setelah menunggu kira-kira sebulan, hasil tes DNA pun dikirim ke alamat surel saya.
ADVERTISEMENT
Hasil tes DNA yang saya ambil cukup mengejutkan. Walaupun selama ini saya mengidentifikasi diri sebagai “Jawa” dan “pribumi”, gen saya rupanya tersusun dari kepingan puzzle asal-usul yang berbeda.
Hasil tes DNA saya (Foto: Dokumen Pribadi)
Rekam DNA mengindikasikan 65 persen gen saya adalah Asia Timur, di mana Indonesia tercakup di dalamnya. Walau begitu, saya berbagi gen ini pula dengan orang-orang Cina, Jepang, Korea, Vietnam, dan sekitarnya.
Hasil terbesar kedua adalah Polinesia, dengan 24 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa saya—atau mungkin masyarakat Indonesia pada umumnya—masih berbagi gen dengan masyarakat Selandia Baru, Samoa, dan Hawaii.
Selain dua kawasan dominan tadi, terdapat tiga kawasan lain yang tak saya duga sebelumnya. Hasil tes menyebutkan bahwa saya juga memiliki 8 persen gen Asia Selatan, yang berarti saya masih memiliki leluhur dari jazirah India; 2 persen gen Asia Tengah, yakni negara-negara berakhiran “stan” seperti Uzbekistan dan sekitarnya; akhirnya, 1 persen gen saya berasal dari Melanesia, mengindikasikan bahwa saya masih bersaudara dengan pace dan mace Papua.
ADVERTISEMENT
Pelajaran apa yang bisa saya petik dari sana?
Rupanya, ketika kita menyebut diri sebagai “pribumi” pun, nyatanya kita tak pernah benar-benar memiliki gen murni. Seluruh manusia modern yang ada saat ini sejatinya merupakan hasil migrasi generasi awal Homo erectus dari Afrika sekitar 1,8 juta tahun lalu (Hazarika, 2007).
Dalam bukunya, Bellwood (2005) menulis bahwa leluhur bangsa Indonesia dari spesies Homo sapiens adalah masyarakat Aborigin Taiwan yang bermigrasi ke selatan.
Penelitian dari Tumonggor dkk. (2013) juga menguatkan hal tersebut. Menurut mereka, pada zaman dahulu, Asia Tenggara merupakan sebuah daratan besar yang tak terpisah lautan.
Hal ini memungkinkan nenek moyang kita dari Taiwan untuk bermigrasi lewat jalur darat tanpa mengalami kesulitan berarti. Seiring waktu berjalan, para pendatang tersebut berkumpul, berkembang biak, dan hidup di daerah yang hari ini kita sebut sebagai Indonesia.
ADVERTISEMENT
Barangkali boleh saya katakan, bahwa masyarakat Indonesia memang dari sononya ditakdirkan untuk tidak menjadi rasis.
Bagi saya, pengalaman tes DNA ini cukup membawa pencerahan di tengah meningkatnya gelombang rasisme yang banyak muncul belakangan ini. Seandainya lebih banyak orang mengetahui informasi di balik gen yang mengalir di tubuh mereka, niscaya lebih banyak pula yang menyadari betapa mereka begitu dekat dengan manusia-manusia di belahan bumi lainnya—termasuk yang selama ini mereka benci karena perbedaan ras.
Pada akhirnya, kita semua adalah keturunan pendatang di negeri ini. Tak perlu lagi kita hiraukan dikotomi usang mengenai pribumi dan non-pribumi, karena yang penting adalah apa manfaat yang bisa kita beri sebagai warga negara Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana leluhur kita yang memutuskan berdiam di nusantara untuk mencari penghidupan baru, hal yang mampu mempersatukan kita adalah niat baik untuk berbagi Indonesia sebagai rumah bersama.
Untuk memberi gambaran apa yang saya alami, silakan simak video di bawah berikut.
Referensi
Hazarika, M., 2007. Homo Erectus/Ergaster and Out of Africa: Recent Developments In Paleoanthropology And Prehistoric Archaeology.
Bellwood, P., 2005. First farmers. The Origins of Agricultural Societies.
Tumonggor, M.K., Karafet, T.M., Hallmark, B., Lansing, J.S., Sudoyo, H., Hammer, M.F. and Cox, M.P., 2013. The Indonesian archipelago: an ancient genetic highway linking Asia and the Pacific. Journal of Human Genetics, 58(3), pp.165-173.
ADVERTISEMENT