Perpeloncoan dan Salah Kaprah Pembinaan Mental

Ario Bimo Utomo
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
Konten dari Pengguna
19 Desember 2021 22:24 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Bimo Utomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perpeloncoan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perpeloncoan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu silam, publik gempar dengan kasus MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), yang dirundung oleh rekan-rekan kerjanya yang lebih senior. Belum usai dengannya, ada lagi kabar pilu lain yakni tewasnya Gilang, seorang mahasiswa Universitas Sebelas Maret saat menjalani pelatihan Resimen Mahasiswa. Ditengarai, Gilang mengalami tindak kekerasan selama menjalani pelatihan.
ADVERTISEMENT
Kasus MS dan tewasnya Gilang mengungkap sebuah benang merah, yakni bahaya laten budaya perpeloncoan dalam masyarakat kita. Kedua kasus tersebut sejatinya sangat dapat dicegah. Namun, tanpa mendapat perhatian yang tepat, potensi munculnya rentetan kasus lain akan tetap ada. Tentu saja itu bukan hal yang kita inginkan dalam sebuah masyarakat yang beradab.
Ironisnya, justru budaya perpeloncoan ini dimulai dari lingkungan pendidikan, karena perpeloncoan banyak ditemui di sekolah atau universitas. Contoh dari praktik perpeloncoan itu adalah perintah untuk menggunakan kostum tak lazim, atribut yang memberatkan, kekerasan verbal, hingga eksploitasi fisik. Tak jarang pula kasus perpeloncoan ini memakan korban jiwa.
Kecanggihan teknologi pun tak serta-merta menghilangkan budaya perpeloncoan. Meskipun dua tahun belakangan ini pembelajaran dilaksanakan secara daring, nyatanya laporan tindak kekerasan masih tetap ada. Budaya kekerasan masih ada, namun ia hanya berpindah moda. Tadinya, ia dilakukan langsung, kini ia terjadi dari balik layar. Contohnya adalah perpeloncoan daring yang terjadi dalam orientasi mahasiswa baru di Universitas Negeri Surabaya pada 2020 silam. Miris, tapi itu realitanya.
ADVERTISEMENT
Salah kaprah yang mengakar
“Dunia itu keras dik, makanya kami keras ke kalian!”
Saya yakin banyak dari kita pernah mendengar ujaran semacam itu dalam masa orientasi pendidikan kita di Indonesia. Intinya, perpeloncoan diposisikan sebagai sebuah necessary evil yang harus dijalani saat menapak jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Umumnya, terdapat tiga dalih yang digunakan oleh kelompok pembenar budaya perpeloncoan. Pertama, bahwa perpeloncoan dapat membentuk karakter mental yang tangguh. Kedua, bahwa perpeloncoan dapat meningkatkan solidaritas. Ketiga, bahwa perpeloncoan akan meninggalkan sebuah cerita yang dapat dikenang ketika tua. Benarkah demikian?
Sayangnya, sejumlah penelitian justru membuktikan bahwa dalih-dalih di atas hanyalah isapan jempol belaka. Mari kita kupas satu per satu.
Pertama, dalih bahwa perpeloncoan dapat membentuk mental tangguh. Jika tangguh di sini kita artikan sebagai sikap mandiri dan dapat berpikir kritis, maka dalih pertama ini omong kosong. Sebuah studi dari Mercuro dkk. yang berjudul “The Effects of Hazing on Student Self-Esteem” justru menyimpulkan bahwa alih-alih membina mental tangguh, perpeloncoan justru berdampak negatif pada kepercayaan diri remaja. Dalam penelitiannya, Mercuro dkk menggunakan sampel dari 78 orang mahasiswa di Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Penelitian ini menemukan bahwa kelompok siswa yang pernah mengalami perpeloncoan cenderung memiliki skor kepercayaan diri yang lebih rendah dibanding kawannya yang tak mengalaminya. Rendahnya kepercayaan diri ini misalnya nampak dari bagaimana korban perpeloncoan selalu merasa tertekan untuk mengikuti ekspektasi seniornya. Angka ini kian tinggi prevalensinya di kalangan mahasiswa laki-laki yang menjadi anggota organisasi persaudaraan kampus (fraternity). Di Amerika Serikat, memang organisasi persaudaraan kampus adalah salah satu lembaga yang banyak dilaporkan memiliki kasus perpeloncoan.
Selain itu, penelitian lain juga membantah anggapan bahwa perpeloncoan bisa menciptakan mental tangguh. Penelitian mereka justru menemukan apabila tindak perpeloncoan cenderung memunculkan ketergantungan sosial. Mahasiswa yang mengalami perpeloncoan akan cenderung tergantung pada validasi dari kelompok mereka dan kurang berani mengambil keputusan. Lebih parahnya, kondisi tersebut berpotensi menjadi lahan subur untuk indoktrinasi. Tentu saja hal ini tak sejalan dengan upaya pendidikan untuk menciptakan cara berpikir merdeka.
ADVERTISEMENT
Dalih kedua yang perlu disanggah adalah anggapan bahwa perpeloncoan dapat meningkatkan solidaritas. Dalih menyebalkan ini sering saya dengar untuk membenarkan tindak perpeloncoan. Namun, lagi-lagi hal ini dapat dibantah oleh sebuah studi empiris. Pada tahun 2007, sejumlah peneliti dari University of Southern Alabama menguji hubungan antara perpeloncoan dan solidaritas tim. Menggunakan partisipan yang terdiri atas 167 atlet dari 5 cabang olahraga berbeda, penelitian tersebut menyebutkan bahwa perpeloncoan justru berdampak negatif pada kekompakan tim dalam mengerjakan suatu tugas. Sebagai gantinya, penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas simpatik seperti bakti sosial dan karyawisata justru berdampak positif bagi solidaritas tim.
Kemudian, dalih ketiga yang sering menjadi pembenaran perpeloncoan adalah bahwa ia akan meninggalkan cerita berkesan untuk dikenang di masa tua. Bagi saya, dalih ketiga ini terlalu konyol untuk repot-repot disanggah dengan penelitian ilmiah.
ADVERTISEMENT
Cukuplah kita gunakan akal sehat saja: apakah kesan masa muda kita mau didapat lewat momen-momen bermanfaat, atau lewat momen-momen kekerasan nirfaedah yang hanya memunculkan ilusi kegagahan semu?
Dari penjelasan singkat di atas, sebenarnya kita dapat melihat bahwa membenarkan perpeloncoan dengan dalih pembinaan mental adalah sebuah salah kaprah. Sayangnya, hal ini terlanjur menjadi fenomena yang mendarah daging. Adalah tugas kita untuk mencegahnya berlarut-larut menjadi sebuah budaya yang normal.
Menuju pembinaan mental yang sesungguhnya
Patut diakui, pembinaan mental adalah sebuah hal penting. Namun, yang kita butuhkan adalah pembinaan dalam arti sebenarnya, bukan unjuk kuasa berdalih serupa. Sudah saatnya kita mengembalikan makna pembinaan mental sebagai aktivitas yang berujung pada kesehatan, bukan kehancuran mental. Saya percaya bahwa semuanya dapat dimulai dari lingkungan pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, kita masih punya banyak pekerjaan rumah terkait kesehatan mental di dunia pendidikan. Pertama, kalangan pelajar dan mahasiswa adalah kelompok yang rentan mengalami stres, depresi, dan gangguan beradaptasi. Kemudian, masih ramai pula stigma penyakit mental sebagai sesuatu yang tabu dibahas, padahal dampaknya tak kalah berbahaya dibanding penyakit jasmani. Harusnya ini dapat menjadi pintu masuk bagi diskursus tentang pembinaan mental, tentunya dengan syarat bahwa pembinaan tersebut tak dilakukan lewat perpeloncoan.
Mengenai hal ini, tentu saja pihak lembaga pendidikan harus proaktif. Sebagai pranata yang berfungsi menanamkan nilai-nilai masyarakat, lembaga pendidikan perlu menunjukkan komitmen untuk selalu menciptakan ruang aman bagi kesehatan mental peserta didik. Dalam hal ini, pembinaan mental dapat difasilitasi lewat materi tentang cara menjaga kesehatan mental di kampus, termasuk mengenali gangguan mental serta penanggulangannya. Di sisi lain, penyediaan sarana fisik seperti pusat konseling atau hotline pengaduan juga sebaiknya menjadi prioritas bagi setiap lembaga pendidikan.
ADVERTISEMENT
Membudayakan relasi sehat antara senior dan junior adalah hal tak kalah penting. Umumnya, perpeloncoan terjadi di masa orientasi karena adanya penyalahgunaan relasi kuasa antara senior-junior. Kondisi ini dapat ditanggulangi lewat penanaman budaya mentor sebaya (peer-mentorship) dalam masa orientasi. Dengan budaya tersebut, senior tak hanya menjadi penyelenggara masa orientasi dalam jangka pendek. Namun, mereka juga dilatih agar memberi pendampingan atas transisi junior ke lingkungan barunya selama satu tahun ke depan. Cara ini telah dilakukan di beberapa perguruan tinggi dan saya yakin dapat pula direplikasi secara luas.
Untuk meningkatkan kualitas mentor, lembaga pendidikan dapat melakukan pelatihan intensif bagi calon mentor sebaya. Hal ini demi menjamin bahwa senior-senior yang terpilih sebagai mentor adalah orang-orang berkompeten. Di akhir masa orientasi, lembaga dapat meminta laporan pertanggungjawaban kepada setiap mentor untuk menjadi bahan evaluasi.
ADVERTISEMENT
Budaya mentor sebaya dapat kita lihat sebagai contoh pembinaan mental yang ideal. Bagi senior, budaya ini akan melatih jiwa kepemimpinan dan welas asih. Di sisi lain, junior pun diuntungkan karena mentor sebaya membuat mereka merasa diterima dengan aman di lingkungan barunya. Dari sanalah akan muncul iklim saling respek antara senior maupun junior. Mental kolaboratif ini jauh lebih sehat ketimbang mental yang dipupuk lewat perpeloncoan.
Saya yakin bahwa memutus salah kaprah perpeloncoan sebagai “pembinaan mental” adalah salah satu jalan mengurangi tindak kekerasan di Indonesia. Pembinaan mental harus benar-benar dilandaskan pada studi berbasis ilmiah agar dapat kembali pada hakikatnya. Untuk itu, lembaga pendidikan seperti sekolah ataupun universitas perlu menjadi garda terdepan. Dengan demikian, kasus yang menimpa MS maupun Gilang tak perlu lagi terjadi di masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, bersediakah kita menurunkan ego untuk mengakui salah kaprah tersebut dan memulai budaya baru?