Tentang Melawan Penistaan Agama

Ario Bimo Utomo
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
Konten dari Pengguna
26 Mei 2017 13:56 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Bimo Utomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi toleransi agama (Foto: Tumblr)
"Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri." - Bung Karno
ADVERTISEMENT
Drama Pilkada DKI telah berakhir, begitu pula dengan sidang isu penistaan agama yang melibatkan sang gubernur petahana nan kontroversial. Meskipun demikian, tidak halnya dengan pro ataupun kontra yang masih mewarnai perbincangan di masyarakat. Lantas, hikmah apakah yang bisa kita petik setelah ini? Cukupkah bagi kita untuk hanya tegas terhadap penistaan agama yang berasal dari luar umat?
Sebelumnya, ada baiknya kita punya pemahaman sama soal penistaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “nista” berarti “hina” atau “rendah”, sedangkan kata kerja “menistakan” sama halnya menjadikan (menganggap) nista; menghinakan; merendahkan (derajat dan sebagainya). Dengan demikian, bila dikaitkan dengan definisi di atas, istilah penistaan agama berarti sebuah tindakan yang menjadikan agama nampak rendah atau hina. Jika kita menerima definisi ini, tentu saja ia tak berhenti di perilaku menghina atau merusak tempat ibadah; ia mencakup pula perilaku yang mampu merusak citra agama tersebut dari dalam.
ADVERTISEMENT
Kita mungkin boleh puas apabila orang yang melakukan penghinaan--sebagai salah satu bentuk penistaan terhadap Islam--mendapatkan efek jera. Namun demikian, tidak cukup bagi kita untuk hanya tegas kepada ucapan-ucapan negatif dari luar. Islam hanya akan nampak nista sejauh apabila hinaan-hinaan dari luar itu kita benarkan.
Ilustrasi Bela Islam (Foto: mojok.co)
Lantas, siapakah yang paling berpotensi untuk menistakan agama? Kita sendiri, penganutnya.
Islam tidak akan otomatis menjadi nista oleh para Islamofobik yang ada di Eropa sana, tidak karena kebijakan diskriminatif Donald Trump, tidak pula oleh ucapan dari mereka yang tak memahami Islam. Mengapa? Sederhana, karena tindakan mereka, sampai kapanpun, tak akan dinilai sebagai representasi dari umat Islam.
Justru perilaku kitalah, yang setiap hari membawa identitas muslim ke manapun kita pergi, yang akan dinilai sebagai cerminan agama ini. Bagi minoritas seperti saya, label muslim adalah sebuah tanggung jawab besar. Di tengah berita-berita negatif mengenai Islam, hidup kami tak hentinya menjadi sorotan. Dengan demikian, saya dan rekan-rekan muslim yang ada di sini pun selalu berusaha agar mampu memunculkan citra Islam yang ramah. Sebagian mereka boleh saja memandang muslim secara negatif. Namun, selama kami tidak membenarkan hal tersebut dengan terus berperilaku baik, kami yakin bahwa pandangan keliru itu bisa dibalik.
ADVERTISEMENT
Melakukan teror, sementara Islam mengajarkan menghargai nyawa seseorang, itu penistaan agama. Menyebarkan hoax dengan dalih dakwah, sementara Islam mengajarkan kejujuran, itu penistaan agama. Melakukan korupsi, sementara Islam melarang pengambilan harta haram, itu penistaan agama. Menggunakan kata-kata kotor dan cyberbullying untuk mengkritik perilaku seseorang, sementara Islam mengajarkan bertutur lembut, itu penistaan agama.
Apakah dengan perilaku-perilaku tersebut dunia akan simpati dengan Islam? Silakan pikirkan sendiri.
Sebenarnya, secara tidak langsung kita pun pernah mencederai citra luhur Islam dengan perilaku kita sendiri. Bung Karno, dengan kutipan yang saya pinjam di atas, agaknya benar. Menudingkan jari pada penistaan yang dilakukan oleh pihak luar jauh lebih mudah ketimbang melihat borok diri sendiri. Sayangnya, terkadang kita terjebak dalam pemikiran bahwa mengkritik perilaku buruk sesama muslim sebagai perilaku memojokkan Islam. Padahal, kita semua tahu bahwa Islam sempurna namun muslim tidak.
ADVERTISEMENT
Beranikah kita mengatakan nol toleransi untuk segala perilaku yang mampu membawa citra buruk Islam? Apabila belum sanggup, paling tidak mari mulai dari diri sendiri dengan tidak melakukan hal yang mampu membuat Islam dipandang buruk. Tentu saja kita tidak ingin disebut munafik karena membenci suatu perilaku namun perilaku tersebut sejatinya ada dalam diri kita.
Pekerjaan rumah yang lebih besar bagi kita bersama, tentu saja, adalah hidup dengan menginternalisasi nilai-nilai Islam yang mulia sebaik mungkin. Sudah seharusnya Islam terkenal melalui citra-citra positif, bukan lewat perilaku negatif yang lazim disuarakan belakangan ini. Kita boleh marah, namun mari konversi kemarahan tersebut menjadi semangat untuk membuktikan bahwa opini mereka keliru, bukan dengan jalan menebar kebencian.
ADVERTISEMENT
Semoga kita senantiasa diberi kelapangan hati untuk mampu melihat kekurangan diri sendiri. Amin ya Rabbal Alamin.