Indonesia Bukan Cuma Presiden

Ario Tamat
Failed Musician, Reformed Gadget Freak and Eating Extraordinaire. Previously Wooz.in and Ohdio.FM, now working on karyakarsa.com
Konten dari Pengguna
17 Januari 2019 11:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Tamat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Malam ini adalah jadwal debat calon presiden pertama, menjelang pemilu di April 2019. Dan belum apa-apa saya sudah muak.
Berpikir soal “muak”saja membuat saya berpikir bahwa mungkin ada yang sengaja membuat beberapa kalangan muak sama pemilu, supaya pada akhirnya golput. Padahal dalam pemilihan umum langsung seperti ini, setiap suara berdampak pada hasil akhirnya. Tapi saya pun muak dengan teori-teori konspirasi seperti ini.
ADVERTISEMENT
Saya muak dengan pihak-pihak, siapapun mereka, yang berusaha membentuk opini dengan berita bohong atau menjelek-jelekkan salah satu paslon, memutar-mutar konteks supaya terlihat jelek (atau bagus). Saya muak dengan orang-orang yang merasa pintar karena bisa berbuat ini, padahal, mencari uang di dalam sebuah masyarakat ada tanggung jawab sosialnya juga.
Dan saya juga muak dengan polaritas yang seperti dipaksakan menjadi satu-satunya paradigma yang relevan dalam kehidupan bernegara, yang nyaris sudah menjadi mitos tersendiri: cebongers vs kampreters. Kedua istilah ini sampai seolah-olah memiliki nyawa sendiri, mempunya karakteristik dan atribut sendiri, sebagai generalisir atau stereotip atas “lawan”, yang nyatanya tidak sesuai kenyataan. Dan saya muak dengan orang yang terjebak dengan polaritas ini, memberi makan kebencian terus-menerus. Mem-bypass otak yang berpikir kritis dan menggali emosi-emosi negatif untuk memperkuat polaritas tersebut.
ADVERTISEMENT
Apalagi, karena banyak dari orang Indonesia sebenarnya punya krisis kepercayaan diri, sangat mudah untuk melibas identitas diri tersebut dengan identitas kelompok - tinggal dikasih sinyal-sinyal sedikit yang mirip dengan belief system dia, nanti propaganda sisanya tinggal dimakan seperti halnya beli paket hemat di McDonald’s.
Padahal ya, orang Indonesia kan beragam.
Nggak perlu kita bicara soal suku, agama, ras.
Yang dibutuhkan beragam. Yang diinginkan beragam.
Ada seorang ibu-ibu di Makassar sedang berpikir keras bagaimana caranya bisnis sambalnya bisa menjual ke luar daerah.
Ada pengusaha umroh yang berupaya mencari bisnis di tengah tercorengnya industri umroh, hanya karena beberapa pemain kotor.
Ada pendiri startup yang butuh mentor.
Ada mahasiswa yang mending mikirin masa depan bangsa, mikir ujian akhir semester aja belum tentu.
ADVERTISEMENT
Ada pemuda yang mengalami perang batin antara seksualitasnya dan tekanan sosial.
Ada yang peduli dengan nasib bangsa, namun setiap kali menginjakkan kaki ke arah politik, langsung cepat-cepat menarik diri.
Ada yang ingin kritis namun dicemooh teman-temannya, karena kritis dianggap menjelek-jelekkan.
Ada yang lagi pedekate, bodo amat lah sama pemilu.
Ada yang lagi mikir mau ganti HP apa, atau sepeda apa.
Ada yang sibuk sama pitch klien sampai lupa bahwa ini tahun 2019.
Ada yang pengen sehat tapi udah mulai merokok lagi kemarin.
Kalaupun memang ingin dengan sadar memakai baju “saya pendukung paslon X/Y”, ya tidak masalah. Tapi memangnya itu yang mendefinisikan kita? Seolah-olah kalau dukung X, pasti jadi musuh Y. Padahal diri kita itu multidimensi, dan politik pun lebih dalam dan luas ketimbang pendukung paslon siapa.
ADVERTISEMENT
Jangan mau direduksi menjadi sebuah pilihan biner. Pelajari isu-isu, pelajari konsep dan visi misi, dan hadapi dengan sikap kritis yang sama untuk siapapun yang kamu dukung (atau kamu tidak dukung). Karena yang membuat Indonesia maju atau mundur itu bukan hanya presiden, tapi kita! Masa depan Indonesia tidak ditentukan hanya oleh pemilu, tapi oleh sikap kita juga.
Kita bisa lebih baik dari ini. Indonesia bisa lebih baik dari ini.