Keributan RUU Permusikan, Industri Musik, dan Aktivisme Musikus

Ario Tamat
Failed Musician, Reformed Gadget Freak and Eating Extraordinaire. Previously Wooz.in and Ohdio.FM, now working on karyakarsa.com
Konten dari Pengguna
5 Februari 2019 12:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Tamat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Glenn Fredly dan Anang Hermansyah
zoom-in-whitePerbesar
Glenn Fredly dan Anang Hermansyah
ADVERTISEMENT
Kemarin, atas ajakan yang saya dapat dari sebuah grup chat bernama Musik Ventura, saya datang ke W&S Cilandak Town Square, untuk berkumpul dengan musikus-musikus dan mendengarkan Bedah RUU Permusikan.
ADVERTISEMENT
Walaupun saya tidak bekerja sebagai musikus secara profesional, tetapi karena saya pernah terlibat di industri musik dan selalu mendukung pemberdayaan musikus yang lebih kuat, saya coba ikuti.
Walaupun ke sana dengan kenal paling satu dua orang. Saya sebenarnya datang hanya dengan satu pertanyaan: Bagaimana caranya kita menggagalkan RUU ini?
Membaca draft RUU-nya, memang mengkhawatirkan. Meskipun sertifikasi profesi menjadi sesuatu yang lumrah di industri lain, rentang keahlian dan penerapan seorang musikus profesional itu sangat lebar, belum lagi soal ekspresi seninya, sehingga menurut saya agak sulit dibuat standar sertifikasinya.
Mungkin bisa untuk musikus sebagai sifat jasa, yaitu sebagai session player atau instruktur misalnya, dapat ada sertifikasi. Tapi untuk yang musikus dengan orientasi kreasi dan hiburan? Saya rasa agak sulit. Belum lagi soal badan sertifikasinya bagaimana, siapa yang mengisi, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Dan pasal yang paling kontroversial adalah Pasal 5 yang pada dasarnya berisi larangan terhadap isi dari sebuah lagu, sampai ada penyebutan “pengaruh barat yang negatif” segala.
Tentunya, pasal ini sangat bermasalah karena rentan multitafsir, sesuatu yang sangat berbahaya dalam pasal yang mengandung sanksi pidana. Berisiko digunakan sebagai pembelengguan kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran lisan dan tulisan sebagaimana sudah tertera dalam UUD 1945.
Saya rasa sudah banyak yang mengulas dan mengkritik tajam soal RUU ini, baik dari RUU-nya sendiri, dan naskah akademiknya yang sangat lemah.
Bedah RUU atau Sidang Anang Hermansyah?
Anang Hermansyah. Foto: Munady Widjaja
Kembali ke acara kemarin. Glenn Fredly memulai dengan memberi penjelasan soal proses munculnya RUU ini, yang ternyata sudah mulai didiskusikan dari tahun 2015, dan substansinya dalam Konferensi Musik Indonesia pertama di tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Rekomendasi dari Konferensi Musik Indonesia ada 12 hal dengan 3 hal yang menjadi prioritas (saat ini saya lupa apa saja), yang kemudian diserahkan ke DPR sebagai bahan pertimbangan pembuatan RUU Permusikan.
Walaupun memang di konferensi tidak disebutkan bahwa ada materi yang akan menjadi cikal bakal RUU Permusikan, hasil dari konferensi memang, dari sudut pandang KAMI sebagai penyelenggara, diserahkan kepada DPR.
Kemudian ada peneliti dari Koalisi Seni Indonesia, yang kegiatannya adalah advokasi seni dan berperan dalam pembentukan UU Pemajuan Kebudayaan, menjelaskan proses yang dilalui RUU sebelum disahkan menjadi UU, dan membahas beberapa pasal yang bermasalah.
Setelah itu, Anang Hermansyah muncul dan memberikan keterangan langsung soal proses ini, bahkan memanggil ketua Badan Legislasi DPR untuk turut menjelaskan soal RUU ini, dan bahwa justru karena ini memang draft, masih bisa diberikan masukkan dan pasal-pasal yang bermasalah, ekstremnya, “dicoret saja”.
ADVERTISEMENT
Anang pun mengundang tak kurang dari 6 orang lain untuk berbicara di depan, sepertinya untuk menguatkan posisinya (yang notabene sudah dihujat-hujat di sosial media berhari-hari) bahwa ini adalah proses, tak hanya tangan dia di dalamnya.
Sementara itu, hadirin mulai tidak sabar masuk dalam proses tanya jawab dan sepertinya tak sedikit yang ingin “menyidang” Anang. Bisa jadi Anang mengulur waktu juga (karena dia harus segera pergi) supaya tanya jawabnya tidak berkepanjangan.
Naskah Akademik yang Cacat Proses
Pada akhirnya sudah masuk sesi tanya jawab setelah agak dipaksa Glenn. Pertanyaan pertama dari mbak Rara, pada intinya, menggugat naskah akademik yang di antara berbagai sumber, mencatut sebuah blog anak SMK sebagai sumber.
ADVERTISEMENT
Ini memang aneh sih. Namun di antara sumber lain, buku yang disusun oleh Dina Dellyana et al juga dicantumkan sebagai sumber. Dan, katanya, penyusunan naskah akademik pun sudah melalui mendapat masukan dari beberapa musikus; lantas hasilnya kenapa begitu? Dengan hasil Konferensi pun seperti bertolak belakang.
Di sisi lain, kekurangan teks akademik atau teks lain yang bisa dijadikan acuan untuk industri musik Indonesia mungkin jadi penyebabnya--kalau banyak makalah sampai tingkat S3 membicarakan musiknya sendiri, bisa jadi masih sedikit peneliti yang membahas soal ekosistemnya (dengan Dina sebagai perkecualian, saya belum tahu ada yang lain atau tidak).
Masuk Prolegnas Bukan Langsung Disahkan
Salah satu kehebohan mengenai RUU Permusikan adalah masalah urgensi, terutama karena ternyata masuk ke prolegnas (jangan tanya saya itu singkatan apa) urutan no.48.
ADVERTISEMENT
Tentunya kami khawatir, sebuah UU dengan substansi yang tidak jelas ini disahkan menjadi hukum, mengulang “kecolongan” yang terjadi pada UU Perfilman saat Orde Baru. Namun ternyata, masuk prolegnas itu keputusan anggota DPR, supaya bisa dibahas dalam sidang DPR.
Setelah itu, masih ada proses tawar menawar dengan pemerintah, sebelum akhirnya disahkan jadi UU. Intinya, kalaupun proses ini berjalan terus, masih banyak tahap yang dapat melibatkan musikus untuk merevisi, atau bahkan menggagalkan RUU ini.
Belum Tentu Perlu UU Soal Permusikan
Salah satu pernyataan tanya jawab datang dari Marcell, yang pada dasarnya bilang kalau masih RUU, bisa saja dibatalkan. Dan dia mempertanyakan apakah memang perlu dibuat UU, bisa saja dibuatkan Keppres atau Permen dengan landasan UU yang sudah ada (misalnya UU Pemajuan Budaya dan UU Hak Cipta), untuk membuat tata kelola industri musik, yang sebenarnya tujuan adanya RUU Permusikan ini. Valid.
ADVERTISEMENT
Namun sebelum akhir acara, Glenn menutup dengan memberikan pertimbangan bahwa pada dasarnya, aturan setingkat UU diperlukan untuk menjamin pemerataan kesempatan dan pengetahuan untuk pelaku industri musik di Indonesia, dengan perhatian ke Indonesia Timur.
Masih perlu banyak diskusi lagi soal ini sepertinya, karena saya belum terbayang seperti apa permasalahan-permasalahannya.
Aktivisme Seputar RUU
Yang namanya musikus kan orangnya aja beda-beda, tentunya mereka berkreasi secara berbeda-beda, dan memiliki pendapat dan tujuan yang berbeda-beda pula.
Maka, walaupun menurut pengamatan saya terhadap musikus-musikus dan pemerhati industri di sekitar saya pada umumnya menolak RUU yang sekarang, tentunya jalan ke depan belum tentu sepakat.
Salah satu yang tidak terjelaskan dengan baik pada pertemuan kemarin adalah opsi apa saja yang dimiliki para pelaku industri untuk mengawal atau menggagalkan RUU, hanya ada gambaran kasar saja (“RUU bisa dibatalkan,” kata Marcell).
ADVERTISEMENT
Karena “Mas Anang Show”-nya kelamaan dan tanya jawabnya jadi terlalu pendek, sesi tanya jawab lebih banyak mengungkap berbagai kekecewaan dan opini dari para musikus dan belum sampai strategi untuk menanggapi RUU ini.
Langkah awal yang sangat baik adalah petisi dari Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan, namun haruskah ini menjadi satu-satunya sikap dari musikus? Mengapa beragamnya pendapat dan pola pikir musikus harus disederhanakan menjadi pilihan biner, menolak atau mendukung, seperti hal-hal lain dalam suasana politik hari ini? Apalagi kalau jadi bermusuhan.
Yang dibutuhkan adalah diskusi demi diskusi demi mencapai kompromi--itulah politik sesungguhnya--ketimbang menggambar garis imajiner di tanah.
Ini belum lagi soal beberapa suara yang menyatakan “kok RUU Permusikan berisik, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ke mana aja?”
ADVERTISEMENT
Ini juga yang perlu dipikirkan oleh aktivisme politik musikus hari ini--bukannya kalau menggugat satu RUU jadi wajib menggugat proses RUU yang lain, tapi energi dan social capital-nya bisa dimanfaatkan ke mana, karena toh banyak musikus adalah public figure.
Keberpihakan tidak harus pada capres atau partai--bisa juga untuk satu tujuan spesifik seperti menolak RUU Permusikan. Mungkin, ada beberapa yang bisa mengeksplorasi lebih jauh (yang sudah dilakukan segelintir musikus dengan agenda aktivisme).
Tapi tidak berarti ini adalah tawaran all or nothing--spektrum pendapat dan pergerakan tetap perlu. Masa semua jadi aktivis?
Dampak ke Industri Musik
Pastinya kalau sampai ada UU Permusikan, diharapkan dengan dampak yang baik pada komponen esensial industrinya, yaitu para musikus.
ADVERTISEMENT
Sempat disebut soal sejenis upah minimum dan persoalan mengenai serikat--tapi ingat, adanya serikat berarti adanya manajemen keanggotaan, yang sering berarti adanya persyaratan.
Apakah memang musikus Indonesia dapat bersatu dalam satu--atau beberapa--serikat untuk memperjuangkan kepentingannya? Ini yang sepertinya belum terjadi sampai saat ini, sepengetahuan saya (mohon dikoreksi kalau salah).
Tapi apakah adanya serikat musikus harus diundangkan? Ya kalau fungsinya UU adalah “memaksa” industri untuk mengakui dan menjawab permintaan dari sebuah serikat musikus, ya berarti memang perlu UU.
Kan kita bisa anggap adanya RUU Permusikan di prolegnas sebagai sebuah “selongsong” yang dapat kita ganti isinya. Dan ini baru satu hal kemungkinan yang akan berdampak ke industri musik.
Langkah Selanjutnya Apa?
ADVERTISEMENT
Yang belum jelas dari pertemuan kemarin, sekali lagi, adalah apa yang bisa dilakukan musikus baik untuk merevisi ataupun menggagalkan RUU Permusikan.
Ada pilihan apa saja, apa yang harus dilakukan, siapa saja yang harus melakukannya. Saya rasa ini yang lebih mendesak sekarang. Pernyataan tolak sudah jelas. Dan saya yakin, ada juga yang berpendapat bahwa revisi adalah jalan keluar yang lebih baik.
Caranya bagaimana? Inilah langkah aktivisme musikus yang lebih baik dipikirkan sekarang.