Memeriksa Premis "Data Itu Penting" Dalam Berbisnis Musik

Ario Tamat
Failed Musician, Reformed Gadget Freak and Eating Extraordinaire. Previously Wooz.in and Ohdio.FM, now working on karyakarsa.com
Konten dari Pengguna
8 April 2019 16:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ario Tamat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saat mencoba sebuah daftar putar pada tablet Windows. Pranala daftar putar -> https://open.spotify.com/user/barijoe/playlist/0iGQRwJi1gSXv6uh821TEl?si=czK_mzkjSMmuBYoxT-KrfQ
zoom-in-whitePerbesar
Saat mencoba sebuah daftar putar pada tablet Windows. Pranala daftar putar -> https://open.spotify.com/user/barijoe/playlist/0iGQRwJi1gSXv6uh821TEl?si=czK_mzkjSMmuBYoxT-KrfQ
ADVERTISEMENT
Rasanya, kalau sekilas menyandingkan kata “data” dengan “musik”, mungkin akan terdengar aneh, atau malah orang berpikir soal ID3 tag atau penamaan file MP3 supaya sesuai format yang baik ditampilkan pada MP3 Player. Namun, jauh sebelum musik bertemu format yang bernama MP3 ini, data sudah memiliki peranan penting.
ADVERTISEMENT
Semenjak industri musik seolah lekat dengan industri musik rekaman, dan pertumbuhan industrinya didefinisikan oleh banyaknya penjualan piringan hitam, kaset atau CD, data sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pengambilan keputusan. Adanya data penjualan album sebelumnya yang sejenis, atau dari artis yang sama, seringkali menjadi acuan untuk memprediksi penjualan album baru, yang biasanya menentukan seberapa besar biaya pemasaran yang akan diinvestasikan.
Ini juga alasannya mengapa album artis baru seolah tak mendapatkan investasi pemasaran banyak di awal. Pola rilisan album dari perusahaan rekaman dahulu tak banyak berubah: melakukan kegiatan public relations dahulu dan merilis single ke radio untuk mengukur minat pendengar (termasuk radio charts). Baru sedikit-sedikit keluar uang promosi seiring dengan rilisnya album, untuk kemudian dilihat performa penjualannya. Kalau performa charts dan penjualannya tak baik, biasanya investasi pada album tidak akan dilanjutkan; atau dipertimbangkan untuk strategi single berikutnya. Dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Data, data, dan data. Kalau produk musiknya sudah sampai pada tangan tim produk dan pemasaran, acuan-acuan data ini yang menjadi penentu hampir segalanya. Dan data yang hidup di “latar belakang” industri musik - yang biasanya bukan sesuatu yang dihadapi langsung oleh konsumen - yang menjadi konteks soal data dalam artikel ini.
Sebuah artikel yang terbit minggu lalu di Hypebot cukup membuat saya berpikir panjang mengenai berbagai isu yang diangkat dalam artikel tersebut. Artikel ini sebenarnya membahas soal pre-add dan pre-save, kurang lebih versinya pre-order dalam dunia streaming. Bedanya adalah, pre-add atau pre-save itu sebenarnya “hanya” menyimpan sebuah lagu yang belum dirilis ke sebuah daftar putar lagu, dan bukan transaksi pemesanan unduhan lagu sebelum lagunya dirilis. Kalaupun pre-add dan pre-save bisa menjadi tolak ukur data mengenai minat terhadap sebuah lagu di pasaran, dia tidak dapat disamakan dengan prakiraan penjualan yang didapat dengan pre-order.
ADVERTISEMENT
Kalau ingin baca lanjutan artikel ini, silakan mendaftar di nawala Musik, Teknologi dan Bisnis di Indonesia yang juga akan menyediakan buku-el gratis berjudul sama.