Peneguhan Hak Kreator Adalah Tanggung Jawab Kita Bersama

Sebagai kreator yang lebih banyak gagalnya, saya kagum sekali dengan kreator-kreator yang produktif. Gak ada angin gak ada hujan bisa tiba-tiba bikin cerpen lagi, bikin lagu lagi, bikin komik lagi. Dorongan untuk berkreasinya, yang biasanya dibantu dengan latihan bertahun-tahun sehingga apa yang mereka lakukan nampak effortless, sungguh adalah bakat yang hanya menyentuh orang-orang terpilih.

Sayangnya banyak di antara mereka tak peduli atau belum paham akan potensi bisnis dari daya kreasinya. Padahal kreator yang berhasil menjadikan kegiatan kreasinya sebagai karier adalah mereka yang setidaknya paham bisnis; paham bagian hukumnya, termasuk soal Hak Kekayaan Intelektual (HKI); dan paham soal siapa saja yang bisa membantu mengurus hal-hal tersebut. Tanpa itu, kreator-kreator yang sebenarnya sangat berbakat memikat penggemar dengan karyanya belum tentu bisa hidup dari hasil kreasinya, sehingga ia terpaksa mencari sesuap nasi dengan mengerjakan hal lain, atau tetap berkarya tanpa peduli soal monetisasi.

Kelompok muda-mudi di balik Citayam Fashion Week adalah salah satu contohnya. Kegiatan mereka—setidaknya dari pengamatan saya—terlihat spontan namun konsisten, dan secara organik melahirkan kebiasaan yang terinspirasi dari fashion show dunia yang bagi sebagian besar orang (termasuk saya) hanya bisa dilihat lewat layar. Secara naluriah, Dukuh Atas, Jakarta, dipilih sebagai tempat mengekspresikan interpretasi diri mereka sendiri karena di daerahnya sendiri belum tentu ada ruang publik yang sesuai.