ASEAN dan Asap Lintas Batas

Ariobimo Sontany
Researcher at Indonesia Institute of Advanced International Studies (INADIS)
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2022 14:54 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ariobimo Sontany tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kebakaran hutan. Sumber: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kebakaran hutan. Sumber: Pexels
ADVERTISEMENT
Selama 25 tahun terakhir, kebakaran hutan telah terjadi secara luas di Indonesia setiap tahun dan menyebabkan polusi udara atau kabut asap di Indonesia dan di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.
ADVERTISEMENT
Pada 1997 dan 1998, asap yang dihasilkan akibat kebakaran hutan telah mencapai titik kritis hingga menarik perhatian di komunitas internasional. Sejak 1998, kebakaran hutan terus terjadi setiap tahunnya dalam periode yang panjang. Tahun-tahun terburuk adalah tahun 2001 dan 2002 ketika banyak kebakaran terjadi di kawasan hutan dan perkebunan di provinsi Riau, di Kalimantan Barat dan Tengah dan di beberapa provinsi di Sumatra.
Daerah yang sama terkena dampak pembakaran hutan secara luas pada tahun 2003. Dari bulan Maret hingga Juli 2004, kebakaran hutan yang meluas di Sumatra dan Kalimantan memiliki dampak yang lebih parah, dan telah menyebabkan peningkatan polusi udara di Singapura, Malaysia dan Brunei, dan juga Indonesia.
Kebakaran hutan sendiri diakibatkan oleh berbagai macam sebab, dari natural causes seperti musim kemarau dan suhu ekstrem, hingga pembakaran yang disengaja untuk membuka lahan baru. Walaupun sulit untuk menentukan angka yang pasti tentang deforestasi, sejumlah prakiraan telah disusun sejak tahun 1985.
ADVERTISEMENT
Dari tahun 1985 hingga 1997, luas lahan perhutanan diperkirakan telah berkurang dari 119 juta hektar menjadi sekitar 100 juta hektar. Pembakaran pada periode 1997 dan 1998 telah menghancurkan sekitar 1,7 juta hektar di Sumatra, 6,5 juta hektar di Kalimantan, 1,0 juta hektar di Papua, dan 0,4 juta hektar di Sulawesi, dan menyebabkan polusi udara yang meluas di Indonesia dan negara-negara terdekat.
Kebakaran hutan telah berdampak pada penurunan luas hutan tahunan rata-rata antara tahun 1985 dan 1997 (1,7 juta hektar), kemungkinan lahan hutan di Indonesia sekarang hanya berkisar di 90 juta hektar (Jones 2006).
Dengan maraknya kebakaran hutan dan lokasi utamanya terfokus dalam satu negara, yaitu Indonesia, diperlukan suatu instrumen undang-undang dan kebijakan nasional yang diharapkan mampu untuk mencegah dan mengendalikan masalah lingkungan. Negara-negara tetangga dan organisasi regional seperti ASEAN, dalam hal ini diharapkan untuk berperan aktif, mengingat bahwa kondisi lintas batas telah terancam diakibatkan oleh kebakaran hutan.
ADVERTISEMENT
Kebakaran hutan serta pencemaran kabut asap lintas batas merupakan isu lintas sektoral yang perlu ditangani secara kolaboratif. Terdapat urgensi di kawasan Asia Tenggara yang menuntut mereka untuk memperkuat koordinasi lintas sektoral dan lintas pilar di negara-negara Anggota ASEAN, masyarakat lokal, organisasi non-pemerintah, petani, perusahaan swasta, serta lembaga penelitian.
Oleh karena itu, ASEAN menginisiasi suatu instrumen hukum dengan harapan mampu untuk menekan fenomena kebakaran hutan di Asia Tenggara. ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution atau Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas-Batas merupakan suatu perjanjian yang dibentuk oleh ASEAN pada 2002.
Konsensus ini didasari pada pertemuan yang diadakan di Malaysia pada tahun 1994, ketika para menteri-menteri negara ASEAN (khususnya menteri lingkungan) sepakat untuk meningkatkan kerja sama untuk mengendalikan polusi lintas batas di ASEAN, untuk mengembangkan sistem peringatan dini dan sistem respons regional, dan untuk meningkatkan peran dan kapasitas negara-negara anggota dalam mencegah kebakaran hutan.
ADVERTISEMENT
Di tengah perjalanannya, ASEAN dihadapkan dengan tantangan-tantangan dalam menegakkan hukum yang telah disepakati. Penerapan undang-undang dan peraturan sering kali terkesan tidak efektif karena tidak adanya kapasitas kelembagaan untuk menangani masalah kebakaran hutan, seperti tujuan yang jelas, peran dan tanggung jawab yang jelas, perencanaan yang efektif, struktur manajemen yang tepat, sumber daya manusia dan pendanaan yang memadai, pengetahuan tentang pengelolaan dan perlindungan hutan, peraturan dan prosedur operasional yang relevan dan sumber daya seperti peralatan dan bahan pemadam kebakaran.
Kemudian, banyaknya organisasi-organisasi non pemerintah seperti LSM yang berpotensi saling tumpang tindih dan mempersulit koordinasi di lapangan. Bahkan untuk bekerja sama, terkadang organisasi-organisasi tersebut enggan untuk berbagi informasi.
Hal ini menimbulkan peraturan yang saling bertentangan yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga. Konsekuensi lain dari kurangnya koordinasi adalah munculnya ketidakpahaman dan ketidaksepakatan mengenai siapa yang dapat melaksanakan tanggung jawab apa antara organisasi dengan tanggung jawab yang tumpang tindih.
ADVERTISEMENT
Selain itu, prinsip 'ASEAN way' yang memilih untuk tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara-negara anggota juga menjadi tantangan tersendiri bagi ASEAN dalam menegakkan aturan ke dalam negara-negara anggotanya. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional harus dapat menyatukan keberagaman yang ada di kawasan, serta berani dalam menegakkan kesepakatan yang sudah disetujui.
Referensi:
Jones, D. S. (2006). Asia Europe Journal Studies on Common Policy Changes. ASEAN and Transboundary Haze Pollution in Southeast Asia, 431-446.
Elliott, L. (2011). Procedia-Social and Behavioral Sciences, ASEAN and environmental governance: rethinking networked regionalism in Southeast Asia, 14, 61-64.
Tacconi, L. (2003). Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya dan implikasi kebijakan (No. CIFOR Occasional Paper no. 38 (i), p. 28p). CIFOR, Bogor, Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tay, S. S. (1998). Review of European Community & International Environmental Law, South East Asian Forest Fires: Haze over ASEAN and International Environmental Law, 202-208.