Indonesia Tak Rela Wiji Thukul Jadi Penyair Melankolis

Abcd
Kontributor
Konten dari Pengguna
23 Januari 2017 11:18 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abcd tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masih tertanam dalam ingatanku puisi-puisi penyair Wiji Thukul yang lantang, jelas, dan serasa menghantam dada. Aku mengenal puisi-puisinya semasa masih kuliah. Teman-temanku suka membacakan puisi-puisi penyair ini, terutama para aktivis yang tampangnya dekil dan garang. Manusia yang cukup awam sastra sepertiku, yang meski kuliah sastra tapi bacaannya paling banter novel-novel Paulo Coelho, dibuat dapat memahami dan menikmati puisi.
ADVERTISEMENT
Jasa Wiji Thukul membikin orang pekir (pendek pikir) sepertiku jadi mudeng puisi tak akan terlupakan. Bahkan, dalam kesanku, yang namanya puisi itu ya seperti puisi Wiji Thukul: mudah dipahami, punya daya gugah, pesannya jelas, serta ada yang diperjuangkan lebih dari sekedar perkara emosional-pribadi. Gara-gara itu, kalau kemudian aku membaca puisi kok centil, melankolis, sentimentil, mohon maaf jika aku tak tertarik. Bagiku itu bukan puisi, tapi lebih mirip curhatan orang yang jiwanya lemah kayak mentega dan otaknya pekir seperti aku.
Ketika seorang teman ngasih tahu film Wiji Thukul tayang di bioskop, aku segera menyempatkan diri untuk nonton. Istirahatlah Kata-kata. Dari judulnya, kesanku Wiji Thukul telah meninggal, sehingga melalui film itu semoga arwahnya bisa beristirahat dengan tenang di sisiNya. Jadi, judul itu kutangkap sebagai semacam doa untuk seseorang yang telah wafat. Namun, rupanya ada berita Wiji Thukul sebenarnya hilang, bukan meninggal. Kalau begitu, terdapat kemungkinan beliau masih hidup (Amien). Jika informasi itu benar, maka judul itu tentu bukan cuma tak cocok, tapi juga tak pantas. Apalagi melihat puisi-puisi Wiji Thukul yang politis-aktif, judul yang terkesan melankolis-pasif itu seperti mengebiri jiwa dan cita-cita sang penyair.Kuharap itu hanya soal judul. Tak apalah. Tapi, ternyata aku salah sangka.
ADVERTISEMENT
Selama menonton filmnya, alur ceritanya berjalan lambat banget, mirip laju perekonomian dan perkembangan kesadaran di negeri ini. Karena bosan dan agar tidak ngantuk, aku sesekali membuka HP dan chatting. Lagian, di samping alurnya yang lambat, adegan-adegan yang kuharapkan terjadi tidak muncul. Misalnya, adegan yang menjelaskan kenapa Wiji Thukul menulis puisi dan memutuskan diri mengambil jalan politik seperti itu, serta apa arti puisi baginya dan lingkungannya.Bagi orang awam sepertiku, adegan yang menjelaskan informasi seperti itu amat penting untuk mengenal seorang tokoh secara lebih baik. Tapi, sepanjang film, apa yang kutunggu-tunggu itu ternyata tidak muncul.
Mungkinkah adegan itu dicuri Orde Baru? Atau jatuh di jalan saat melakukan riset? Atau dipotong oleh editor lalu keselip di folder yang mana? Atau, adegan itu disimpan oleh produser esksekutifnya sebagai pengetahuan esklusif yang bersifat pribadi agar orang-orang tidak tahu? Gusti Allah, maafkan aku yang terlalu banyak bertanya dan terlalu jauh melamun ini.Yang muncul sepanjang film adalah adegan Wiji Thukul menggigil ketakutan, sebagai seorang pelarian di Kalimantan. Mungkin itu untuk menggambarkan rasa takut karena dikejar-kejar polisi. Tapi, kesanku adegan itu justru seperti orang yang sedang sakit demam. Sudah begitu, sebagai pelarian di masa Orde Baru, Wiji Thukul suka berkeliaran ke tempat-tempat umum, entah bersama teman-temannya atau sendirian.
ADVERTISEMENT
Jadi, dilihat dari mimiknya, Wiji Thukul tampak seperti orang ketakutan atau demam; tapi, dibilang takut dan demam, dia suka keluyuran sembarangan. Benar-benar membingungkan. Tapi, meski begitu, ada sebuah adegan bagus yang tertanam di ingatan, yaitu adegan ketika Wiji Thukul di tempat tukang cukur. Bintang film yang memerankan sosok tentara betul-betul punya kelas. Terkesan wajar dan luwes, tapi efek horornya bisa benar-benar terasa, terutama saat terkekeh. Sayangnya, itu hanya satu-satunya adegan. Selebihnya, adegan-adegan yang ditampilkan adalah hal-hal kecil yang berdiri sendiri-sendiri, tidak berkaitan dengan alur cerita dan sosok utamanya. Mungkin maksudnya sebagai latar, tapi malah tampak seperti serangkaian perkakas belaka. Mungkin, di mata si pembuat film perkakas itu bermakna.
Tapi di mataku sebagai penonton pekir, itu teramat jauh buat dicerna.Ingatanku tentang Wiji Thukul sebagai penyair yang politis-aktif juga tidak muncul dalam film. Yang ada justru percakapan-percakapan centil tentang politik, bukan humor sederhana yang cerdas tentang apa itu “kuasa”. Kemiskinan dan ketakutannya dieksplotasi secara berlebihan dan dipaparkan dengan tendensi melankolis, tapi hasilnya malah datar dan kering. Seakan-akan Wiji Thukul adalah sosok penyair-aktivis yang lemah, minder, dan sakit-sakitan.
ADVERTISEMENT
Sosoknya sebagai pejuang yang siap menanggung segala risiko dari pilihan politiknya tak ada di layar (sekali lagi: mungkin dicuri Orde Baru, kali—biar kamu yang merasa diri aktivis merasa senang).Jadi, Menyerahlah Kata-kata adalah film yang merusak gambaranku tentang Wiji Thukul dan puisi-puisninya. Sebagai film tentang penyair, tak ada momen yang memiliki kekuatan itu. Sebagai hiburan, tak ada juga adegan-adegan seru yang menyenangkan.
Sebagai film politik, tak ada agenda yang ditawarkan. Sebagai film ideologis, tak ada pemikiran dan sikap yang ditegaskan serta diwariskan. Sebagai film sejarah sosial, tak ada gambaran yang menjelaskan tentang pemiskinan sisitematis di lingkungan sosial Thukul. Ini hanya sebuah film tentangs seorang pelarian yang ketakuatan, itu saja. Sebagai penyair penting negeri ini, Wiji Thukul merupakan asset bangsa (lebih berharaga dibanding BUMN yang cuma asset negara lho). Jadi, menggambarkan Wiji Thukul sebagai penyair “masuk angin” jelas membuat Indonesia tidak rela.
ADVERTISEMENT
Sedihnya, film ini sepertinya dibikin oleh para aktivis yang seharusnya bisa menggambarkan Wiji Thukul lebih hidup, berbobot dan mantap. Atau jangan-jangan para aktivis yang dulu membaca puisi-puisi Thukul dengan heroik itu sudah berubah seiring perubahan zaman dan kelas sosial, sehingga film yang diproduksi jadi melankolis begini?Gusti Allah, maafkan aku yang terlalu banyak bertanya dan terlalu jauh melamun ini. Mari kita tutup curhatan ini dengan satu kata sakti dari Wiji Thukul: lawan!
Dimuat pula di http://syahrazade.com/indonesia-tak-rela-wiji-thukul-jadi-penyair-melankolis/