Agar Tak Lagi Petugas KPPS Gugur Sia-Sia

Arman Dhani
Penulis. Menggemari musik dan buku. Sudah terlalu banyak menyimpan kaos band dan sepatu.
Konten dari Pengguna
13 Februari 2024 14:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arman Dhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, pernah berkata bahwa kematian satu orang adalah tragedi, sementara kematian ribuan orang adalah statistik. Kematian yang besar adalah duka kolektif, seringkali, sayangnya hal ini mudah dilupakan, apalagi jika terjadi di negara yang tidak kompeten.
ADVERTISEMENT
Kematian yang masif, terutama apabila disebabkan oleh kelalaian pengelolaan pejabat pemerintah, di negara-negara yang memiliki kehormatan, biasanya akan disusul dengan pertanggungjawaban atau minimal pengunduran diri.
Di Indonesia, misalnya, pada pemilu 2019 lalu jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia ada 894 petugas dan 5.175 petugas mengalami sakit. Saat itu beban kerja di Pemilu 2019 cukup besar sehingga menjadi salah satu faktor banyak petugas yang sakit atau meninggal dunia.
Petugas membawa kotak serta surat suara Pemilu 2024 ke dalam gang pemukiman padat penduduk di kawasan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, Selasa (13/2/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Namun sayangnya tak ada evaluasi, kompensasi yang kecil, dan yang lebih buruk tak ada tanggung jawab dari pengelola pemilu saat itu. Kematian ini menyebar di berbagai tempat di Indonesia, berdasarkan laporan dinas kesehatan di setiap provinsi menunjukkan jumlah petugas Pemilu yang meninggal terbanyak ada di Provinsi Jawa Barat.
ADVERTISEMENT
Apakah kerja pengawas ini sangat berat sehingga menimbulkan kematian? Beberapa temuan penyebab kematian ternyata berupa jam kerja yang panjang, kurangnya istirahat dan pemulihan, tekanan dari pihak eksternal dan kondisi kerja yang tidak sesuai standar keselamatan. Ditekan untuk segera memberikan hasil sementara para petugas ini sudah bekerja berjam-jam, terkadang sejak sebelum hari pemilihan.
Dalam kajian lintas disiplin Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dilakukan pada 2019, menemukan beberapa hal yang bisa jadi dasar penjelasan kematian tersebut. Waktu beban kerja saat hari pemilu mencapai 20-22 jam sehari, sementara persiapan dan distribusi undangan mencapai 8-48 Jam.
Riset itu menunjukan bahwa ada 30% petuga TPS yang melaporkan adanya kejadian mengganggu, seperti administrasi, perhitungan suara. Beban kerja yang berat ini diakui oleh lebih dari 80 persen petugas pemilu di DIY. Selain itu petugas yang sakit juga tetap bekerja dengan beban yang berat sehingga membuat mereka semakin kelelahan.
ADVERTISEMENT
Gaya hidup petugas TPS yang merokok dan mengkonsumsi suplemen serta kopi sebagai pengganti istirahat juga menambah beban tubuh. Selain itu logistik dan akomodasi selama pemilu juga kurang. Makanan yang kurang sehat dan juga petugas yang harus bekerja ganda memperparah keadaan. Tapi apa yang terjadi pada tubuh kita jika kelelahan dan tidak makan dengan benar?
Jika tidak makan, tubuh akan kekurangan energi dan nutrisi yang dibutuhkan untuk fungsi tubuh yang optimal, menyebabkan lemas, kelelahan, dan bahkan masalah kesehatan serius seperti kekurangan gizi. Minum kopi dalam jumlah terbatas tidak akan berdampak secara langsung pada tubuh, tetapi jika tidak tidur karena harus bekerja, tubuh akan mengalami kelelahan, gangguan konsentrasi, penurunan kinerja fisik, serta risiko kematian.
ADVERTISEMENT
Kini setelah lima tahun, 14 Februari nanti kita akan melaksanakan pemilu kembali. Apakah tragedi ini akan kembali lagi? Lebih dari itu apakah akan ada evaluasi besar-besaran dan persiapan serius? Atau 894 petugas yang gugur lima tahun lalu hanya sekadar statistik. Hingga hari ini, mereka yang berkuasa atau setidaknya tegak lurus mengurus kewenangan ini tak ada satu pun yang dihukum.
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di wilayah Kecamatan Cempaka Putih melakukan setting packing logistik pemilihan umum (Pemilu) 2024 di GOR Cempaka Putih, Jakarta, Selasa (6/2/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Sementara itu di negara lain ketika terjadi bencana Kapal Feri Sewol, Korea Selatan (2014): Menyusul tenggelamnya kapal feri Sewol, yang mengakibatkan kematian lebih dari 300 orang, termasuk banyak anak sekolah, Perdana Menteri Korea Selatan, Chung Hong-won, mengundurkan diri, bertanggung jawab atas penanganan pemerintah terhadap bencana dan operasi penyelamatan selanjutnya.
Bencana Nuklir Fukushima Daiichi, Jepang (2011): Menyusul bencana nuklir Fukushima yang dipicu oleh gempa bumi besar dan tsunami, Perdana Menteri Jepang saat itu, Naoto Kan, bertanggung jawab atas penanganan krisis pemerintah. Dia mengundurkan diri dari jabatannya pada bulan Agustus 2011, mengakui kegagalan pemerintah dalam menanggapi bencana tersebut secara memadai.
ADVERTISEMENT
Atau jangan-jangan nyawa petugas TPS memang murah belaka dan layak mati untuk menjadi tumbal pemilihan presiden kita?