Menemukan Iman dalam Dada Orang-Orang Palestina di Gaza

Arman Dhani
Penulis. Menggemari musik dan buku. Sudah terlalu banyak menyimpan kaos band dan sepatu.
Konten dari Pengguna
6 Desember 2023 15:59 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arman Dhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mungkin kita pernah berada dalam keadaan mempertanyakan iman. Ragu pada Allah dan ajaran-ajarannya. Sejak sebulan terakhir iman ini makin diuji. Tapi sebagai manusia yang dhaif, tak memiliki pemahaman atas logika kesalihan, kita kerap menggunakan kerangka akal manusia untuk mencari pembenaran atas keputusan Allah.
ADVERTISEMENT
"Kalau memang Allah maha penyayang dan pengasih, mengapa Ia membuat orang-orang Palestina menderita?"
Dulu, di awal-awal belajar mengaji, guru di kampung saya selalu mengajarkan tentang dua hal. Sabar menghadapi ujian dan tawakal dalam menjalani hidup. Lalu kalau Allah selalu memberikan ujian dan membuat hajat doa kita tidak terkabul, lalu buat apa sabar dan tawakal tadi?
Sebagian dari kita, termasuk saya, pernah kesal dan kecewa. Menganggap Allah ini ngga sayang, bahwa ia tak benar-benar maha kuasa, masa sih sekian lama hidup harus diuji terus, harus berusaha terus, kapan dong saya dibuat kaya dan bahagia? Tapi ya saat itu belum menemukan jawaban, sampai mungkin beberapa minggu terakhir.
Setiap dari umat muslim mungkin pernah mendengar ucapan, Allah tidak akan menguji seorang hamba di luar kemampuannya. Di rumah keluarga saya diuji dengan kebangkrutan, kemiskinan, hutang, dan sakit. Saya sendiri diuji sakit diabetes, depresi, perpisahan dengan pasangan, dan juga kehilangan pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Ada saat-saat di mana saya merasa Allah ngga adil, bahwa apa yang saya rasakan ini terlalu berat, ujian ini luar biasa menyakitkan. Kemudian ketika melihat cerita-cerita orang Palestina di Gaza, yang ditinggal mati keluarga, melihat rumah hancur, sepasang tunangan yang gugur saat bertugas sebagai dokter, kok rasanya ujian saya demikian sepele.
Mungkin orang-orang akan berkata, Tuhan macam apa yang membiarkan umatnya dihancurkan oleh orang kafir? Tuhan macam apa yang membiarkan kematian bayi, anak-anak, orang tua, ibu, dan mereka yang sakit dalam perang yang demikian mengerikan. Tuhan macam ini barangkali adalah tuhan yang masokis.
Saya dan anda boleh berpikir demikian, tapi dalam video-video yang ada di internet. Orang Palestina merayakan kematian dengan duka dan kegembiraan. Tentu mereka menangis, kehilangan orang yang disayang dan dicintai, tapi respon mereka usai berduka adalah dengan senyum. Seorang adik berkata dengan mengepalkan tangan, “Kakakku menjadi syuhada,” seorang yang lain kehilangan calon istrinya. “Kami bertunangan 2.5 tahun, ia dokter gigi, kami berpisah di dunia. Tapi kami akan bertemu di Akhirat nanti,” katanya.
ADVERTISEMENT
Orang Palestina merespon kematian dengan kepala yang tegak. “Siapa yang menjadi syahid dalam keluargamu fulan?” Setiap dari kita tentu akan menyadari bahwa kematian itu pasti. Tapi cara kita mati, cara kita mempersiapkan kematian, akan membedakan satu dengan yang lain. Kita bisa mati dalam keadaan su’ul atau khusnul khotimah. Tapi di Gaza, nyaris setiap kematian adalah syahid dalam usaha membela tanah air dan melawan kezaliman.
“Tapi Tuhanmu adalah tuhan yang kejam. Ia membunuh anak-anak dan bayi,” dalam bahasa Ghasan Kannafi, bagimu mungkin kejam. Tapi bagi umat yang percaya bahwa tiap-tiap yang mati akan memulai hidup di alam yang lebih abadi, kematian bukan sesuatu yang kejam. Mereka, orang-orang Palestina (dan umat islam secara umum), rindu akan kematian. Rindu bertemu dengan Rasul, rindu berjumpa dengan Rabb yang menciptakannya.
ADVERTISEMENT
Kamu mungkin bicara bahwa agama ini kejam karena menyepelekan kematian anak-anak dan bayi. Mungkin bagi cara pikir orang barat, iya. Mereka yang bicara soal hak asasi, soal kebebasan, soal kesetaraan, menganggap setiap hidup berharga, tapi saling membunuh. Bicara soal perdamaian tapi menjual senjata. Bicara soal kerja sama tapi menyokong kudeta.
Negara-negara barat bicara tentang perusakan iklim, tapi mendukung bisnis eksploitatif. Negara barat bicara tentang pentingnya pendidikan, tapi lebih memilih membiayai perang daripada guru-guru. Negara barat bicara tentang hak mempertahankan diri, tapi menuduh orang lain yang berbeda dengan idiologinya sebagai teroris. Tak ada yang bisa dibela dari ide semacam ini.
Beberapa dari kita demikian gandrung menjual ide tentang sains, tentang akal, tentang nalar, tentang pikiran kritis, tentang biologi, fisika, dan matematika. Tapi gamang bersikap di hadapan genosida. Beberapa dari kita demikian asik bicara tentang logika, tentang filsafat, tentang akal budi, tapi gagap mengambil posisi di hadapan fasisme. Akal, ilmu, sikap saintifik selayaknya masuk tong sampah bersama ide eugenics yang keji belaka.
ADVERTISEMENT
Kemunafikan macam ini, nyaris tak punya nilai di hadapan umat yang percaya bahwa kematian saat mempertahankan iman dan tanah air, lebih berharga daripada hidup dengan menjual harga diri dan keimanan.