Judul tulisan ini mungkin akan memantik perdebatan. Kok bisa, sih ada orang yang nyumpahin bisnis orang lain bangkrut? Emang dia mau membayar gaji para pekerjanya? Apa tidak kasihan terhadap orang-orang yang ada di dalamnya? Tapi sebelum sampai ke sana, saya berharap Anda sekalian mau membaca tulisan ini sampai selesai.
Lesunya bisnis buku di Indonesia mulai terasa sejak Toko Buku Aksara menutup dua gerainya di Pacific Place dan Cilandak Town Square. Kemudian pada 2021, toko buku Kinokuniya juga tutup di Plaza Senayan. Kemudian dilanjut Toko Buku (TB) Gunung Agung dan Book & Beyond yang menutup seluruh gerainya dan fokus pada penjualan online. Seluruh proses tutupnya toko buku ini bukan tiba-tiba, terjadi nyaris mirip kasusnya dengan Barnes & Noble.
Kebangkrutan Barnes & Noble mulai terasa ketika mereka gagal beradaptasi dengan teknologi modern dan perubahan perilaku pembeli buku. Model bisnis yang kaku dan kuno di mana toko buku harus megah, desain toko buku yang sama, dan judul yang seragam membuat pelanggan bosan. Pembeli buku tak diberikan alternatif buku sementara, display buku yang ada sangat membosankan, dan dalam toko nyaris tidak ada interaksi manusia.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814