Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Tak Sekadar Zionis, Boikot Starbucks karena Solidaritas pada Pekerja
26 Februari 2024 13:42 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Calon Wakil Presiden nomor urut dua, Gibran Rakabuming Raka, tertangkap dalam foto membawa gelas yang diduga berasal dari Starbucks. Hal ini memicu perdebatan, komentar, dan perseteruan. Sederhana saja, Starbucks dianggap punya andil dalam mendukung agresi zionis Israel ke Gaza, Palestina.
ADVERTISEMENT
Tentu agak jauh menduga Gibran mendukung Israel, karena mau ditengok ke atas-bawah, kanan-kiri, depan-belakang, ya tidak ada dukungan itu. Tapi soal dia memegang produk Starbucks ya hal yang lain, mungkin beliau haus, kurang minum, butuh kopi, dan banyak alasan lainnya. Lantas kenapa dong banyak aktivis Palestina minta kita memboikot Starbucks?
Sederhana saja, solidaritas kepada pekerja.
Asal muasal seruan boikot ini karena Starbucks mengkritik pesan dari serikat pekerjanya mengenai serangan teroris Hamas terhadap warga sipil Israel. Serikat pekerja, Starbucks Workers United, memposting "Solidaritas dengan Palestina" di twitter (atau X), yang memuat gambar buldoser yang dioperasikan oleh Hamas meruntuhkan pagar di Jalur Gaza selama serangan terhadap Israel akhir pekan lalu.
Karena itu Starbucks dan Starbucks Workers United saling menggugat satu sama lain. Starbucks menggugat Workers United di pengadilan federal di Iowa, menyatakan bahwa unggahan media sosial yang pro-Palestina dari akun serikat pada awal perang Israel-Hamas membuat ratusan pelanggan marah dan merusak reputasinya.
ADVERTISEMENT
Starbucks menggugat atas pelanggaran merek dagang, menuntut agar Workers United menghentikan penggunaan nama "Starbucks Workers United" untuk kelompok yang mengorganisir pekerja perusahaan kopi tersebut. Starbucks juga ingin kelompok tersebut menghentikan penggunaan logo lingkaran hijau yang menyerupai logo Starbucks.
Nah ini yang kemudian memicu seruan boikot Starbucks di media sosial. Alih-alih menunjukkan solidaritas pada korban perang di Gaza, perusahaan Starbucks malah menggugat para pekerjanya yang bersolidaritas. Hal ini makin diperparah karena sikap Starbucks yang abu-abu dan malah membuat pernyataan mengutuk tindakan terorisme, kebencian, dan kekerasan tersebut, serta tidak setuju dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Workers United dan anggotanya.
Lho emang boikot berhasil?
Sejauh ini boikot terhadap Starbucks sangat berhasil. Bahkan membuat perusahaan itu merugi dan mengalami penurunan nilai saham hingga 11 miliar dolar. Gerakan boikot Starbucks karena sikapnya pada Israel telah berkembang menjadi gerakan kolektif global. Artinya protes dan penolakan konsumen terhadap Starbucks ga cuma di Indonesia, tapi di negara lain. Selain itu kampanye boikot ini sukses melawan perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan Israel, termasuk perbankan, penyedia jasa kontraktor, dan produsen makanan.
ADVERTISEMENT
Barangkali banyak yang kemudian bertanya jika alasan memboikot Starbucks karena sikap diam pada Israel yang melakukan penjajahan terhadap Palestina, harusnya kita juga perlu menolak memakai FB, IG, atau Google, dong? Nah para pekerja, di FB, IG, atau Google sendiri melakukan penolakan kok, tapi kita perlu taktis, ada banyak bentuk boikot tak hanya melakukan penolakan tapi juga tekanan.
Agak lucu atau bahkan komikal, kok bisa para pekerja Starbucks, Google, dan Meta malah mendukung boikot. Padahal mereka sendiri bekerja di perusahaan yang punya hubungan dengan Israel? Nah karena serikat pekerja punya kepedulian terhadap sesama, solidaritas ini dibangun dari semangat bahwa kita manusia.
Kita bisa belajar dan ikut mendukung gerakan dari Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS), yang merupakan gerakan global yang mempromosikan boikot ekonomi, divestasi, dan sanksi terhadap Israel sampai pemerintahnya mematuhi hukum internasional dan menghormati hak-hak dasar rakyat Palestina.
ADVERTISEMENT
“Ah ikut-ikutan aja nih boikot,” lho jangan salah. Boikot ini merupakan gerakan global yang terjadi di seluruh belahan dunia. Di India, Australia, Italia, hingga Inggris banyak serikat pekerja di negara-negara itu membentuk solidaritas untuk mendukung blokade pengiriman senjata ke Israel. Di Indonesia sendiri gerakan boikot punya rekam jejakya sendiri.
Sejarah mencatat berbagai bentuk dan tujuan gerakan boikot. Di Indonesia, pada masa penjajahan kolonial, para pekerja kereta api pernah berhasil menggugat penguasa dengan menyuarakan boikot, yang menyebabkan kerugian besar bagi penjajah. Prinsip dasar boikot adalah menciptakan gangguan, tekanan, atau kerusuhan yang merugikan penguasa atau pengusaha.
Melalui cara ini, penguasa dan pengusaha terpaksa membuat pilihan sulit: melanjutkan kebijakan jahat dengan konsekuensi merugi atau tunduk dan memasuki negosiasi.
ADVERTISEMENT
Boikot adalah obat mujarab yang menyerang di tempat yang paling sensitif bagi kelompok kapitalis, komprador, dan tiran. Arus kapital ini seringkali memicu kebijakan yang merugikan manusia. Oleh karena itu, menghina mereka yang ingin melakukan boikot adalah tidak beralasan. Boikot telah terbukti efektif dalam menekan perusahaan multinasional dan pemerintah totaliter.
Lalu untuk apa dong kita harus peduli dengan isu Serikat Pekerja Starbucks dan Palestina?
Ini karena ide bernama interseksionalisme. Lho apa itu? Interseksionalisme adalah sebuah kerangka kerja analitis yang mempertimbangkan bagaimana berbagai macam dimensi sosial seperti ras, kelas, gender, seksualitas, agama, dan lain-lain saling berhubungan dan saling mempengaruhi, serta bagaimana interaksi antara dimensi-dimensi tersebut menciptakan pola-pola ketidaksetaraan dan diskriminasi.
Dalam kasus solidaritas Serikat Pekerja Starbucks, interseksionalisme lahir dari kesadaran bahwa penindasan Israel adalah produk kolonialisme, yang menindas. Hal serupa mereka rasakan di Starbucks. Alasan lebih dari 8.000 pekerja di lebih dari 360 gerai Starbucks di setidaknya 40 negara bagian di Amerika Serikat telah memilih untuk membentuk serikat, terutama dengan Workers United.
Konsep ini mengajarkan kalau identitas dan pengalaman seseorang tidak bisa dipahami sepenuhnya hanya dari satu dimensi saja. Misalnya, lho kok aneh sih pekerja Starbucks yang ada di Amerika, kok peduli dengan orang Palestina? Ya karena kepedulian itu "interseksi" dari berbagai dimensi dari pekerja dan korban pembantaian Israel di Gaza.
ADVERTISEMENT
Jadi ketika ada pesohor, tidak peduli, atau bahkan tone deaf mengkonsumsi Starbucks, padahal dunia menyerukan boikot, jelas ia punya problem. Masalahnya apakah kita harus terus melakukan boikot? Lalu bagaimana dengan nasib pekerjanya? Dalam konteks aktivisme dan advokasi pekerja, interseksionalisme membuat semua orang sadar, agar perhatian tidak hanya ditujukan pada Gaza tetapi juga pada pekerja yang berserikat.
Kita bisa lho peduli terhadap isu di belahan dunia lain tanpa harus seagama, tanpa harus satu ras, tanpa harus mungkin memberikan donasi. Kita bisa memperhitungkan bagaimana faktor-faktor lain seperti kekerasan sistematis yang dilakukan negara bernama Israel terhadap warga Palestina, bisa mendorong orang di Amerika, Indonesia, hingga Jepang peduli terhadap sesama.