OJK Menjelang 9 Tahun

Dr. Arman Nefi, SH., MM
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
4 September 2020 14:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dr. Arman Nefi, SH., MM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
ADVERTISEMENT
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tanggal 22 November 2020 akan merayakan hari jadi ke sembilan. Hampir sembilan tahun OJK berkiprah yang merupakan kelanjutan dari fungsi-fungsi Industri Keuangan Non Bank (IKNB). Beberapa capaian yang patut diapresiasi, tetapi ada beberapa catatan yang perlu menjadi bahan evaluasi diri dan renungan bersama agar OJK menjadi lebih baik pada masa-masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Baru saja OJK melewati usia sewindu, ada “badai” yang menerpa, ada “badai” Jiwasraya, ada “badai” Asabri, ada beberapa kasus investasi bodong dan financial technology (fintech) yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, terkesan kurang terkendali, kurang pengawasan. Dilengkapi masalah tersebut dengan antisipasi yang kurang, yakni regulasi selalu hadir belakangan dan bahkan ada yang sangat terlambat.
Kepemimpinan OJK periode pertama 2012-2017 oleh Muliaman D. Hadad, merupakan periode peletakan dasar-dasar beroperasinya OJK, meleburnya IKNB secara bertahap adalah masa-masa yang tidak mudah, menyiapkan sistem, struktur, mekanisme, regulasi prioritas, memilih dan menempatkan orang-orang yang tepat, operasional masa transisi, dan seterusnya.
Periode kedua 2017-2022 dipimpin oleh Wimboh Santoso, adalah periode pemantapan dan memastikan semua sistem berjalan dengan baik. OJK merumuskan empat inisiatif strategis untuk mencapai tujuan OJK. Pertama, mewujudkan OJK menjadi lembaga pengawas yang independen dan kredibel, yang didukung kapasitas internal yang handal. Kedua, mewujudkan Sektor Jasa Keuangan (SJK) yang tangguh, stabil, berdaya saing dan tumbuh berkelanjutan. Ketiga, mewujudkan SJK yang berkontribusi terhadap pemerataan kesejahteraan. Keempat, mewujudkan perlindungan konsumen inklusif.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah empat inisiatif strategis era Wimboh Santoso telah berada pada jalur yang benar ataukah bahkan menjauh?. Hal ini dapat kita kritisi satu persatu, sudahkah OJK kredibel?, apakah kapasitas internalnya handal?, SKJnya tangguh, stabil, berdaya saing dan tumbuh berkelanjutan?, SKJ yang kontributif terhadap pemerataan kesejahteraan?, dan perlindungan konsumen yang handal dalam rangka mendukung keuangannya inklusif?. Maaf, belum memuaskan.
Perlukah OJK dibubarkan?
Ilustrasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Kembali ke “badai” Jiwasraya dan “badai” Asabri, ketangguhan OJK diuji dan apabila dianalisis lewat empat inisiatif strategis yang dicanangkan. Secara jujur dan fair kita menilai OJK dalam hal ini memang sempoyangan, tidak terlihat empat inisiatif strategis dengan tangguh menghadapi “badai” ini.
Dapat dimaklumi muncul wacana perlukah OJK dibubarkan?, fungsinya dikembalikan ke Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan?. Wacana ini bahkan disuarakan oleh Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan beberapa Pihak yang sangat berpengaruh atas keberlangsungan OJK, karena OJK dianggap tidak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari kegugupan OJK menghadapi “badai” yang cukup besar tersebut, beberapa capaian selama sewindu terakhir janganlah diabaikan, seperti perjalanan delapan tahun lebih mewujudkan adanya IKBN dan Pengawasan Bank yang independen dan tidak lagi berada di bawah suatu Kementerian dan Bank Indonesia. Kemudian selama delapan tahun lebih OJK ikut berperan aktif menjaga perekonomian nasional yang relatif sehat, stabil, menjaga pertumbuhan dan terkendalinya inflasi.
Kembali kepada sub topik tulisan ini, apakah perlu OJK dibubarkan? Jawabannya adalah belum perlu, dan tidak bijak disaat suasana Pandemi Covid-19 yang demikian berat melakukan pembubaran terhadap otoritas yang cukup besar, dan tidak fair juga menimpakan semua kesalahan “badai” Jiwasraya dan “badai” Asabri pada OJK semata. Jika dikaji lebih dalam, ada andil tanggung jawab Kementerian Keuangan, ada andil tanggung jawab Kementerian BUMN dan bahkan secara tidak langsung ada juga andil tanggung jawab DPR?.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk OJK yang perlu di evaluasi adalah Sumber Daya Manusianya. Agar bekerja lebih profesional, tangkas dalam melakukan pencegahan, menjaga integritas di semua lini. Anggap hal ini sebagai warning pertama, OJK masih perlu diberi kesempatan untuk membuktikan bekerja lebih baik lagi, melanjutkan tugas, fungsi dan kewenangannya untuk mewujudkan tujuan OJK yang telah digariskan dalam UU OJK. Melakukan pembubaran adalah hal yang mudah, tetapi membangun perlu waktu, perlu strategi, ada ujian dan dinamika yang luar biasa, anggap hal tersebut untuk memperkokoh perjalanan OJK selanjutnya.
Fungsi Pengawasan OJK
Pemerkuatan fungsi pengawasan adalah prioritas utama OJK, Pasal 9 huruf c UU OJK, salah satu amanat fungsi OJK. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan.
ADVERTISEMENT
Deteksi dini sistem OJK harus berfungsi dengan baik. Sehingga tidak terjadi lagi Pihak yang bermasalah dalam jangka waktu yang panjang baru ditangani ketika korban sudah masif. Termasuk di antaranya masalah investasi bodong, fintech legal dan fintech illegal dengan suku bunga yang melebihi suku bunga para rentenir, perusahaan/emiten yang tidak sehat dan seterusnya. Khusus untuk fintech illegal yang terus membandel dan supaya langsung memberikan efek jera, sebaiknya OJK mengeluarkan release, nasabah yang terlanjur meminjam agar tidak melakukan pembayaran cicilan terhadap fintech illegal tersebut.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di OJK
Pada beberapa kesempatan diskusi yang diselenggarakan OJK, disampaikan bahwa jumlah PPNS sangat kurang. Saat ini ada sekitar 21 Penyidik di OJK (8 di antaranya dari Kepolisian). Bandingkan waktu era Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), hanya fokus pada satu bidang pasar modal, punya sekitar 86 PPNS. Saat ini ruang lingkup pekerjaan OJK bertambah 5 kali lipat tetapi PPNS-nya menyusut sampai tinggal 25% nya.
ADVERTISEMENT
Dengan ruang lingkup pekerjaan OJK saat ini, paling sedikit dibutuhkan 150 Penyidik yang nanti ditempatkan proporsional sesuai dengan spesialisasi bidang penyidikannya. Seiring dengan perlunya penambahan penyidik secara kuantitas, tidak kalah penting adalah perlu peningkatan kualitasnya agar hasil penyidikannya dapat membantu proses hukum selanjutnya.
Investor di Pasar Modal
Ilustrasi pasar modal Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Tantangan besar berikutnya OJK ke depan adalah upaya peningkatan jumlah investor di pasar modal, yang saat ini baru mencapai sekitar 2,4 juta investor (belum sampai 1% dari jumlah penduduk Indonesia 267 juta jiwa).
Perkembangan lima tahun terakhir perlu kita apresiasi peningkatan jumlah investor, yang stagnan berada diangka 500.000 sampai 600.000 investor.
Bandingkan angka itu jauh di bawah negara-negara tetangga. Misalnya di Malaysia, penduduk yang ikut investasi saham sudah mencapai 3,8 juta atau 12,8%. Sementara di Singapura 1,5 juta atau 30% penduduknya sudah investasi saham. Kemudian di Tiongkok 13,7% penduduk yang investasi di pasar modal (Data 2017).
ADVERTISEMENT
Perusahaan yang IPO
Perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) pada 2 tahun terakhir juga naik signifikan, pada akhir 2019 ada 668 perusahan yang listing di Bursa Efek Indonesia. Ada 26.322 perusahan besar dan sedang di seluruh Indonesia, data BPS 2015), jika 10% saja dari 26.322 perusahaan, seharusnya paling tidak emiten di Pasar Modal Indonesia dapat mencapai 2.600 emiten. Semoga upaya dan capaian target pada tahun-tahun mendatang terjadi lompatan-lompatan dan mencapai jumlah ideal emiten Pasar Modal Indonesia.
Menghadapi Pandemi COVID-19
Belum usai “badai” Jiwasraya dan “badai Asabri”, Pandemi COVID-19 dapat mengancam lebih dahsyat lagi. Tanda-tanda itu semakin terlihat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat bertengger pada angka tertinggi 6.689 pada 19 Februari tahun 2018 dan turun cukup dalam ke angka 3.937 pada 24 Maret 2020 (terkoreksi 41%), dan sekarang bergerak pelan ke arah positif menuju angka 5.280 pada tanggal 3 September 2020, jelas suatu tantangan yang tidak ringan bagi OJK dalam menghadapi tugas-tugas beberapa tahun ke depan.
ADVERTISEMENT
Pada masa Pandemi COVID-19 ini, kehadiran dan pengawasan OJK di lapangan memang terasa kurang, lihatlah komentar, keluhan konsumen/nasabah yang menjerit di media sosial untuk mendapatkan relaksasi/keringanan dari perbankan dan lembaga pembiayaan sepertinya banyak yang luput dari pengawasan OJK. Sebaiknya OJK turun langsung ke konsumen/nasabah mengecek satu persatu, dan tidak hanya menunggu laporan dari Pihak perbankan dan lembaga pembiayaan serta memastikan kebijakan OJK efektif sampai pada konsumen/nasabah. Jangan sampai muncul suara lebih kritis dari kelas menengah dan bawah untuk ikut menuntut pembubaran OJK, karena kehadiran dan keberpihakan OJK kepada mereka tidak terasa. Masa Pandemi COVID-19 adalah kesempatan terbaik OJK untuk menunjukkan eksistensi dan pentingnya kiprah OJK bagi masyarakat Indonesia dari seluruh lapisan.
ADVERTISEMENT
Sekali lagi OJK harus siaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk. Perilaku para pelaku pasar modal (termasuk OJK sendiri) harus kembali ke “khitah”, yakni menjaga trust di semua lini. Industri Jasa Keuangan sangat bergantung kepada KEJUJURAN, TRANSPARANSI dan FAIRNESS dalam informasi dan kebijakan. Semoga Pandemi COVID-19 cepat berlalu.
----------------------------------------------------------------------
Dr. Arman Nefi, Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Peneliti pada Center for Indonesian and Economic Law Studies (CIFELS)