Ramadhan dan Suka Duka Seorang BMI Hong Kong

Konten dari Pengguna
13 Mei 2018 0:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari arsita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ramadhan dan Suka Duka Seorang BMI Hong Kong
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto: dokumen pribadi
Bulan suci Ramadhan akan segera tiba. Berbicara tentang puasa, saya jadi teringat pengalaman sedih dan senang saat menjalankan salah satu rukun islam itu di Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Ramadhan pada tahun pertama bekerja di sini, saya menjalankan puasa secara diam-diam karena tidak mendapat ijin dari majikan. Untuk makan sahur, saya sudah mempersiapkan makanan kering,air dan buah apel di dekat tempat tidur saya. Waktu makan sahur pun bukan di sepertiga malam, tetapi di tengah malam sebelum tidur. Karena tidak berani menyalakan alarm, khawatir menimbulkan kegaduhan.
Nasib baik berpihak kepadaku setelah pindah tempat kerja. Berhubung keluarga tempat saya bekerja belum tahu banyak tentang islam, saya meminta ijin kepada mereka untuk berpuasa. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dan sayapun ingin beribadah dengan tenang. Ada kejadian lucu saat saya mencoba berbicara dalam upaya meminta ijin. Malam itu selesai membereskan meja makan saya memulai percakapan.
ADVERTISEMENT
" Dhai-dhai, ho em hoyi ngo ca kai ?" (Mum, bolehkah saya berpuasa?).
"Ca kai?" (Puasa?)
" Hai a. Yat ko yut. Ciu co to ha cau em sik ye" (Iya, selama sebulan, dari pagi hingga petang tidak makan apapun).
"Yat ko yut em sik ye? Lei wui sei!!" (Sebulan tidak makan? Kamu bisa mati!! )
Agak repot memang untuk menjelaskan kepada mereka. Menyadari kemampuan berbahasa Kantonis yang masih minim, akhirnya saya meminta agen untuk menjelaskan kepada mereka. Berhasil. Saat makan sahur, kadang saya ditemani Bapak yang sedang menonton siaran langsung sepak bola. Waktu berbuka puasa adalah yang paling berkesan. Saya bersama beberapa teman seperjuangan menggelar bekal kami di taman dan makan bersama. Kebetulan setiap sore adalah jadwal untuk mengantar anak les.
ADVERTISEMENT
Di lain hari, majikan saya pernah membujukku untuk minum susu saat berpuasa. Waktu itu saya tidak makan sahur hingga kelihatan lemas tak bertenaga di siang harinya. Tiba-tiba Bapak menyodorkan segelas susu dan berkata bahwa saya harus meminumnya agar tidak pingsan. Dia mengira bahwa puasa itu hanya tidak makan nasi, sehingga minum susu diperbolehkan.
Sampai pada puncaknya yaitu hari raya Idul Fitri. Berbeda sekali dengan saat di kampung dulu. Tidak kurasakan nuansa lebaran sama sekali. Ketika malam hari raya, saya menelpon keluarga di rumah. Suara takbir yang bersahut sahutan membuat hati semakin sedih. Saya menangis sendiri di pojokan dapur. Majikan yang melihat saya waktu itu terkejut dan menyangka saya sakit.
Saya katakan bahwa saya menangis sedih karena besok hari raya. Majikanku hanya diam saja dan menyuruhku segera tidur. Keesokan harinya, mereka memberiku angpao sambil memegang pundakku dan berkata bahwa tidak boleh menangis di hari raya. Mungkin mereka mengira saya menangis karena tidak mendapat angpao? Tidak ingin repot menjelaskan, saya terima saja amplop merah berisi dollar itu.
ADVERTISEMENT
"Rejeki anak sholehah", batinku.