Dilema Nasib Buruh Migran di ASEAN

Artantri Windasari
Mahasiswa S1 Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada.
Konten dari Pengguna
22 Juni 2021 18:22 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Artantri Windasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(foto: https://unsplash.com/@ferguskate)
zoom-in-whitePerbesar
(foto: https://unsplash.com/@ferguskate)
ADVERTISEMENT
Lesunya perekonomian akibat pandemi mengakibatkan jutaan orang kehilangan pekerjaannya. Hal ini juga terjadi pada tenaga kerja migran di luar negeri. Bayang-bayang akan kehilangan pekerjaan, telantar, bahkan hingga dideportasi juga masih menjadi risiko yang menghantui tenaga kerja migran di kawasan ASEAN. Terlebih pada kondisi pandemi COVID-19, dengan adanya penetapan lockdown dan pembatasan operasional bisnis serta pembatasan perjalanan dibeberapa negara ASEAN semakin menyulitkan posisi tenaga kerja migran. Dalam lingkup regional ASEAN, sebanyak 154 juta pekerja di sektor akomodasi dan makanan, manufaktur, perdagangan, transportasi, dan konstruksi sangat rentan terhadap dampak ekonomi COVID-19. Pada Desember tahun 2020 lalu, diperkirakan sekitar 150.000 pekerja migran dari Myanmar, 50.000 dari Kamboja, dan 60.000 dari Laos dipulangkan setelah kehilangan pekerjaan di Thailand. Serta sekitar 40.000 pekerja migran dari Thailand dan 11.500 dari Indonesia juga dipulangkan dari Malaysia.
ADVERTISEMENT
Kondisi pandemi yang membawa dampak besar pada sektor ekonomi ini menunjukkan ketidaksiapan ASEAN dan negara-negara anggotanya dalam situasi krisis. Akibatnya, dibeberapa negara ASEAN terjadi lonjakan kasus COVID seiring dengan tingginya mobilitas migran di wilayah ASEAN. Salah satunya di Thailand, tercatat penyebaran kasus COVID terjadi pada pekerja migran yang berasal dari Myanmar. Hal ini berbuntut pada diskriminasi terhadap tenaga kerja migran dan memicu sentimen anti-Myanmar di antara sebagian kelompok masyarakat Thailand. Di samping itu, banyaknya pekerja migran yang tidak memiliki dokumen berdampak pada sulitnya akses terhadap fasilitas kesehatan dan pelacakan kasus COVID. Tenaga kerja di sektor pekerjaan informal juga memiliki risiko untuk lebih mudah diberhentikan karena mereka seringkali tidak memiliki kontrak kerja dan memiliki sumber hukum yang terbatas. Mereka kemungkinan besar juga menjalani pekerjaan tanpa asuransi kesehatan serta terancam mengalami PHK akibat pengurangan tenaga kerja sebagai dampak pandemi.
ADVERTISEMENT
Para pekerja migran di sektor informal yang mayoritas terdiri dari golongan menengah ke bawah ini juga memiliki akses yang terbatas dalam menjangkau bantuan sosial atau social safety net, yakni bantuan non-kontribusi yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan keluarga rentan dan individu yang mengalami kemiskinan dan kemelaratan. Selain itu, dengan banyaknya pekerja migran yang kehilangan pekerjaan dan dipulangkan ke negara asalnya, hal ini akan berdampak pada naiknya tingkat pengangguran dan kemiskinan. Serta, kebijakan pembatasan wilayah dan penutupan perbatasan dibeberapa kawasan ASEAN pun menyebabkan banyak pekerja migran yang telah kehilangan pekerjaan tidak dapat kembali ke wilayah asalnya.
Kerentanan pekerja migran di ASEAN pada saat pandemi yang tidak diatasi dengan baik juga menunjukkan lemahnya landasan sistem perburuhan di ASEAN. Perubahan kondisi pada aspek ekonomi dan bisnis memberi dampak besar bagi para tenaga kerja migran terutama pekerja informal di ASEAN. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus mengingat sektor pekerja menjadi salah satu sektor penting yang menopang perekonomian negara-negara di ASEAN, baik sebagai penerima maupun pengirim tenaga kerja. Menurut Organisasi Buruh Internasional, pada tahun 2017 sektor pekerja migran merupakan 24 persen dari total pekerja di Brunei Darussalam, 15 persen di Malaysia, 37 persen di Singapura, dan 4,7 persen di Thailand. Selain itu, pekerja migran dari negara-negara seperti Bangladesh, India, Indonesia, Myanmar dan Filipina juga memainkan peran penting dalam sektor pertanian, peternakan, makanan laut, manufaktur, perhotelan dan berbagai sektor lainnya di Malaysia, Singapura dan Thailand.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, besarnya arus migrasi tenaga kerja antar negara-negara ASEAN ini juga merupakan peluang kerja sama ekonomi transnasional yang prospektif apabila ditangani dengan baik. Dengan mengupayakan pembangunan sistem regional yang memfasilitasi migrasi tenaga kerja antar wilayah Asia Tenggara diharapkan mampu menjadi payung besar perlindungan sektor tenaga kerja di ASEAN. Terkait hal ini, ASEAN telah memiliki mekanisme perlindungan pekerja migran yang dikukuhan dalam Konsensus ASEAN tentang Perlindungan dan Promosi Hak-Hak Pekerja Migran pada tahun 2018. Dalam skala regional, ASEAN juga telah mengupayakan melalui sejumlah Pernyataan dan Deklarasi mengenai tanggapan kolektif kawasan terhadap COVID-19. Sejauh ini, ASEAN berkomitmen untuk menjaga pasar tetap terbuka, membantu masyarakat dan bisnis yang terkena dampak COVID-19, terutama UMKM dan kelompok rentan, serta mengembangkan rencana pemulihan setelah pandemi.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ASEAN masih memerlukan perbaikan mekanisme regional terkait upaya perlindungan dan penyejahteraan tenaga kerja migran terutama pada kondisi pandemi. Komitmen ASEAN pada penyelesaian isu pekerja migran yang terdampak pandemi COVID-19 ini juga masih perlu diawasi pelaksanaannya. Mengingat, pada KTT ASEAN yang dilaksanakan pada April 2020 lalu wacana terkait kesejahteraan dan perlindungan pengungsi dan migran juga masih belum masuk dalam pembahasan rencana strategis regional dalam menangani pandemi COVID-19. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlindungan para migran termasuk kalangan pekerja sektor informal dikala pandemi masih belum menjadi isu prioritas dalam pemulihan ekonomi ASEAN. Nasib pekerja migran yang telanjur kehilangan pekerjaan dan tidak dapat pulang ke negara asalnya akan sangat bergantung pada bagaimana ASEAN dan negara-negara anggotanya menangani permasalahan transnasional ini. Oleh karenanya, diperlukan sistem regional yang komperehensif dan holistik yang dapat mengatasi tantangan lintas batas negara melalui penyelarasan kebijakan serta wadah kolaborasi antar pemerintah negara-negara ASEAN. Sejauh ini, upaya penyelesaian masalah tenaga kerja migran ini cenderung dilakukan pada skala nasional oleh masing-masing negara anggota ASEAN. Ke depannya, ASEAN juga memiliki tantangan untuk membuat kebijakan mengenai tenaga kerja yang berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), migrasi regional, undang-undang ketenagakerjaan, dan pemulihan perekonomian jangka panjang.
ADVERTISEMENT