Yogyakarta dan ketimpangannya

Ekologi kecil
lestarikan alam hanya celoteh belaka, lestarikan alam kenapa tidak dari dulu. -virgiawan listanto
Konten dari Pengguna
11 April 2017 4:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ekologi kecil tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dibalik predikat Daerah Istimewa sekaligus regional pariwisata terkemuka yang selalu menggembar-gemborkan slogan-slogan kebudayaannya, kenyataannya DIY menyimpan kemiskinan dan ketimpagan yang serius. Menurut indeks dataBox dari katadata.com, Daerah istimewa memiliki ketimpangan yang paling tinggi di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
sumber: dataBox
Hal ini terjadi disebabkan karena tidak meratanya pembangunan dan juga tidak diperhatikannya sektor-sektor ekonomi masyarakat. Baik itu sektor pertanian, usaha kecil menengah dan juga sektor ekonomi masyarakat lainnya yang itu sangat dibutuhkan oleh rakyat Jogjakarta. Pemerintah Yogyakarta dalam hal ini gubenur dan juga lembaga-lembaga pemerintahnya malah lebih banyak menarik infestasi asing untuk mem-branding Yogyakarta sebagai daerah industry besar dan elit dengan menggunakan embel-embel budaya. Hal ini dapat dilihat dengan semakin banyaknya mall dan juga perhotelan yang di bangun di kota Yogyakarta dan juga kabupaten Bantul yang itu malah merugikan masyarakat sekitar baik dalam hal sumberdaya yang di monopoli maupun limbah dari pembangunan tersebut. Dengan kenyataan seperti ini maka tentu masyarakat Yogyakarta akan lebih banyak di proyeksikan sebagai buruh dari investasi-investasi besar yang masuk dan itu tidak membuat jogja dan masyarakatnya berdikari secara ekonomi. Ketidak berdikarian masyarakat Yogyakarta yang mendari buruh ini menjadi semakin parah saat pemerintahnya sendiri baik Sultan maupun gubenur dan juga lembaga ketenagakerjaannya tidak mau memperhatikan nasib buruh di DIY. hal ini terlihat dalam data statistic yang menunjukkan bahwa upah minimum kota(UMK) di DIY menempati posisi terendah di Indonesia.
ADVERTISEMENT
sumber: DataBox
Rendahnya UMK di DIY terjadi mengingat upah yang sejak tahun 2015 memang sudah rendah dan kemudian di tahun 2016 pemerintah DIY mengikuti PP No. 78 tentang perburuhan yang membuat rumusan kenaikan upah buruh mengikuti inflasi dan juga kenaikan ekonomi. Sehingga kenaikan upah yang di alami oleh buruh DIY menjadi tidak Signifikan. Pemerintah DIY dalam hal ini Sultan juga tidak mau memutuskan untuk keluar dari logika PP 78 sebagaimana pemerintah Aceh dalam menentukan UMK-nya. Padahal dalam konstitusi negara antara Yogyakarta dan juga Aceh juga sama-sama memiliki undang-undang keistimewaan. Kenyataan ini sungguh tidak bisa mengingat Yogyakarta merupakan salah satu kota besar di Indonesia dan memiliki label Istimewa. Seharusnya ungkapan Istimewa tidak hanya sebatas kebanggaan semu belaka yang hanya di manfaatkan oleh para elit penguasa untuk meraup keuntungannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kewibawaan seorang pemimpin itu dilihat dari sejauh mana dia mensejahterakan rakyatnya, begitulah dalam teory ushul fiqh. Bisa dibayangkan ketika tanah di Yogyakarta lebih banyak di Tanami oleh Mall, hotel dan juga pabrik, kemudan banyak wilayah perkotaan harus di sterilkan dari pedagang kakilima, dan lagi upah buruhnya cukup rendah sehingga itu membuat banyak investor yang masuk untuk meraup keuntungan lebih banyak. Maka disana persoalan kesenjangan adalah hal yang secara sadar sudah di lestarikan tanpa pernah dipedulikan oleh pemimpin.
Bukankah seharusnya pariwisata itu untuk memfasilitasi masyarakat membuka usahanya dan juga focus dari pembangunan adalah untuk mengembangkan usaha kecil menengah. Sehingga kebudayaan bukan hanya dinilai sebagai karya artistic yang menjual bagi orang luar namun juga menjadi sebuah tindakan untuk adil dan bermartabat sebagai sesame masyarakat Yogya. Sudah seharusnya pula buruh jogja mendapatkan upah yang semestinya bahkan tinggi, karna dengan begitu antara pembangunan mall dan pabrik dan juga pelestarian sawah untuk tetap menjaga ekosistema daerah tetap hijau dapat lebih terkontrol
ADVERTISEMENT